Oleh Dahlan Iskan
RYU HASAN pernah melakukan penelitian IQ di Kediri. Hasilnya: IQ mereka rata-rata 109. Kediri dan sekitarnya.
Harusnya kian tahun rata-rata IQ itu naik. Ini justru turun. Rata-rata IQ kita kini hanya 78,4.
Memang belum tentu itu pertanda menurun. Bisa saja Kediri dan sekitarnya lebih tinggi dari rerata Indonesia.
Yang jelas Ryu prihatin dengan itu. Menurut Ryu, saat itu, Kediri harusnya sudah bisa menggambarkan rerata Indonesia.
Mengapa IQ menjadi hanya 78,4?
Menurut Ryu itu bisa akibat pembicaraan sehari-hari di lingkungan keluarga. Juga di lingkungan sekolah. Pembicaraan lebih banyak bukan soal ilmiah. Lebih banyak soal dogmatis.
Ryu lagi di Tokyo. Sudah lebih 20 tahun ia tinggal di Jepang. Ia dokter ahli bedah saraf yang bekerja di lembaga internasional di Tokyo. Juga seorang ilmuwan sistem kerja otak.
Bagaimana masa depan ilmu?
“Science tidak peduli masa depan. Ilmu itu bebas dari nilai,” katanya. “Masa depan ilmu tergantung manusia. Kalau manusia punah barulah ilmu punah,” tambahnya.
Sepanjang ada manusia, ilmu berkembang terus. Kalau tidak di sini, di tempat lain. Tergantung di mana iklim keilmuan bisa berkembang.
Saya pun tidak jadi bertanya tentang yang saya janjikan di Disway sekian tahun lalu: kalau bertemu lagi dengan Ryu akan bertanya soal gejala khusyu’ dalam salat. Apakah itu gejala agama atau psikologi.
“Semua yang dilakukan manusia datang dari otak,” katanya. Satu-satunya yang belum bisa diuraikan secara rinci, katanya, adalah soal kesadaran.
Kalau soal datangnya emosi algoritma di otak sudah bisa diketahui. Pun soal perasaan. Dan khayalan. Yang dulu dianggap misteri sudah bisa jelas hitungan algoritmanya. “Tinggal soal perasaan saja yang belum diketahui secara rinci,” katanya.
Karena itu kini juga sudah bisa dirinci perbedaan antara gembira dan bahagia. “Rasa gembira itu muncul ketika ada pihak lain yang menderita. MU mengalahkan Everton itu gembira,” katanya.
Bisa beli mobil itu gembira karena banyak yang tidak mampu beli mobil. “Bahagia itu kegembiraan yang datang bukan karena ada pihak lain yang susah. Karena itu tingkat kebahagiaan orang Finlandia lebih tinggi,” katanya.
Ryu cucu salah satu pendiri NU: ulama kelas langitan dari Jombang, KH Wahab Chasbullah. Masa kecil Ryu di Riyadh. Bahasa utamanya Arab. Ketika pindah ke Bagdad, Iraq, ia bisa bicara bahasa Parsi. Dan ketika pindah ke Lebanon ia mempelajari bahasa Ibrani.
Waktu kecil Ryu merasa terbuang dari lingkungan. Ia anak autis. Ia mengaku mulai ‘dewasa’ ketika bisa ‘tidak mengatakan semua yang ingin dikatakan’. Juga: “bisa tidak melakukan semua yang ingin dilakukan”.
Anak autis selalu mengatakan apa pun yang ingin dikatakan. Juga melakukan apa pun yang ingin dilakukan. Karena itulah anak autis tidak bisa diterima oleh lingkungan.
“Untuk bisa bekerja secara tim ternyata orang harus bisa menyimpan sebagian yang sebenarnya ingin dikatakan,” katanya pada saya di suatu ketika.
Ryu punya dua orang anak. Saya pun, kemarin, bertanya: apakah anaknya juga autis. “Autis ringan. Mild,” katanya.
Ilmu, menurut Ryu berbeda dengan pengetahuan. Ilmu itu harus logis. Harus ada hitung-hitungannya.
Ilmu tidak peduli apakah orang percaya hasil hitungan itu atau tidak. “Ilmu tidak peduli kalau ada yang tidak percaya 2×2 itu 4,” katanya.
Maka dalam seminar Mitokondria kemarin itu ditanyakan juga soal Isa/Yesus yang tidak punya ayah. Juga soal posisi keyakinan dalam otak. “Keyakinan itu bukan ilmu, jadi tidak usah dibahas,” katanya.
Dengan IQ 78,4, kata Ryu, sulit diharapkan bicara ilmiah. “Dengan IQ di bawah seratus saja masih sulit. Apalagi hanya 78,4,” katanya.
Misalnya untuk bisa bicara tentang manusia. Itu harus bicara soal biologi. “Biologi hanya bisa dipahami oleh yang mengerti kimia. Kimia bisa dipahami dari fisika. Itu diperlukan IQ di atas 100,” kata Ryu.
Semua makhluk hidup sekarang ini berbasis karbon. Karbon makan karbon. “Harimau memakan kambing dianggap binatang buas. Manusia itu memakan apa pun yang berbasis karbon. Melebihi harimau. Tidak dianggap buas,” guraunya. “Padahal secara struktur manusia itu dengan mentimun sama. Sama-sama berbasis karbon,” tambahnya.
Tokyo sudah hampir jam 00.00. Saya minta diskusi ditutup. Sebagin peserta harus bangun lagi lima jam kemudian: makan sahur pertama puasa tahun ini.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia