Oleh Dahlan Iskan
IA tidak punya motif ingin jabatan atau cari muka. Umur Pak Pung –mantan dirjen pajak Hadi Purnomo– sudah 76 tahun. Ia tidak kekurangan apa pun.
Bahwa Pak Pung ingin kenaikan PPN ke 12 persen itu dibatalkan semata untuk kebaikan negara. Menaikkan PPN bukanlah ide yang terbaik untuk meningkatkan pendapatan pajak negara.
Bisa dibatalkan?
Bukankah masa berlakunya tinggal 20 hari lagi –berlaku mulai 1 Januari 2025?
“Masih ada waktu. Membatalkan itu hanya perlu waktu dua hari. Yang penting mau atau tidak,” ujar Pak Pung dengan semangat yang tetap tinggi.
Bukankah kenaikan itu sudah sesuai dengan amanat UU? Yakni UU No 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan?
Pak Pung adalah ayatollah perpajakan Indonesia. Ia yang menyusun konsep rancangan UU Pajak yang berlaku sekarang. Ia yang memperjuangkannya dengan gigih selama lima tahun.
Pak Pung harus meyakinkan menteri keuangannya. Pun ketika menteri keuangan itu diganti yang baru. Diganti lagi. Diganti lagi. Sampai lima menteri keuangan.
Untuk meningkatkan pendapatan pajak, kata Pak Pung, tinggal laksanakan UU pajak itu secara silaturahmi dan istikamah.
Istilah “silaturahmi dan istikamah” ia pakai saat itu untuk menyesuaikan diri dengan latar belakang Presiden Gus Dur yang dari pesantren. Istilah itu tetap ia pakai sampai sekarang.
Dengan istilah itu Pak Pung berhasil meyakinkan Gus Dur agar rancangan UU perpajakan itu terus diperjuangkan.
Istilah “silaturahmi” ia pakai untuk menerjemahkan kata “monitoring”. Sedangkan “istikamah” untuk pengganti kata “terintegrasi dan konsisten”.
Faktor monitoring itulah yang menurut Pak Pung paling lemah. Kelemahan itu bisa ditutupi dengan cara mewajibkan semua lembaga untuk menyerahkan dokumen ke kantor pajak.
Misalnya perbankan, pasar modal, asuransi, Kemenhum (pengesahan perusahaan), dan pemda sebagai penerbit perizinan usaha. “Pajak itu boleh menembus pagar rahasia bank,” ujarnya.
Dengan cara seperti itu monitoring terhadap wajib pajak bisa dilakukan secara penuh. Datanya lengkap. Dari seluruh instansi.
Bukankah untuk menciptakan sistem “silaturahmi” seperti itu perlu dibangun sistem teknologi informasi yang sangat besar?
“Tidak juga. Dengan anggaran Rp 200 miliar cukup,” ujar Pak Pung. Ia pernah membangun sistem seperti itu. Yakni ketika menjabat ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Sangat memudahkan memonitor instansi yang harus diperiksa,” katanya.
Saya jadi ingat teman yang mengusulkan pembangunan sistem monitoring hoaks, termasuk judi online di Kemendigi. Harusnya cukup dengan anggaran Rp 200 miliar. Tapi perlu huruf T yang disetujui.
Dengan sistem yang terintegrasi itu maka orang tidak akan ketemu orang. Semua serba online. Tidak akan terjadi lagi negosiasi yang berujung korupsi.
Sistem informasi teknologi bisa membuat orang berakhlak mulia tanpa membaca kitab suci agama apa pun.
Pak Pung juga melihat hilangnya pemasukan pajak dari batu bara. Yakni sejak diberlakukannya Omnibus Law –istilah populer untuk UU Cipta Kerja.
Ketika Omnibus Law mulai berlaku pengusaha batu bara bisa mengajukan restitusi PPN. Nilainya triliunan. Perusahaan raksasa bisa dapat restitusi bertriliun-triliun. Padahal usahanya tinggal mengeruk saja kekayaan alam negara.
Itu karena batu bara tidak lagi termasuk barang kena pajak. Itu karena batu bara diekspor. Pak Pung memperkirakan negara kehilangan sekitar Rp 150 triliun akibat batu bara bukan lagi termasuk barang kena pajak.
Ingat: menaikkan rasio pajak bisa dapat Rp 250 triliun. Itu untuk setiap kenaikan satu persen. Dari batu bara dapat Rp 150 triliun. Untuk apa lagi harus menaikkan tarif PPN 12 persen bulan depan.
Menaikkan tarif pajak memang lebih mudah daripada meningkatkan rasio pajak. Menyasar orang kebanyakan lebih mudah dari memungut orang yang lebih berduit. Hikmah besarnya: berduitlah yang banyak.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia