J5NEWSROOM.COM, Dubai – Iran menggelar pemilihan presiden (pilpres) putaran kedua pada Jumat (5/7) yang mempertemukan mantan perunding nuklir dengan mantan menteri kesehatan, meski pada putaran pertama, keduanya harus berjuang untuk membujuk masyarakat yang skeptis untuk memberikan suara. Putaran pertama menunjukkan jumlah pemilih terendah dalam sejarah Republik Islam.
Pejabat pemerintah hingga Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei memperkirakan tingkat partisipasi yang lebih tinggi seiring dengan berlangsungnya pemungutan suara. Dalam tayangan oleh televisi pemerintah, tidak tampak kepadatan terjadi di tempat-tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh negara itu.
Namun, sejumlah video online menunjukkan beberapa TPS lengang, sementara survei terhadap puluhan lokasi di ibu kota, Teheran, memperlihatkan lalu lintas sepi di tengah kehadiran petugas keamanan yang ketat di jalan-jalan.
Pemungutan suara ditutup setelah tengah malam, setelah pemungutan suara diperpanjang, seperti yang sudah menjadi tradisi di Iran. TV pemerintah Iran mengatakan hasil awal diperkirakan akan diumumkan pada Sabtu (6/7).
Khamenei menegaskan rendahnya jumlah pemilih pada putaran pertama pada 28 Juni tidak mewakili referendum mengenai teokrasi Syiah di Iran. Namun, banyak pihak yang tetap kecewa karena Iran telah dilanda sanksi ekonomi yang berat selama bertahun-tahun, tindakan keras pasukan keamanan terhadap protes massal, dan ketegangan dengan negara-negara Barat terkait program nuklir Teheran. Iran semakin meningkatkan pengayaan uraniumnya hingga mencapai tingkat yang setara dengan senjata.
Kontestasi itu mempertemukan mantan negosiator, Saeed Jalili, melawan mantan Menteri Kesehatan Masoud Pezeshkian.
Jalili memiliki reputasi sebagai tokoh yang keras kepala di kalangan diplomat Barat selama perundingan mengenai program nuklir Iran, sesuatu yang dibarengi dengan kekhawatiran di dalam negeri atas pandangan garis kerasnya mengenai kewajiban berjilbab di Iran. Pezeshkian, seorang ahli bedah jantung, telah berkampanye untuk melonggarkan penerapan jilbab dan menjangkau negara-negara Barat, meskipun selama beberapa dekade ia juga mendukung Khamenei dan paramiliter Garda Revolusi Iran.
Para pendukung Pezeshkian telah memperingatkan Jalili akan membawa pemerintahan bergaya “Taliban” ke Teheran, sementara Jalili mengkritik Pezeshkian karena menjalankan kampanye yang menyebarkan rasa takut.
Kedua kandidat tersebut memberikan suaranya pada Jumat di Teheran selatan, yang dipadati banyak permukiman miskin. Meskipun Pezeshkian unggul dalam putaran pertama pemungutan suara, Jalili berusaha mengamankan suara orang-orang yang mendukung ketua parlemen garis keras, Mohammad Bagher Qalibaf, yang berada di urutan ketiga dan kemudian mendukung mantan negosiator tersebut.
Pezeshkian tidak memberikan komentar setelah pemungutan suara, dan berjalan keluar bersama mantan Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif, yang mencapai kesepakatan nuklir Iran pada 2015 dengan negara-negara besar.
Massa yang gaduh mengepung orang-orang tersebut, sambil berteriak: “Harapan bangsa ini telah tiba!”
Jalili memberikan suara pada TPS lainnya, dikelilingi oleh massa yang berteriak: “Raisi, jalanmu terus berlanjut!” Keduanya berharap bisa menggantikan mendiang Presiden Ebrahim Raisi yang berusia 63 tahun, yang meninggal dalam kecelakaan helikopter pada 19 Mei. Kecelakaan itu juga menewaskan menteri luar negeri negara tersebut dan sejumlah pejabat lainnya.
“Saat ini seluruh dunia mengakui bahwa rakyatlah yang menentukan siapa presiden empat tahun ke depan,” kata Jalili setelahnya. “Ini adalah hak Anda untuk memutuskan orang mana, jalur mana, dan pendekatan apa yang harus memerintah negara ini dalam empat tahun ke depan.”
Namun, seperti yang terjadi sejak Revolusi Islam pada 1979, perempuan dan mereka yang menyerukan perubahan radikal dilarang mengikuti pemilu, sementara pemilu itu sendiri tidak diawasi oleh lembaga pemantau yang diakui secara internasional. Kementerian Dalam Negeri, yang bertanggung jawab atas kepolisian, mengawasi hasilnya.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah