Catatan Ilham Bintang
MENTERI Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi, luar biasa. Tidak sampai 24 jam setelah mendapat keluhan soal pemeriksaan ulang penumpang pesawat Qantas QF 40 yang ke Melbourne, Minggu (1/9) langsung bereaksi. Laporan soal Qantas itu merujuk pada tulisan saya “Pemeriksaan Ulang Barang Penumpang Qantas Yang Menegangkan”, Senin (2/9) petang yang disiarkan berbagai media di Tanah Air. Kejadian itu memang saya alami sendiri.
“Saya akan menyurat kepada Dubes Australia di Indonesia dan pihak Qantas dengan tembusan ke Menteri Luar Negeri,” ujar Menhub Budi Karya Sumadi, Selasa (3/9/2024) pagi. Ia menyampaikan itu lewat telepon dan WA. Misscall menteri tercatat pukul 07.30 waktu Melbourne atau pukul 04.30 WIB, sebelum adzan Subuh di Tanah Air. Saya call balik setengah jam kemudian. Menhub Budi Karya Sumadi ingin memastikan kejadian dan kronologi pencegatan penumpang untuk pemeriksaan penumpang Qantas jelang memasuki pesawat.
Pencegatan Jelang Masuk Pintu Pesawat
Saya pun kembali mengulang peristiwa dalam tulisan kemarin. Pesawat Qantas QF 40 Jakarta – Melbourne, boarding pukul 20.15 WIB. Sekitar 45 menit sebelum jadwal keberangkatan dari Terminal 3 Soekarno Hatta, Minggu (1/9/24) malam. Saya tiba di desk pelayanan boarding pukul 20.30 WIB. Sudah agak sepi. Tinggal beberapa orang saja, termasuk saya dan istri.
Saya sempat merasa jengah seakan penumpang terakhir yang sudah ditunggu. Penumpang lain biasanya sebal kalau pesawat tidak terbang tepat waktu atau pintu belum ditutup karena menunggu satu -dua penumpang yang terlambat masuk pesawat.
Selesai “scan barcode” boarding pass, saya bergegas ke dalam, menuju “Garbarata” –jembatan fasilitas bandara yang menghubungkan ruang tunggu penumpang ke pintu pesawat. Baru beberapa langkah berjalan, ternyata antrian stuck atau kami terjebak kemacetan. Antrian mengular panjang. Sampai pintu pesawat pun tidak terlihat. Petugas di desk depan menyusul kami. Mereka mengarahkan lewat jalur kiri yang lengang.
Pintu pesawat sudah tampak mata. Tinggal beberapa langkah lagi masuk, ketika beberapa petugas menyetop dan menyilahkan kami menghadap mereka. Rupanya inilah sumber yang menyebabkan antrian masuk pesawat stuck. Di depan, kiri kanan, tampak petugas sibuk menggeledah koper kabin bawaan para penumpang.
Apa yang terjadi?
“Pemeriksaan ulang, pak,” sahut petugas ketika kami tiba di depannya. “Kami mau periksa koper kabin bapak dan ibu,” tambahnya. Pertanyaan saya tidak terjawab. Sungguh ini pengalaman pertama. Belasan kali ke Melbourne Australia dalam sepuluh tahun tahun terakhir belum pernah mengalami kejadian seperti ini.
Saya menoleh ke antrian di jalur kanan. Lebih seru. Antrian semakin tambah mengular panjang karena dicegat petugas. Saya membatin, akan memakan waktu berapa lama pemeriksaan ini dengan jumlah penumpang ratusan? Terutama, seberapa efektif pemeriksaan manual itu bisa menemukan yang dicari?
Jarum jam bergerak cepat. Sisa 15 menit lagi pesawat take off — menurut jadwal di boarding pass.
“Lho? Apakah pemeriksaan dengan metal detector di awal tadi tidak cukup?” tanya saya sambil membuka koper kabin. Padahal, pemeriksaan metal detector di bandara Soekarno Hatta bukan hanya barang bawaan, tetapi seluruh badan penumpang.
Peralatannya berteknologi canggih. Gunting kuku pun terdeteksi. Jika ada yang meragukan, pemeriksaannya diulang secara manual. Termasuk pemeriksaan badan penumpang, bisa berulang-ulang, karena terdeteksi ada logam, uang logam misalnya. Pun korek api.
Tangan petugas terus saja menggeledah isi koper.
“Tidak cukup pak dengan pemeriksaan metal detector. Masih saja ada yang bisa lolos,” kata petugas.
Petugas itu seperti tidak sadar pernyataannya berpotensi melecehkan kemampuan profesional petugas pemeriksa yang dilengkapi peralatan canggih.
“Barang apa sih yang lolos? “tanya saya lagi, penasaran. Petugas tidak menyahut, tangannya tetap sibuk merogoh-rogoh isi koper kecil.
Sebenarnya pemeriksaan sebelum naik pesawat seperti itu lazim kita alami di bandara Changi, Singapore. Dan, beberapa bandara internasional lainnya. Tetapi pemeriksaan tetap menggunakan metal detector.
“Lebih akurat cara manual,” tukas petugas itu lagi.
Apa yang sebenarnya mau digeledah petugas belum begitu jelas hingga mereka menyilahkan kami memasuki pesawat. Apapun, jelas pemeriksaan itu telah menimbulkan ketidaknyamanan dan ketegangan bagi penumpang. Malah menimbulkan kecemasan baru. Apakah ada ancaman terorisme? Entahlah.
Setelah duduk di kursi di dalam kabin pesawat, saya mencoba menghubungi Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi yang saya kenal baik, via japri di WA. Saya ceritakan pengalaman tadi. Dalam waktu relatif singkat beliau merespons cepat malam itu. Beliau kirim emoji “Siyaap”. Lalu, ” Saya belum tahu. Nanti saya cek,” kata menteri.
Pesawat Qantas take off tepat waktu. Masih melekat dalam benak gangguan pemeriksaan manual tadi. Pemeriksaannya terkesan tidak bersungguh-sungguh. Dalam bahasa medsos, seakan hanya mau “ngeprank”. Meja tempat pemeriksaan jauh dari standar, seperti meja yang diadakan secara mendadak.
Saya memprotes petugas yang hanya merogoh dengan tangan kosong. Dalam kondisi galau, kurang kontrol malah bisa -bisa penumpang kehilangan barang berharga. Ketika ditanya sekali lagi, petugas enteng saja menjawab, “Lebih akurat dengan cara manual begini”.
Masalahnya, kita yang tidak percaya cara merogoh-rogoh dengan tangan kosong begitu. Mungkin petugas itu tidak mengetahui di Bandara Melbourne pemeriksaan pihak Imigrasi dan bagian Custom super ketat. Tidak hanya menggunakan metal detector, sering juga mengerahkan anjing pelacak untuk mengendus koper bawaan penumpang. Barang yang dideclare maupun yang tidak tetap diperiksa.
Menhub mengakui pemeriksaan di Bandara Australia sudah super ketat. Sambil terkekeh dia mengenang peristiwa 15 tahun yang dialaminya di Bandara Sydney. “Bayangkan apel yang disajikan di pesawat ketika saya bawa turun dipersoalkan di bagian custom. Saya didenda AUD 200,” kenangnya pagi tadi. AUD 200 setara dengan Rp 2.100.000. Atau sekitar 40 kg apel.
Beruntunglah di dalam penerbangan Jakarta – Melbourne, saya bisa tertidur pulas. Bahkan tidak sempat menikmati sarapan yang disediakan. Saya terbangun setengah jam sebelum landing. Begitu landing, saya nyalakan ponsel. Ada miscall dari Menteri Budi Karya Sumadi. Disusul WA. Isinya hasil pengecekannya kepada otoritas di bandara yang di forward ke saya.
Intinya berdasarkan informasi dari Manager Qantas, pemeriksaan itu dilakukan terhadap seluruh hand carry penumpang tujuan Australia berdasarkan ketentuan penerbangan Pemerintah Australia (compliance authority rules). Pemeriksaan dilakukan di boarding Gate oleh “Security Maskapai”.
Tujuannya untuk pencegahan LAGs (Liquid, aerosol, and Gels) melebihi 100 ML dan benda-benda tajam yang terlewat di SCP. Mereka menegaskan pemeriksaan tersebut saat ini hanya tujuan Australia.
Tentu saja klarifikasi itu tidak sepenuhnya benar. Rasanya itu hanya berlaku bagi penumpang maskapai penerbangan Qantas. Sebelum ini penerbangan saya ke Australia lebih sering dengan Garuda Indonesia. Tidak terjadi seperti penerbangan Qantas. Garuda juga direct Jakarta -Melbourne, juga terutama tepat waktu. Tidak heran dalam urusan ketepatan waktu Garuda berkali-kali meraih penghargaan internasional di bidang penerbangan. Begitupun dengan kenyamanan di dalam kabin pesawat dan keramahtamahan awak kabinnya.
Belakangan setelah Garuda mengubah jam penerbangan dari semula jam 9 malam menjadi jam 2 dini hari yang amat tanggung, membuat saya mencari penerbangan dengan jam keberangkatan lebih awal. Terakhir saya menumpang Singapore Airlines, bulan Mei lalu. Juga tidak mengalami pemeriksaan serupa Qantas saat ini.
Di tengah persaingan ketat maskapai penerbangan yang semakin mengandalkan efisiensi waktu demi meningkatkan kenyamanan di berbagai bandara internasional, cara Qantas itu jelas sangat kuno. Jadul, istilah generaai milenial.
Kontras dengan pemeriksaan penumpang di Bandara John F Kennedy di New York yang saya alami tahun lalu. Imigrasi dan pemeriksaan barang bawaan bagasi disatukan. Supir taksi saja bisa sesumbar begini. ” Tidak bawa senjata dan narkoba, you bisa melenggang nyaman. Sesimpel itu,” katanya.
“Ya pak itu permintaan Australia. Kalau tidak, pengalaman saya kena denda yang besar, ” kata Budi Karya Sumadi ketika saya sudah tiba di Melbourne, Senin (2/9/24) pagi.
Pernyataan itu merespons ucapan terima kasih saya atas perhatian besar Menteri Perhubungan menanggapi keluhan kami. Belakangan, saya sebut di awal belum 24 jam, setelah menyimak laporan lengkap dalam tulisan saya, Menteri Budi Karya Sumadi tergugah.
Maka, hari ini diputuskanlah untuk menyurati Dubes Australia, dan Qantas dengan tembusan kepada Menteri Luar Negeri. Semoga terjadi perubahan. Ini bukan hanya soal penumpang, tetapi juga soal citra Bandara Soekarno Hatta, dan terutama citra Indonesia, negeri tercinta.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia