Oleh Swary Utami Dewi
MENJELANG weekend panjang di aw Maret 2024 ini, aku mendapat kesempatan berbicara banyak dengan anak gadisku. Dia mulai dengan bercerita tentang pekerjaannya. Anakku ini baru lulus kuliah dari Universitas Indonesia (UI) dan langsung bekerja di Production House (PH) yang cukup bergengsi di negeri ini.
Salah satu yang menarik dari obrolan kami saat dia mengungkapkan bagaimana atasannya di kantor berani mengatakan ‘tidak’, pada salah satu tim pemenangan pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden, saat PH tersebut diminta untuk membuatkan serangkaian promosi media bagi paslon tersebut.
Aku bertanya apa alasannya? Anakku menjawab tidak tahu. Tapi menurutnya, dia salut karena sang bos berani untuk tidak menempatkan diri dan perusahaannya pada faktor penyumbang kerusakan negeri di saat-saat pemilu. Penyumbang kerusakan negeri? Aku berkernyit mendengar ucapannya.
Dia melanjutkan bahwa melalui pemilu ini banyak yang dia bisa pelajari. Ternyata dia dan anak-anakku yang lain berdiskusi tentang hal-hal yang menurut mereka tidak pas dan tidak pantas dilakukan di jelang dan saat-saat pemilu ini, terutama oleh mereka yang sedang berkuasa, dibantu oleh mereka yang sudah punya pendidikan tinggi dan nama-nama terkenal di tanah air. Anak-anakku ternyata memilih paslon yang berbeda. Tapi tidak ada yang memilih paslon tertentu yang menurut penilaian mereka didorong oleh proses-proses yang tidak patut dan tidak sehat bagi negeri.
Apa yang kamu khawatirkan tentang Indonesia? Aku bertanya pada anak gadisku, yang saat itu sedang asyik membuatkan teh susu untukku.
Anak berusia 22 tahun ini menjawab. Sejujurnya, jika yang betul-betul mau berpikir dan peduli tentang masa depan Indonesia, tentu tidak mau menempatkan Indonesia dalam masa depan yang tidak baik. Banyak yang menjadikan semua terbolak-balik dan membolehkan banyak cara untuk menang. Boleh ini, boleh itu. Meski alasannya itu tidak dilarang, tapi hati dan pikiran kita tahu bahwa itu tidak patut. Dan kita tahu pula bahwa apa yang diusulkan mereka sebagai program juga mendapat banyak kritikan.
“Memang tidak ada yang ideal di semua paslon itu, Mah. Tapi ada yang menurutku terburuk dan itu yang harus dihindari,” jelasnya.
Itulah yang disebut prinsip minus malum, ujarku menanggapi.
Lalu apa pilihan para pemilih muda yang kebanyakan pemilih pemula dan menempati komposisi terbanyak pemilih pada pemilu ini? Ara mengatakan setahu yang ia tahu dan ia amati, banyak anak muda yang berpikiran dan memilih sama dengan dirinya.
Mereka sama tidak mendukung calon tertentu. Paling tidak ini tejadi di antara teman-teman baiknya. Entah jika data menunjukkan berbeda. Bisa jadi kemudian ada faktor pengaruh media sosial bagi pengguna internet tertentu, perasaan empati karena si calon yang mendapat banyak ejekan serta alasan-alasan lainnya.
Semua itu bisa memengaruhi. Namun, bagi Ara tetap saja yang lebih baik adalah berpikir kritis dan mencari informasi sebanyak-banyaknya sebelum memilih. Jadi sepatutnya bukan karena faktor luar, tapi memilih karena paham dan sadar dengan pilihan.
Anakku sempat mengomentari soal empati ini. Sepatutnya yang layak diberi empati adalah rakyat miskin yang masih harus bersusah payah mencari makan. Mereka ini yang bahkan karena faktor kemiskinann belum bisa mendapatkan pendidikan yang layak.
Ini yang aneh, mengapa orang ramai-ramai didorong untuk berempati ke orang yang punya segala-galanya dan bisa bertindak ini itu? Itulah contoh pikiran dan tindakan yang dibolak-balik, kata Ara yang lalu duduk menemaniku sambil menyantap makanan ringan.
Aku mengatakan kepadanya ada hasil survei menarik yang dikeluarkan pada 25 Februari 2024. Lembaga Survei Indonesia (LSI) Jayadi Hanan mencatat bahwa masyarakat penerima bantuan sosial (bansos) pemerintah merupakan kelompok yang paling banyak mendukung paslon yang sekarang mendapat suara mayoritas. Jumlahnya lumayan besar, yakni 69,3 persen.
Ara mengatakan bahwa bansos seharusnya adalah hak rakyat miskin. Karena hak, maka tidak patut jika bansos itu justru makin banyak dibagi pada saat-saat tertentu seperti di masa-masa pemilu ini. Bukankah itu seharusnya diterima mereka yang berhak, tanpa diembel-embeli arahan untuk memilih si A atau si B?
Ara melanjutkan. Jika rakyat miskin yang tidak punya pilihan mau menerima bansos itu dan memilih sesuai arahan, Ara tetap berempati terhadap mereka. Mereka tidak punya pilihan. Tapi jika kalangan pendidikan tertentu, orang-orang kaya dan berpengaruh terlibat aktif memenangkan paslon yang punya banyak catatan dalam rekam jejak, lalu bermain-main dengan proses pemilu, inilah yang Ara sebut sebagai orang-orang tidak berhati dan main-main terhadap masa depan negeri. Mereka hanya memikirkan diri dan urusannya. Kali ini, ia berbicara cukup ketus.
Aku berkata setengah bergumam. Mumpung sekarang jelang puasa, bisa jadi Ramadhan ini adalah ajang “cuci dosa” bersama bagi pihak tertentu, yang secara sadar terlibat dan mengatur banyak hal di pemilu kali ini. Dalam hati mereka pasti tahu bahwa ada yang tidak patut. Tapi mereka memilih mengabaikan, tutup mata atau bahkan tetap bersemangat terlibat.
Ara tidak merespons. Entah dia mendengar atau tidak perkataanku tersebut. “Ara senang karena bisa memilih tanpa embel-embel, Mah. Dan Ara bisa belajar banyak dari pemilu ini untuk tahu mana yang pantas, mana yang tidak. Semua terlihat jelas dan tidak bisa ditutupi oleh alasan apa pun,” ujarnya.
Ah, pagi itu rasanya cerah. Percakapan tersebut membawa kelegaan. Anakku ternyata sudah besar dan bisa menentukan sikap.*
Jakarta, 10 Maret 2024
Penulis adalah anggota TP3PS serta Pendiri NARA dan KBCF dan Climate Leader Indonesia