Sedih Tidak

Pimpinan Ma’had Tadabbur al-Qur’an dan sahabat Dahlan Iskan, Ahmadie Thaha. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Dahlan Iskan

BAIK juga. Sesekali medsos memperdebatkan soal-soal yang mendasar: bisakah kebaikan datang dari semua agama. Atau hanya ada satukah kebenaran. Daripada, misalnya, medsos terus sibuk membahas soal berapa ukuran BH yang bisa membuat payudara tetap kencang.

Lebih lima jam di atas kereta cepat ini saya punya waktu membaca banyak WA yang masih terselip di bawah layar. Kemarin. Dari Shenzhen ke Fuqing. Anda sudah tahu Fuqing: kota tempat lahirnya konglomerat terbesar Indonesia, Liem Sioe Liong. Almarhum.

Salah satu WA yang terbaca itu  dari teman lama. Sesama alumni TEMP0. Juga sama-sama pengelola pesantren. Setelah dari TEMPO sama-sama pula memimpin koran. Saya ke Jawa Pos, ia ke Republika.

Namanya Ahmadie Thaha.

Sudah begitu lama saya tidak menerima kiriman WA-nya. Kini Ahmadie sibuk mengurus tiga pesantrennya.

Satu di Cirebon yang ia dirikan sejak masuk Tempo di tahun 1987. Satu lagi di Gadog, Ciawi. Dan yang ketiga di Sukabumi yang ia dirikan di saat pandemi Covid-19.

WA yang ia kirim panjang. Menyangkut agama anak Pak Iskan yang lagi viral itu.

Rupanya ia kirim WA dari Cirebon. Dari pesantrennya, Mambaul Ulum, yang punya santri mukim 1.000 orang dan  santri kalong 3.500 orang.

Pesantren itu letaknya tidak jauh dari pesantren Bina Insan Mulia (Bima) yang terkenal itu.

Ahmadie rupanya juga seperti Anda: menerima kiriman video entah dari mana. Tentang suami menantunya Pak Iskan itu.  Yang lagi viral. Lalu video lama pun, yang dulu juga viral, jadi ikut viral lagi, nebeng keviralan video agama tanpa sembahyang itu.

Tentu saya tidak mampu menjawab satu persatu WA itu. Untungnya banyak orang sudah memberikan penjelasan –seolah  mewakili saya. Salah satunya dari Ahmadie Thaha. Ia seperti tahu isi jawabannya itu pasti saya setujui.

Untuk menjawab teman-temannya itu Ahmadie tidak bertanya pada saya. Ia justru bertanya dulu ke ChatGPT.

Pertanyaan yang ia ajukan ke ChatGPT adalah: “apakah tindakan Dahlan Iskan seperti itu merupakan sembahyang atau ibadah”.

ChatGPT, menurut Ahmadie menjawab begini: itu bukan sembahyang atau ibadah. Hanya sebuah ritual penghormatan.

Ahmadie sendiri alumni pesantren Al Amin, Prenduan, ”Gontor”-nya Madura. Ia angkatan keempat. Masih era harus menanak nasi sendiri. Belum ada listrik. Pakai lampu teplok.

Setelah tamat Al Amin, Ahmadie harus ”mengabdi” dua tahun, mengajar tanpa gaji. Seperti itu pula tradisi di Gontor, Ponorogo.

Setelah itu ia ingin masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Atau UGM. Ditolak. Alasannya: hanya lulusan pondok –masih ikut aturan lama.

Padahal secara keilmuan banyak pun sarjana IAIN yang tidak sehebat dirinya. Sambil lontang-lantung di Yogya Ahmadie menerjemahkan kitab-kitab klasik seperti Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Juga Ar-Risalah karya ulama dunia Imam Syafii. Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali. Shahih Bukhari dan banyak lagi.

Lontang lantung tapi produktif.

Ahmadie pun ke Jakarta. Ia masuk Universitas As-Syafiiyah, sampai tingkat sarjana muda. Dari situ barulah bisa lanjut kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Selesai 1996.

Di Ciputat, Ahmadie aktif di HMI. Mulai banyak pula menulis –sering dimuat di majalah yang didirikan Buya Hamka, Panji Masyarakat.

Ia juga mendiririkan kelompok studi LSI (Lingkaran Studi Indonesia). Nama LSI belakangan dipakai Denny JA dan Saiful Mujani, keduanya sama-sama rekan aktivis Ahmadie.

Di Jakarta Ahmadie kenal dengan seniman teater Amak Baljun. Diajak masuk Tempo. Satu angkatan dengan Zaim Uchrowi. Saya sudah meninggalkan Tempo saat itu –ditugaskan ke Jawa Pos.

Setelah bertanya ke Chat GPT, Ahmadie ingin tahu lebih banyak kelenteng yang saya datangi. Ia bukan tipe orang yang “lihat sekilas langsung bicara”. Ia bukan kompor sumbu pendek.

Hasil penelusurannya itu ia WA-kan ke saya:

“Saya coba telusuri teks yang terpampang di altar itu. Saya memperoleh info dari google.

Lalu Ahmadie pergi ke Chat GPT lagi. Ini penjelasan ChatGPT:

Teks (dibaca: Fèngshān Gōng) merujuk pada sebuah kuil aslinya di Taiwan yang didedikasikan untuk Dewa Mazu, dewi laut dalam kepercayaan orang Tionghoa.

Secara harfiah berarti “phoenix,” berarti “gunung,” dan berarti “kuil” atau “istana.”

Jadi, secara keseluruhan, bisa diartikan sebagai “Kuil Gunung Phoenix”.

Kuil ini terkenal sebagai tempat ibadah bagi umat Taoisme yang memuja Mazu sebagai pelindung para pelaut dan nelayan.

Kuil-kuil dengan nama yang sama juga bisa ditemukan di beberapa daerah lainnya di Taiwan, Tiongkok, dan negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Itu menunjukkan betapa pentingnya penghormatan kepada Mazu dalam kebudayaan masyarakat pesisir.

Mazu dipuja sebagai sosok yang penuh kasih dan penyelamat bagi mereka yang menghadapi bahaya di laut.

Menurut legenda, Mazu adalah seorang wanita bernama Lin Mo atau Lin Moniang yang hidup pada abad ke-10 di Fujian, Tiongkok.

Sejak kecil, Lin Moniang menunjukkan kemampuan luar biasa, seperti dapat melihat kejadian di laut dari jarak jauh dan menyelamatkan para pelaut dari badai melalui kekuatannyi.

Setelah meninggal muda pada usia 28 tahun, Lin Moniang dianggap sebagai makhluk ilahi oleh masyarakat setempat karena keajaiban-keajaiban yang dihubungkan dengan dirinyi.

Dia kemudian diangkat sebagai dewi dan dikenal sebagai Mazu, yang berarti “Ibu Leluhur.”

Kuil-kuil yang didedikasikan untuk Mazu, seperti kuil “Fengshan Gong”, banyak ditemukan di wilayah pesisir Tiongkok, Taiwan, dan komunitas diaspora Tionghoa di seluruh dunia.

Mazu juga memiliki perayaan tahunan yang besar, terutama di Taiwan, di mana festival untuk menghormati Mazu melibatkan prosesi, doa, dan persembahan.

Sungguh banyak pun orang Tionghoa baru tahu cerita itu dari pengasuh pesantren ini. Apalagi saya.

Sejak Ahmadie berhenti sebagai pimpinan di harian Republika saya kehilangan kontak dengannya. Rupanya ia terus jadi aktivis.

Selain mengasuh pesantren Ahmadie juga aktif di Komisi PPP (penelitian) di MUI. Juga jadi pengurus di beberapa  ormas seperti PUI atau PIM (Pergerakan Indonesia Maju).

“Saya sedih, sebagian kawan di Komisi PPP MUI sampai menyebut Anda murtad,” tulisnya.

Saya tidak sedih. Baik juga sesekali medsos memperdebatkan masalah hubungan kemanusiaan yang mendasar.

Untuk menutup tulisan ini saya ingat foto saya di pabrik yang baru saya kunjungi di Shenzhen.

Foto itu hadiah untuk Leong Putu. Pas banget. Saya berfoto di sebelah tulisan itu. Arti bebasnya: rumah tanpa istri tidak bisa disebut rumah.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia