J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menghebohkan publik lantaran keputusannya yang tidak memfasilitasi jilbab untuk Paskibraka Nasional terkuak. Walaupun banjir kritikan dari antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah, Kepala BPIP Yudian Wahyudi tetap bergeming dan tidak mengubah aturan yang ada.
Sebagai informasi, sejak tahun 2022 Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Nasional tidak lagi berada di bawah naungan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) RI, melainkan di bawah BPIP. Ini sesuai amanah Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2022 tentang Program Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.
Banyak pihak, termasuk alumni Paskibraka masa sebelum 2022, heran dengan perubahan kebijakan terkait busana Muslimah. Sebab, pada tahun-tahun sejak permulaan Era Reformasi hingga 2021, Muslimah yang menjadi petugas Paskibraka Nasional diperbolehkan untuk mengenakan jilbab. Irwan Indra selaku pembina Paskibraka Nasional 2021 sampai-sampai menuding, kewajiban copot jilbab bagi Paskibraka tahun ini akibat ulah BPIP.
“Bahkan, ada (Muslimah) yang sudah sejak SD dan SMP memakai jilbab harus dicopot karena ikut Paskibraka 2024,” kata Irwan kepada Republika, Rabu (14/8/2024).
Dalam keterangan pers, Yudian Wahyudi berdalih, setiap calon Paskibraka 2024 sudah menandatangani surat pernyataan di atas materai Rp 10 ribu. Isinya menegaskan kesediaan mematuhi peraturan yang ada, termasuk yang berkaitan dengan tata pakaian dan sikap tampang Paskibraka.
Aturan tentang pakaian, atribut dan sikap tampang, sebagaimana termuat dalam SK Kepala BPIP Nomor 35/2024 dan SE Deputi Bidang Diklat BPIP Nomor 1/2024, mesti dipatuhi mereka, khususnya pada saat Pengukuhan Paskibraka dan Pengibaran Sang Merah Putih pada upacara kenegaraan.
BACA JUGA: Viral, Paskibraka Nasional Wakil Aceh ‘Dipaksa’ Lepas Jilbab
Di luar kedua momen itu, Paskibraka perempuan bebas berjilbab.
“Di luar acara Pengukuhan Paskibraka dan Pengibaran Sang Merah Putih pada Upacara Kenegaraan, Paskibraka Putri memiliki kebebasan penggunaan jilbab dan BPIP menghormati hak kebebasan penggunaan jilbab tersebut,” ujar Yudian Wahyudi dalam keterangan pers yang diterima Republika, Rabu (14/8/2024) sore.
Siapakah Yudian Wahyudi?
Kepala BPIP Yudian Wahyudi lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 17 April 1960. Suami Siti Handaroh ini pernah menempuh pendidikan di sejumlah pondok pesantren, termasuk Ponpes Tremas Pacitan (Jawa Timur) dan Ponpes al-Munawwir Krapyak Yogyakarta (DIY).
Studi pendidikan tinggi ditempuhnya di IAIN Sunan Kalijaga (kini UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) hingga mendapatkan gelar sarjana dan doktorandus. Selain itu, ia juga kuliah S-1 di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.
Sukses meraih gelar master dari IAIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi berhasil diterima menjadi mahasiswa S-3 di McGill University (Kanada). Pada 2002, ia meraih gelar doktor dari kampus tersebut. Disertasinya bicara tentang slogan “kembali kepada Alquran dan Sunnah” di Mesir, Maroko dan Indonesia.
Antara tahun 2016 dan 2020, Yudian diangkat menjadi rektor UIN Sunan Kalijaga. Sejak 5 Februari 2020, pendiri Tarekat Sunan Anbia ini menduduki jabatan ketua BPIP.
Semasa menjadi rektor, Yudian Wahyudi pernah membuat heboh. Sebab, UIN Sunan Kalijaga dikabarkan memaksa 41 mahasiswinya yang bercadar untuk pindah kampus bila enggan melepas cadar saat proses belajar-mengajar di kelas. Ini berdasar pada Surat Rektor No B-1301/Un02/R/AK.00.3/02/2018.
BACA JUGA: Tak Rela Dipaksa Copot Jilbab, Kesbangpol Minta Wakil Paskibraka Aceh Ditarik Balik!
Yudian saat itu menegaskan, pihak kampus UIN Sunan Kalijaga menelusuri latar belakang keluarga mahasiswi bercadar serta motivasi mereka memakai kain itu. Menurut dia, keputusan bercadar dikhawatirkan tanpa sepengetahuan orang tua, melainkan lantaran terpengaruh ideologi atau aliran tertentu.
“Perempuan dengan kebiasaan memakai cadar itu seringkali hanya bergaul di komunitas mereka dan cenderung eksklusif. Dalam proses konseling itu akan kami lihat, dia mau kumpul dengan mahasiswa lain di luar komunitasnya atau tidak,” kata Yudian, dilansir Republika pada 5 Maret 2018.
Ia menekankan, kebijakan melakukan pembinaan terhadap mahasiswi bercadar disebabkan UIN Sunan Kalijaga adalah kampus negeri yang berasaskan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, pada akhirnya Surat Rektor No B-1301/Un02/R/AK.00.3/02/2018 dicabut. Ini setelah langkah Yudian Wahyudi dikritik pelbagai kalangan, termasuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
‘Agama Musuh Terbesar Pancasila’
Dalam sebuah wawancara di sebuah media nasional saat baru menjabat sebagai Kepala BPIP, Yudian Wahyudi mengatakan, ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Mereka antara lain membuat Ijtima Ulama untuk menentukan calon wakil presiden. Ketika manuvernya kemudian tak seperti yang diharapkan, bahkan cenderung dinafikan oleh politisi yang disokongnya mereka pun kecewa.
“Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan,” papar Yudian yang masih merangkap sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Meski demikian, Yudian kemudian mengklarifikasi soal pernyataannya tersebut. Menurut Yudian penjelasannya yang dimaksud adalah bukan agama secara keseluruhan, tapi mereka yang mempertentangkan agama dengan Pancasila. Karena, menurutnya dari segi sumber dan tujuannya Pancasila itu religius atau agamis.
Sumber: Republika
Editor: Agung