Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
ADA yang bilang politik itu permainan catur, tapi di Indonesia, politik lebih mirip seperti main ular tangga. Ada yang naik, ada yang tergelincir ke bawah, dan tentu, ada yang mangkrak. Betul, main ular tangga bisa mangkrak lho.
Salah satu yang mangkrak ini, sebut saja misal Ibu Kota Nusantara (IKN), proyek spektakuler yang dipromosikan sebagai warisan abadi dari Jokowi, tapi mulai terlihat seperti fosil raksasa di tengah hutan Kalimantan. Ya, IKN ini kini lebih mirip proyek dengan plang “under construction forever”.
Tapi tunggu, jangan langsung salahkan Jokowi. Ini bukan salah dia, katanya. Beliau cuma “menyampaikan aspirasi” rakyat. Dan rakyat yang dimaksud, tentu saja, bukan sembarang rakyat. Ada lembaga wakil rakyat yang katanya memberikan persetujuan untuk IKN.
DPR, yang kerap disebut “tukang stempel” itu, disalahkan Jokowi dalam manuver terbarunya. Jadi kalau proyek ini gagal? Mampus kau DPR! Begitu kiranya rakyat berteriak. Apalagi, Jokowi sudah berasa cuci tangan.
Bayangkan saja, proyek sebesar IKN ini, yang membutuhkan ratusan atau bahkan ribuan triliun rupiah, kini mulai terasa seperti impian kosong. Hutang? Biarkan saja, tokh itu bisa dibereskan presiden berikut.
Dana? Oh, itu urusan nanti. Investor? Hmm, investor mana yang tertarik dengan proyek yang terlihat seperti kastil pasir di pinggir pantai? Mereka menunggu, mengamati, dan akhirnya semua melangkah mundur, meninggalkan papan nama IKN di Kalimantan, kosong melompong.
Yang menarik, Jokowi ingin warisan yang besar dan mewah seperti piramida Mesir. Sebuah mahakarya yang akan dicatat sejarah. Tapi ternyata, realitas berkata lain.
Bahkan, saking pintarnya beliau, saat IKN mulai terancam mangkrak, beliau langsung melempar bola panas ke DPR. “Ini bukan proyek saya, ini proyek rakyat,” katanya sambil tersenyum manis.
Tentu saja, semua dibuatnya tercengang bertanya, rakyat mana yang pernah dimintai pendapat tentang ini? Mungkin hanya rakyat-rakyat di Senayan, itupun yang “diservis” dengan deal-deal politik di belakang layar.
Faktanya, Jokowi menyatakan IKN sebagai proyek yang didukung 90% fraksi di DPR. Sebuah klaim yang seolah-olah menegaskan bahwa keputusan IKN adalah suara rakyat.
Mampuslah DPR, jika IKN mangkrak. Merekalah yang disalahkan jika proyek ini gagal. Kalau gagal, “bukan salah saya, kan DPR yang setuju,” kira-kira begitu logika yang ingin disampaikan pak Jokowi, eh Mulyono.
Inilah contoh nyata yang disebut premanisme politik. Bukan preman pasar, bukan juga geng motor, tapi preman berkotak-kotak jas di gedung megah. Jika preman di lapangan terminal mengintimidasi pedagang kecil untuk bayar “jasa keamanan”, preman di gedung-gedung mewah menekan parlemen dengan kesepakatan rahasia, memaksakan proyek-proyek fantastis yang tak realistis. IKN hanyalah contoh besar dari cara kerja “premanisme legal”.
Masalahnya, ketika nanti proyek ini benar-benar mangkrak, DPR-lah yang akan jadi kambing hitam. Preman politik sudah tahu cara mengelak.
Jokowi mengemasnya dengan apik: “IKN bukan proyek presiden.” Seolah-olah dengan kalimat ini, semua beban tanggung jawab bisa dilempar ke pihak lain.
Melihat semua ini, kita jadi berpikir: apakah kita membutuhkan model ala Bukele di Indonesia? Presiden Nayib Bukele dari El Salvador berhasil dengan pendekatan “iron fist”, menekan preman-preman geng kriminal hingga ke akar-akarnya.
Tapi, preman politik di Indonesia jauh lebih lihai. Mereka tidak menguasai jalanan, mereka menguasai parlemen, birokrasi, bahkan media.
Bukele berhasil karena ia bertindak tegas tanpa kompromi, memutus rantai kekerasan dan intimidasi geng yang menguasai El Salvador. Di sini, tantangannya berbeda. Preman kita tidak hanya beroperasi di pasar gelap, tapi juga di pasar kekuasaan. Mereka punya hubungan langsung dengan elite-elite politik.
Jadi, bisakah Bukele Model diterapkan? Mungkin bisa, tapi butuh sosok presiden yang berani menendang meja perundingan, bukan hanya memindahkan tanggung jawab seperti memainkan catur politik.
Melihat kenyataan bahwa proyek besar seperti IKN mulai terlihat seperti “mangkrak”, kita sebaiknya berpikir ulang tentang model-model pembangunan besar-besaran yang hanya didasarkan pada ambisi satu orang. Tidak ada gunanya proyek mewah jika hanya akan berakhir sebagai monumen kegagalan.
Dan lebih buruk lagi, tidak ada gunanya memaksa rakyat menerima proyek-proyek ini, sementara masalah nyata seperti kemiskinan, ketimpangan, dan korupsi tetap merajalela.
Kalau mau warisan atau kerennya legacy, mungkin kita harus mulai dengan memperbaiki sistem, bukan membangun kota baru di tengah hutan. Dan jika benar-benar ingin membersihkan premanisme, baik di jalanan maupun di politik, Indonesia butuh lebih dari sekadar proyek ambisius.
Kita butuh keberanian untuk mengakui kesalahan, transparansi dalam setiap keputusan, dan yang terpenting, kita butuh pemimpin yang berani bertindak —bukan yang sekadar pandai cuci tangan.*
Jakarkta, 06.10.2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995