Oleh Nai Ummu Maryam
BEBERAPA waktu lalu telah viral sebuah gambar garuda biru bertuliskan peringatan darurat di jagat maya. Banyak kalangan yang berbondong-bondong memposting gambar tersebut pada Rabu, 21 Agustus 2024. Gambar garuda biru yang viral tersebut merupakan aspirasi rakyat Indonesia untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menolak rencana DPR yang akan merevisi RUU Pilkada.
Dampak dari viralnya garuda biru yang bertuliskan peringatan darurat sampai saat ini masih terjadi aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai wilayah. Berupaya mengawal putusan MK, menolak adanya dinasti kekuasaan dan sebagainya. Walaupun DPR batal mengesahkan revisi UU Pilkada.
Kendati demikian, rakyat yang cerdas tidak akan berhenti bersikap kritis, karena ancaman yang sesungguhnya ada dalam demokrasi itu sendiri. Demokrasi lah yang membuka gerbang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, hukum dan aspek-aspek penting yang berujung menyengsarakan rakyat.
Peringatan Darurat Garuda Biru yang Viral
Dilansir dari media BBC.com (23-8-2024) di media sosial, gambar garuda biru merupakan tangkapan layar dari berbagai unggahan video “Emergency Alert System” (EAS) Indonesia Concept. Singkat kata, dalam karya fiksi tersebut, lambang Garuda Pancasila berlatar biru merupakan siaran darurat dari pemerintah ketika muncul ‘entitas asing’ yang ingin membajak negara.
Melihat situasi ini ada beberapa catatan penting. Spirit aksi darurat garuda biru adalah bentuk aspirasi rakyat untuk meminta keadilan, ketaatan pada hukum, dan menolak adanya dinasti politik, atau bahasa mudahnya pemberian kursi jabatan kepada sanak saudaranya.
Namun sayangnya, permintaan-permintaan ini tidak akan pernah terpenuhi selama kita masih berpayung pada sistem demokrasi. Di mana hukum bisa diotak-atik sesuai dengan kepentingan dan pesanan.
Sebagaimana dilansir dari laman Kompas.com, MK memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Buruh dan Gelora. MK memutuskan threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/non partai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.
Demokrasi yang katanya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah ilusi semata. Hukum yang dibuat dengan mudah diatur oleh pemilik modal (kapitalis) dan pemangku kekuasaan. Sedangkan rakyat hanya gigit jari menikmati hasil keputusan hukum yang tidak adil.
Sejatinya keadilan tidak mungkin tegak dalam sistem demokrasi kapitalisme. Suara terbanyak akan diambil demi meraih sebuah tujuan, tidak peduli dosa atau pahala, adil atau sengsara, bahkan benar atau salah bukan menjadi tolok ukur.
Maka sudah sangat wajar kita saksikan bahwa hukum dan keadilan hanya berlaku bagi rakyat biasa. Sebab rakyat biasa dengan ekonomi terbatas tidak akan bisa ‘wani piro’ dalam keputusan hukum. Seperti kiasan yang sudah biasa kita dengar. “Tumpul ke atas, tajam ke bawah.”
Kembali Kepada Sistem Islam
Hari ini kita merasa bahwa demokrasi adalah sistem satu-satunya yang memberikan solusi. Ternyata itu salah. Saat ini kita hidup seperti berada pada lingkaran benang kusut. Ada saja masalah yang menghampiri. Semua aspek kehidupan digerogoti secara perlahan. Lihatlah bagaimana aspek hukum yang ditegakkan, sulit untuk mendapatkan keadilan dan ketentraman.
Begitu pun bidang ekonomi, penguasaan sumber daya alam diserahkan kepada asing, aseng, swasta bahkan ormas.
Sulitnya lapangan pekerjaan, mahalnya biaya hidup, pendidikan, kesehatan, berimbas pada maraknya kriminalitas, kemiskinan, judi serta miras yang berujung pada kesehatan mental dengan tingginya kasus bunuh diri. Pun sama halnya dengan aspek sosial dan budaya, tata krama dan adab kian terkikis dampak dari budaya asing yang terbuka bebas masuk ke dalam negeri.
Seyogianya problematika hari ini disebabkan karena jauhnya kita dari agama. Ketakwaan terkikis karena kerakusan. Ditambah pula sistem yang diadopsi di dalam negeri tak mampu memberikan solusi. Sudah saatnya kita sadar bahwa kembali kepada aturan Sang Pencipta akan membawa keberkahan hidup. Mencampakkan semua aturan hidup yang dibuat manusia dengan kembali bersandar kepada aturan Allah.
Bukankah Allah SWT. adalah pembuat hukum yang adil dan bijaksana? Lantas mengapa manusia meninggalkannya? Sebagaimana firman Allah SWT.
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah:50).
Sejatinya keberkahan akan kita rasakan ketika kita kembali kepada Islam dengan penerapannya yang sempurna.
Wallahualam
Penulis dan Pemerhati Permasalahan Sosial Bermestautin di Batam