Drama Fufufafa

Ilustrasi Drama Fufufafa. (Foto: Ahmadie Thaha)

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

AH, Fufufafa. Nama yang sederhana, terdengar seperti permainan kata anak-anak yang penuh keceriaan, menunjukkan pemiliknya suka main game atau sering baca komik. Dan saking viralnya nama ini, sampai ada yang bikin lagu bernada riang tapi berlirik penuh ironi.

Namun, siapa sangka, di balik nama imut ini tersembunyi salah satu drama politik paling kocak sekaligus menegangkan di panggung politik Indonesia. Bak film komedi gelap, kasus Fufufafa menyuguhkan adegan-adegan absurd yang membingungkan publik, mengaburkan batas antara kenyataan dan lelucon, antara sindiran tajam dan skenario kampanye politik.

Mari kita mundur sejenak, ke momen ketika nama ini muncul di jagat maya. Fufufafa, akun anonim di Kaskus, tiba-tiba viral karena catatan cuitan lawasnya yang menghina sejumlah tokoh politik ternama, di antaranya Prabowo Subianto.

Lebih dari sekadar kritik, Fufufafa juga menyerang secara pribadi. Istri, anak, hingga latar belakang militer Prabowo, tak luput dari hujatannya.

“Tentara pecatan, cerai, anak melambai, pendukungnya radikal,” begitu tulis Fufufafa, dengan gaya sindiran yang tampaknya dipelajari dari kombinasi jurnalisme kuning dan humor sarkastik ala komika jalanan.

Namun, kisah ini tak berakhir di situ. Drama semakin memanas ketika beberapa pihak menduga bahwa di balik akun misterius ini berdiri sosok Gibran Rakabuming, putra Presiden Joko Widodo yang, setelah jadi dilantik, akan menjabat sebagai Wakil Presiden terpilih untuk periode 2024-2029 bersama Prabowo sendiri.

Ini ibarat plot film thriller politik yang melibatkan dua tokoh penting yang kini harus bekerja sama memimpin negara, tetapi diam-diam terlibat dalam perang sindiran di media sosial. Kalau ini benar, seharusnya kita tidak perlu menonton serial Netflix —politik Indonesia sudah menyajikan cukup banyak drama.

Fakta semakin absurd ketika seorang netizen bernama @YourAnonId_ mencoba mengungkap identitas Fufufafa dengan metode investigasi yang tak kalah kreatif: transfer GoPay. Alangkah terkejutnya publik ketika nama yang muncul di aplikasi tersebut adalah Gibran Rakabuming.

Namun, lebih mengejutkan lagi, nama itu kemudian berubah menjadi… Slamet! Ah, Slamet, nama yang pas untuk seorang tokoh anonim yang berharap selamat dari gemuruh amarah politik.

Tetapi di sinilah letak komedinya. Dalam dunia di mana data digital bisa disalin, jejak digital tak pernah benar-benar hilang. Apalagi, jejaknya bisa ditelusuri sampai ke dokumen pendaftaran Gibran di Pilkada Kota Solo.

Sekalipun nama akun Go Pay dengan no hp yang sama telah sengaja diubah, jejak investigasi ini tetap ada dan menjadi bahan lelucon di kalangan netizen.

“Moga-moga Slamet selamat dari amarah Prabowo,” cuit salah satu pengguna media sosial, dengan rasa humor yang hanya bisa ditemukan di masyarakat Indonesia yang begitu tabah menghadapi kekacauan politik sehari-hari.

Namun, di balik semua lelucon dan komedi ini, ada juga pelajaran reflektif. Apakah politik kita benar-benar sudah menjadi sekadar panggung sindiran?

Apakah kita telah begitu terbiasa dengan polarisasi hingga menganggap drama politik semacam ini sebagai hal biasa?

Atau mungkin, Fufufafa adalah cermin satir yang menampilkan realitas sebenarnya —bahwa politik Indonesia sudah menjadi semacam sandiwara yang penuh dengan aktor anonim, dan kita sebagai penonton hanya bisa menebak siapa yang berada di balik topeng tersebut.

Menyaksikan Prabowo dan Gibran, dua tokoh yang kini harus bekerja sama setelah Fufufafa mengguncang panggung, ibarat menyaksikan babak baru dalam film komedi politik ini.

Apa langkah selanjutnya? Apakah Prabowo akan memaafkan Gibran, ataukah kisah ini akan terus bergulir menjadi episode-episode baru yang lebih absurd?

Terlepas dari semuanya, satu hal yang pasti: kita semua akan tetap menjadi penonton yang setia, tertawa di tengah ironi, sambil bertanya-tanya, kapan drama ini akan benar-benar berakhir?

Atau mungkin, kita sebenarnya tak ingin drama ini berakhir, karena di dalam absurditas inilah kita menemukan hiburan sekaligus refleksi tentang keadaan politik kita.

Ah, Fufufafa, siapa sangka sebuah akun anonim bisa membawa begitu banyak tawa, ironi, sekaligus pertanyaan mendalam tentang masa depan bangsa? Akan jadi bangsa apa kita, jika dipimpin orang berlidah seperti Fufufafa?*

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995