Datuk ITB

Penandatanganan prasasti peresmian oleh Rektor ITB dan Datuk Low Tuck Kwong. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

SAYA bertemu Datuk Low Tuck Kwong lagi. Kemarin. Kali ini di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta –di ruang tunggu khusus untuk naik pesawat pribadi.

Anda masih ingat: saya pernah bertemu Datuk di kebun binatang miliknya di pedalaman Kaltim, dekat tambang batu baranya: PT Bayan. Pertemuan itu saya tulis di Disway beberapa seri yang lantas dibukukan dengan judul Durian Low.

“Ini dia Durian Low,” ujar Ferry Humato sambil mengeluarkan buku tersebut dari dalam tasnya.

Ferry adalah asisten Datuk yang kemarin menemani kami ke Bandung. Satu lagi yang juga ikut terbang dengan pesawat Gulfstream itu: Alexander Ery Wibowo, direktur PT Bayan.

“Tidak capek?” sapa Datuk di ruang tunggu. Datuk tahu saya baru beberapa jam lalu mendarat dari Amerika. Kini ikut ke Bandung: menyaksikan peresmian gedung laboratorium (Labtek) ke-XVII di ITB.

Itulah gedung sumbangan dari Datuk. Empat lantai. Di lokasi yang dulunya bangunan semi permanen.

“Yang ini bukan sumbangan dari PT Bayan,” ujar Prof Dr Purnomo Yusgiantoro. “Ini dari kantong pribadi Datuk,” tambahnya.

Anda sudah tahu siapa Purnomo: menteri ESDM tiga presiden (Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan SBY) dan mantan menteri pertahanan.

Ia alumni teknik perminyakan ITB. Pernah jadi komut di PT Bayan, perusahaan batu bara dengan laba terbesar di Indonesia. Seumuran dengan saya.

Purnomolah yang memperjuangkan bantuan itu: Rp 100 miliar. Separo untuk membangun gedung. Setengahnya lagi untuk dana abadi beasiswa ITB.

Dana itu sudah cair di tahun 2019. Hasil perputarannya sudah bisa untuk memberikan beasiswa kepada 1.400 mahasiswa. Bahwa bangunannya baru selesai kemarin itu karena mendadak ada Covid-19.

“Saya rektor baru saat itu. Saya berpidato di sini untuk acara peletakan batu pertamanya,” ujar Rektor ITB Prof Dr Reini Wirahadikusumah. “Hari ini tinggal dua bulan saya jadi rektor. Saya pidato lagi di sini untuk peresmiannya,” tambahnyi.

Prof Reini juga baru mendarat dari Amerika. Dia dari MIT: menjalin kerja sama penulisan bersama antara peneliti MIT dan ITB.

“Kerja sama dengan lembaga sekelas MIT kan mahal. Yang sulit, kami harus menemukan cara agar bisa murah,” ujar Reini. “Berhasil,” tambahnyi.

Baru sekali ini saya menyaksikan gaya rektor ITB berpidato. Jauh dari formal. Penuh improvisasi. Bergaya apa adanya.

Juga baru sekali ini melihat gaya perminyakan ITB menampilkan acara doa. Yang memimpin doa: ketua jurusan. Baju dan celananya seperti baru pulang dari ladang minyak. Sangat alami. Tanpa dibuat-buat seolah si pembawa doa punya koneksi khusus dengan Tuhan.

Datuk Low Tuck Kwong tidak menyampaikan pidato. Ia memang rendah hati. Yang berpidato atas nama Datuk adalah Filda Citra Yusgiantoro, putri Purnomo.

Datuk tampil hanya untuk menekan tombol dan menggunting untaian bunga. Usianya 76 tahun tapi jalannya masih tegak. Wajahnya penuh dengan senyum.

Dalam penerbangan dari Halim ke Bandung saya duduk di sofa sebelah Datuk. Tapi dalam penerbangan 20 menit itu Datuk lebih banyak mendengarkan obrolan saya dengan Alex. Direktur Bayan ini adalah menantu Purnomo. Alex seorang doktor ilmu hukum ekonomi, perusahaan, dan keuangan dari University of California Berkeley.

Ketika makan malam, saya duduk di sebelah kiri Datuk. Purnomo di sebelah kanannya. Banyak guru besar dan doktor perminyakan ikut hadir. Ada generasi doktor lulusan Amerika. Ada generasi doktor lulusan Prancis. Doktor-doktor yang lebih muda sudah bercampur lulus dari banyak negara.

Di makan malam ini saya baru tahu: Bayan, sebagai perusahaan, punya dana CSR sendiri. Datuk sebagai pribadi punya dana sosial sendiri. Beasiswa seperti di ITB itu diberikan juga untuk 12 universitas lainnya seperti UI, UGM, dan Undip. Juga untuk tiga universitas di Kaltim –Universitas Mulawarman di Samarinda, Unikarta di Kutai, dan Uniba di Balikpapan.

Dari peresmian saya ingin mampir ke galeri Nyoman Nuarta. Jalan ke sana macet total. Saya balik arah ke stasiun kereta Bandung. Waktu mepet. Tidak boleh ketinggalan kereta ke Surabaya.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia