Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) selalu menjadi ajang pertempuran politik yang penuh sensasi. Tapi, ada yang lebih menghibur daripada saling klaim kemenangan: quick count (qc) yang jadi bahan bakar optimisme membabi-buta. Siapa yang butuh Netflix kalau drama Pilkada Jakarta sudah menawarkan cliffhanger gratis di setiap penghitungan sementara?
Untuk Pilkada Jakarta, Ketua Tim Pemenangan paslon Pramono Anung-Rano Karno, Lies Hartono alias Cak Lontong, dengan percaya diri menyatakan, “Kami menang di atas 50 persen. Pilkada selesai di putaran pertama.” Pernyataan ini mungkin cocok untuk headline, tapi tidak untuk buku statistik. Orang yang ngerti statistik pasti berteriak, “Ada margin of error, Pak!”
Cak Lontong mengacu pada enam lembaga survei, yang memberi QC untuk paslon Ridwan Kamil-Suswono vs Pramono Anung-Rano Karno
dengan angka ini: SMRC 38,80 vs 51,03%, Charta Politika 39,25 vs 50,15%, Poltraking 39,14 vs 50,48%, Voxpol Center 39,4 vs 50,11%, LSI 39,29 vs 50,10%, LSI DJA 39,18 vs 50,14%. Hanya SMRC yang memberi nilai 51% untuk Pram-Rano, sementara lima lembaga survei lainnya di angka 50 plus kecil.
Angka ini bukan penentu tunggal. Sebagaimana diingatkan Denny JA, si jawara survei, angka di quick count itu bisa saja mirip bayangan di cermin retak: sedikit berlekuk-lekuk, kadang bikin salah sangka. Jika hasil quick count menunjukkan 50,14% seperti hasil rekap lembaganya —sekilas sudah cukup untuk satu putaran— padahal margin of error sebesar ±1% bisa membuat angka itu turun jadi 49,14%.
Dan di Jakarta, kalau angka 50% tidak terpenuhi, kita otomatis meluncur ke putaran kedua. Dan itulah yang ditunjukkan oleh hasil quick count kelima lembaga survei selain SMRC. Bagi tim pemenangan, ini seperti membayar tiket film dua kali untuk cerita yang sama, tapi dengan ending tak terduga.
Jakarta, masih sebagai ibu kota, memang punya kebiasaan unik. Kalau daerah lain cukup menentukan pemenang dengan suara terbanyak, di sini tidak. UU Nomor 2 Tahun 2024 memastikan hanya pasangan Pilkada Jakarta dengan 50%+1 suara yang bisa menang dalam satu putaran. Kurang sedikit saja? Selamat, Anda masuk babak tambahan.
Kasus ini terjadi di Pilkada 2017. Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus bertarung dua kali meski sudah unggul jauh di putaran pertama. Apakah ini karena warga Jakarta punya adrenalin politik? Bisa jadi. Tapi alasan sebenarnya, regulasi yang memanjakan statistik sambil menghukum kandidat yang terlalu percaya diri.
Optimisme berlebihan dari tim pemenangan sering kali tidak berlandaskan fakta. Bahkan kadang data sengaja direkayasa untuk mengelabuhi ketidak-tahuan publik. Mereka mungkin melihat quick count seperti episode akhir sinetron, padahal itu baru teaser. Ada beberapa penyebab kenapa salah paham ini terus terjadi.
Pertama, ketergesaan informasi. Dalam dunia politik, siapa cepat dia dapat sorotan. Tapi kecepatan ini seringkali mengorbankan keakuratan. Berikutnya, klaim sepihak yang berlebihan. Pernyataan seperti, “Kami sudah menang,” seringkali muncul meski hitungan belum selesai. Ini seperti menyalakan kembang api sebelum gol dibuat.
Nah, terakhir, minimnya pemahaman statistik. Publik awam sering mengabaikan margin of error. Margin of error (MoE) adalah istilah dalam statistik yang merujuk pada rentang ketidakpastian atau variasi yang mungkin terjadi dalam hasil survei atau polling. Istilah ini menggabungkan dua konsep: “margin,” yang berarti batas atau rentang, dan “error,” yang tidak merujuk pada kesalahan langsung, melainkan pada ketidakpastian yang wajar akibat metode sampling.
Dalam praktiknya, margin of error menunjukkan sejauh mana hasil survei dapat berbeda dari nilai sebenarnya dalam populasi. Misalnya, jika hasil survei menunjukkan seorang kandidat memperoleh 50% dukungan dengan margin of error ±3%, maka dukungan sebenarnya di populasi diperkirakan berada di antara 47% hingga 53%. Hal ini terjadi karena survei tidak melibatkan seluruh populasi, melainkan hanya sampel yang representatif.
MoE dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ukuran sampel, distribusi jawaban, dan metode sampling. Semakin besar ukuran sampel, semakin kecil margin of error, karena sampel yang lebih besar cenderung lebih representatif. Namun, jika jawaban responden sangat bervariasi, margin of error bisa meningkat. Selain itu, metode sampling yang acak dan bebas dari bias membantu menjaga margin of error tetap kecil.
Konsep ini penting karena mengingatkan kita bahwa hasil survei bukan angka pasti, melainkan perkiraan yang mengandung ketidakpastian. Tanpa margin of error, orang bisa salah memahami hasil survei sebagai fakta mutlak, padahal itu hanyalah gambaran situasi berdasarkan sampel tertentu. Mereka lantas mengira quick count adalah skor final, padahal itu hanya babak pengumpulan data parsial, lagi pula tidak resmi.
Jika Pilkada ini harus berlanjut ke putaran kedua, pertarungan antara dua kandidat akan semakin intens. Tim pemenangan yang sebelumnya terlihat santai akan berubah menjadi serigala lapar, siap menerkam apa saja untuk mengamankan suara tambahan. Dalam suasana seperti ini, Jakarta bukan hanya panggung demokrasi, tetapi juga arena survival politik.
Apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? Quick count sudah jadi bagian dari seni politik modern: menyeimbangkan antara harapan dan realita dengan sedikit bumbu hiperbola. Jadi, sebelum kita terlalu serius menelan klaim kemenangan, mari ingat satu hal: politik, terutama di Jakarta, adalah gabungan statistik, strategi, dan sedikit lawakan gelap.
Margin of error? Itu hanya cara alam semesta untuk memastikan kita tidak terlalu cepat puas. Jakarta, kita siap untuk episode berikutnya?*
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 28/11/2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995