Menlu Retno Marsudi: Rekonsiliasi Hamas-Fatah Langkah Maju Menuju Persatuan Palestina

(Kiri-Kanan) Mahmoud al-Aloul, Wakil Ketua Komite Sentral organisasi Palestina dan partai politik Fatah, Menteri Luar Negeri China Wang Yi, dan Mussa Abu Marzuk, anggota senior gerakan Islam Palestina Hamas, di Wisma Negara Diaoyutai, Beijing, 23 Juli 2024. (Pedro Pardo / AFP)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Dua faksi terbesar di Palestina, Hamas dan Fatah, bersama 12 faksi perjuangan lainnya Selasa (23/7) sepakat meneken perjanjian damai untuk mengakhiri perselisihan sekaligus perpecahan selama bertahun-tahun. Mereka menandatangani Deklarasi Beijing.

Penandatanganan dokumen tersebut mengakhiri dialog rekonsiliasi selama tiga hari, 21-23 Juli, di antara para pemimpin senior dari 14 faksi Palestina di ibu kota China, Beijing. Menteri Luar Negeri China Wang Yi menggambarkan kesepakatan itu sebagai kesepakatan untuk memerintah Jalur Gaza bersama-sama setelah perang tersebut berakhir nanti.

Menanggapi rekonsiliasi itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan keterangan pers secara tertulis di sela kehadirannya dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Laos. Retno menilai Deklarasi Beijing merupakan langkah maju dalam mendorong rekonsiliasi dan persatuan bangsa Palestina, terutama di tengah perang di Jalur Gaza.

Indonesia berharap kesepakatan yang dicapai di Beijing tersebut dapat dilaksanakan. Retno menegaskan Indonesia selalu menyampaikan pentingnya persatuan Palestina dalam setiap pertemuan dengan faksi-faksi perjuangan di Palestina.

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Diponegoro Mohamad Rosyidin juga memuji rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah, menilainya sebagai langkah maju dan positif bagi prospek perdamaian dan kemerdekaan Palestina.

“Sehingga konsolidasi ini setidaknya akan memperkuat modalitas politik bagi Palestina untuk mencari pengakuan kemerdekaan. Setidaknya secara internal, mereka sudah cukup solid. Tinggal bagaimana mengatasi persoalan Israel,” katanya kepada VOA, Rabu (24/7).

Rosyidin menambahkan Hamas dan Fatah sebenarnya sama-sama bercita-cita memerdekakan Palestina, namun masing-masing menggunakan pendekatan yang berbeda. Konsolidasi kedua faksi terbesar di Palestina ini tentu mengurangi tantangan domestik dalam mewujudkan Palestina merdeka.

Menurutnya, China menjadi penengah dalam proses rekonsiliasi Hamas-Fatah karena ingin menunjukkan komitmennya dalam perdamaian Timur Tengah. Sebagai negara besar, negara Panda itu memang memiliki tanggung jawab terhadap perdamaian dunia.

Keberhasilan China dalam mendamaikan Hamas-Fatah mengirim pesan bahwa legitimasi Amerika Serikat di Timur Tengah makin lemah karena terlalu memihak Israel, tambah Rosyidin. Jadi peran China tidak hanya demi perdamaian tapi bagian dari strategi untuk mengurangi dominasi Amerika yang bias dalam konflik Palestina-Israel. Rosyidin memperkirakan perdamaian Hamas-Fatah tidak akan berpengaruh terhadap kebijakan Israel, yang berkukuh untuk menghancurkan Hamas.

Dia menekankan yang paling penting setelah perjanjian damai itu, Hamas dan Fatah harus menggalang dukungan internasional agar Israel menghentikan agresi militernya ke Jalur Gaza sehingga mereka bisa merekonstruksi Palestina sehabis perang.

Yon Machmudi, pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia mengatakan rekonsiliasi Hamas-Fatah merupakan bagian dari upaya untuk membentuk pemerintahan bersama setelah Perang Gaza berakhir. Dia menambahkan China memproyeksikan setelah pasukan Israel mundur dari Gaza, maka diperlukan persiapan soal masa depan Palestina.

“Masa depan (kemerdekaan) Palestina itu tidak bisa terjadi apabila faksi-faksi yang ada tidak bersatu. Dengan demikian, itu sebagai persiapan solusi dua negara. Solusi dua negara otomatis harus mengakui eksistensi Israel,” ujarnya.

Menurut Yon, jika Hamas mau berkomitmen mengenai solusi dua negara, maka bisa dipastikan Hamas akan mengakui Israel bila kemerdekaan Palestina diwujudkan. Bersatunya Hamas-Fatah penting untuk menyambut pemerintahan persatuan nasional.

Yon memprediksi Hamas akan bertransformasi menjadi moderat setelah Perang Gaza berakhir dengan syarat kemerdekaan Palestina direalisasikan. Tapi dia mengakui Israel hingga saat ini belum merestui pembentukan negara Palestina.

Meski begitu, dia menjelaskan tekanan dunia internasional akan makin kuat terhadap Israel jika rekonsiliasi Hamas-Fatah akan mengarah pada proses perdamaian yang lebih baik. Sebaliknya, dukungan internasional atas Palestina akan semakin kuat.

Yon juga menilai peran China dalam rekonsiliasi Hamas-Fatah sangat kuat karena pertemuan 21-23 Juli lalu di Beijing adalah pertemuan kedua setelah April lalu. Sejak serangan 7 Oktober tahun lalu, komunikasi Hamas dan Fatah berlangsung intensif dengan China. Apalagi China sudah menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. Beijing juga pernah menyampaikan bangsa Palestina berhak untuk melawan Israel.

China, lanjut Yon, sekarang sudah mulai berani masuk ke jantung konflik di Timur Tengah, yakni Palestina-Israel. Hal ini didorong pula oleh kepentingan ekonomi. Jika Timur Tengah damai, kepentingan bisnis dan investasi China di kawasan itu dapat terlindungi.

Permusuhan Hamas dan Fatah bermula dari kemenangan Hamas dalam pemilihan parlemen pada 25 Januari 2006. Fatah kemudian didorong untuk tidak mengakui kemenangan Hamas.

Amerika dan Israel juga menolak mengakui kemenangan Hamas dengan alasan Hamas adalah organisasi teroris. Puncaknya, terjadi bentrokan senjata pada pertengahan Juni 2007 dan Fatah terusir dari Gaza. Sejak itu, Hamas mendominasi Gaza dan Fatah berkuasa di Tepi Barat.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah