Oleh Dahlan Iskan
TEMPAT saya ‘bersembunyi’ selama masa kampanye serasa dikelilingi masjid. Serasa dekat semua. Berkat pengeras suara yang seperti lomba besar-besaran watt.
Sesekali terdengar pengumuman dari pengeras suara itu: Innalillahi wainna ilaihi rajiun.
Itu pembukaannya. Pertanda ada orang meninggal dunia. Sambil angkat batu saya pun tahu siapa yang meninggal: seorang wanita di desa seberang sawah.
Itu juga pertanda teman kerja saya tidak bisa datang. Harus melayat. Begitulah etika di desa. Masih dijunjung tinggi. Kian ke kota kian rendah penegakan etika. Apalagi sampai di ibu kota.
Saya masih berharap rekan kerja itu masih bisa datang setengah hari paro kedua. Setelah selesai melayat. Saya belum bisa melakukan apa yang pandai ia lakukan: memindah pohon buah.
Ada beberapa pohon buah yang harus segera dipindah. Ia pasti datang. Pengumuman berita duka tadi masih sangat pagi. Sebelum jam 12.00 pasti sudah dimakamkan.
Menjelang jam 12.00 ada pengumuman ‘innalillahi’ lagi. Dari pengeras suara masjid yang sama.
Saya pun –tanpa menilingkan telinga– tahu: ada yang meninggal lagi.
Masih sambil mengangkat batu saya tahu: yang meninggal kali ini laki-laki. Namanya Pak San. Saya kaget. Jangan-jangan rekan kerja saya itu. Rekan mencangkul itu namanya Pak Kasan. Pak Kasan tinggal di desa itu: di arah pengeras suara itu.
Saya lega. Ternyata Pak San yang baru meninggal itu bernama Santoso.
Saya pun pasrah. Berarti partner saya berkebun akan melayat lagi. Ia akan lebih mementingkan etika daripada kehilangan jabatan sebagai pencangkul.
Target pindah-pindah pohon hari itu pun meleset.
Di Tiongkok tidak ada target yang meleset –oleh penyebab seperti itu. Ketika tetangga meninggal pekerjaan jalan terus. Tanpa mengabaikan etika bertetangga. Mereka bisa melayat malam hari. Atau keesokan harinya. Bila perlu di hari ketiga, keempat, kelima atau kapan saja sempat: mayat umumnya baru dikubur tujuh hari kemudian.
Pengumuman dari masjid tadi sekaligus berfungsi sebagai ‘surat izin tidak masuk kerja’. Bos tidak boleh menanyakan kenapa tidak masuk. Atau mana surat izinnya. Apalagi harus bertanya ‘apa hubungan antara Anda dan yang meninggal tadi’.
Pengeras suara di masjid-masjid itu juga penanda kapan pekerjaan harus dihentikan.
Jauh sebelum tiba waktunya salat pun sudah berkumandang lagu-lagu pujian pada Tuhan. Kadang dari suara yang merdu. Kadang dari suara yang cempreng. Nadanya pun kacau balau. Sakit di telinga.
Saya tidak mengeluh. Yang seperti itu adalah masa kecil saya. Kadang lagu pujian seperti itu sengaja saya buat kacau agar imamnya cepat datang.
Saya tahu: imam di tempat saya, dulu, suka ngobrol sambil merokok. Salat pun menunggu rokoknya habis.
Katanya: itu untuk melatih militansi anak dalam kuat-kuatkan melantunkan pujian pada Tuhan sepanjang mungkin. Juga latihan sabar.
Tapi waktu itu tidak ada pengeras suara. Anak-anak melantunkan pujian sambil duduk bersila di dalam masjid.
Kala itu saya tidak memikirkan perasaan orang lain. Satu desa Islam semua. Pun semua penduduknya bukan orang sibuk.
Kini, dengan banyaknya pengeras suara di masjid itu saya suka bertanya ke diri sendiri: bagaimana perasaan orang yang bukan Islam yang tinggal di sekitar sini. Terutama ketika mendengar suara yang sangat tidak merdu itu.
Keesokan harinya Pak Kasan masuk kerja. “Kemarin melayat dua kali ya?” tanya saya berbasa-basi.
Ia hanya mengiyakan. Ia tidak bercerita soal dua kali melayat itu. Beberapa minggu kemudian baru saya tahu: Pak San yang ‘innalillahi’ di tengah hari itu ternyata meninggal di saat ikut menguburkan mayat wanita yang meninggal pagi hari.
Rekan kerja saya tadi tahu sendiri kejadiannya. Ia juga ikut mengantar mayat si wanita tua sampai ke kuburan.
Ia ikuti semua prosesi penguburan: mayat dimasukkan liang lahat. Lalu ditimbun tanah.
Penimbunan rampung. Pemasangan batu nisan pun selesai. Tibalah giliran Pak modin membacakan talkin di atas pusara –biasanya berisi agar arwah yang baru dikubur dijauhkan dari siksa kubur, dan yang masih hidup agar ingat bahwa pada gilirannya akan mati juga.
Saat talkin dibacakan itulah Pak Santoso bergerak mundur. Kakinya terhalang beton di kuburan. Ia terjatuh. Kepalanya membentur beton. Meninggal dunia.
Sebenarnya Pak San meninggal dunia dengan cara yang paling simple. Tanpa sakit. Sudah di kuburan pula. Para penggali kuburnya masih lengkap. Petugas pembaca talkinnya juga masih ada.
Tapi pihak keluarga minta pak San dibawa ke rumah sakit. Pakai mobil tetangga. Mobil pun meninggalkan kuburan. Pelayat juga pulang.
Begitu mereka sampai di rumah terdengarlah pengumuman dari masjid: ‘innalillahi…’
Mereka pun siap-siap ke kuburan lagi.
Di kampung ini warga rukun. Pemilu damai. Mayoritas warga NU. Banyak yang ikut tarekat Nahsabandiyah-Qadiriyah. Di Pemilu lalu Prabowo-Gibran menang telak di situ: 80 persen.
Menteri Agama kita juga tokoh NU. Surat edarannya soal pengeras suara tidak akan dibacakan lewat pengeras suara di masjid NU di desa ini.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia