J5NEWSROOM.COM, Surabaya – Tiga calon yang bersaing dalam pemilihan adalah Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, dan Luluk Nur Hamidah. Khofifah mendapatkan dukungan dari 15 partai politik, Risma dari tiga partai, dan Luluk dari satu partai.
Hasil survei yang dilakukan oleh Indikator antara 9-14 September 2024 menunjukkan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak meraih sekitar 61 persen suara, diikuti oleh Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) dengan 26 persen, dan Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Hakim dengan 2,2 persen.
Pendiri dan peneliti utama Indikator, Burhanuddin Muhtadi, dalam keterangan persnya pada Minggu (29/9) mengungkapkan beberapa simulasi dilakukan untuk mengukur tingkat keterkenalan dan keterpilihan kandidat, baik secara individu maupun pasangan.
Hasil menunjukkan bahwa Khofifah, sebagai gubernur petahana, masih mendominasi dalam beberapa survei. Namun, Burhanuddin mengingatkan bahwa Khofifah perlu waspada karena dua saingannya berpotensi meningkatkan perolehan suara.
“Berdasarkan potret pertengahan September, Khofifah-Emil Dardak unggul signifikan dibanding posisi kedua dan ketiga. Di antara rivalnya, Mbak Risma memiliki peluang untuk menyaingi Khofifah, sementara Luluk perlu meningkatkan keterkenalan untuk menaikkan elektabilitas,” ujarnya.
Burhanuddin menjelaskan keunggulan Khofifah terletak pada faktor keterkenalan dan pengalaman memimpin Jawa Timur selama lima tahun, serta ini merupakan pilkada keempat baginya.
Namun, menurutnya, Khofifah kalah dari Risma dalam lima aspek kualitas personal, yaitu perhatian terhadap masyarakat, kejujuran, reputasi bebas dari korupsi, ketegasan, dan kewibawaan. Khofifah unggul dalam hal kemampuan memimpin.
“Dalam pemerintahan, Khofifah sedikit lebih unggul, diikuti oleh Risma. Dalam ketegasan dan kewibawaan, Risma memiliki keunggulan, terutama dalam persepsi ketegasan. Risma juga sedikit lebih unggul dalam perhatian kepada rakyat,” jelas Burhanuddin.
Peneliti utama Indikator, Hendro Prasetyo, menambahkan bahwa pertarungan kursi gubernur di Jawa Timur menarik, mengingat keragaman sosial, politik, dan budaya di provinsi tersebut, sehingga pendekatan di satu daerah tidak dapat disamakan dengan daerah lain.
“Jawa Timur memiliki sub-kultur yang beragam, termasuk etnis Madura dan Mataraman. Ada juga wilayah dengan karakteristik khusus seperti Tapal Kuda dan Arek,” tuturnya.
Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo, Madura, Surokim Abdussalam, menyatakan bahwa kontestasi politik di Jawa Timur adalah arena yang menantang dan kompleks, mengingat provinsi ini kurang ramah terhadap pendatang baru.
Dengan hampir 31 juta pemilih, Jawa Timur menjadi arena persaingan yang heterogen dan kompleks dibandingkan provinsi lain. Menurut Surokim, kandidat harus memiliki nilai lebih yang signifikan untuk meraih kekuasaan selama lima tahun ke depan.
“Surplus politik, seperti dukungan terhadap capres, dapat mempengaruhi elektabilitas. Khofifah mendukung Prabowo, sehingga ini bisa menjadi keuntungan untuknya. Semakin banyak surplus yang dimiliki kandidat, maka elektabilitasnya akan meningkat,” jelasnya.
Abdussalam menekankan pentingnya memahami dan mengoptimalkan keragaman wilayah Jawa Timur, karena pilihan politik di tingkat bawah mungkin berbeda dengan tingkat keterpilihan calon.
Keterkenalan atau popularitas tetap menjadi faktor penting dalam memenangkan kontestasi, di samping strategi kampanye. Calon petahana diunggulkan selama tidak ada isu mendasar yang menggerogoti dukungannya.
“Untuk menguasai Jawa Timur, kekuatan harus ada di wilayah urban dan rural. Kandidat tidak boleh hanya kuat di Arek, tetapi juga harus dapat meraih dukungan di Mataraman, Pandalungan, Madura, dan wilayah pantai utara,” pungkasnya.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah