Partner Dansa

Dahlan Iskan bersama Adi Utomo Hatmoko. (Foto: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan

ARSITEK tidak seperti dokter: tidak punya spesialisasi dan sub spesialisasi. Kalau toh ada ARSITEK yang mengkhususkan ke satu sub keahlian, itu atas inisiatifnya sendiri.

Misalnya Adi Utomo Hatmoko ini: ia spesialis arsitek rumah sakit. Tapi tidak ada gelar Ir SpRS bagi orang seperti Adi.

Kekhususan arsitek Adi pun didapat karena nasib: waktu kuliah S-2 di Georgia Tech, Amerika Serikat, ia dapat dosen pembimbing yang punya spesialisasi merancang bangunan rumah sakit.

Maka pulang ke Indonesia Adi mengkhususkan diri untuk menekuni apa yang dilakukan dosennya.

Ia dirikan perusahaan arsitek: PT Global Rancang Selaras. Direkturnya istrinya sendiri: Wahju Wulandari.

Mereka sama-sama arsitek. Sama-sama alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Memang, di Kampus Biru itulah mereka bertemu. Sang istri masuk UGM tiga angkatan di bawahnya.

Kini pasangan itu punya tiga putri: yang sulung, Kalaksitaning Atisuci, arsitek lulusan UGM.

Anak kedua, Kanugrahaning Atiluhur, arsitek lulusan Universitas Indonesia.

Sedang si bungsu, Tirta Atiwening,  arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung.

Rumah sakit memang bangunan yang sangat tipikal. “Semua bentuk harus mengutamakan fungsi,” ujar Adi. Terutama tata letak: harus sesuai dengan flow proses pengobatan.

Aliran itu biasanya dimulai dari UGD –bagian gawat darurat. Atau penerimaan pasien. Maka bangunan UGD harus terkoneksi dengan alat pemeriksaan yang diperlukan.

Proses selanjutnya saling kait mengait. Sampai di bagian akhir sebuah rumah sakit: di mana kamar mayat harus diletakkan.

Bangunan RS juga harus mengesankan kebersihan yang tinggi. Salah satu ”penggangu” kesan bersih itu adalah halaman parkir. Terlihat ruwet. Terkesan banyak polusi. Keras. Kejam. Tidak sehat.

Maka bangunan RS sebaiknya “menyembunyikan” halaman parkir. Masalahnya adalah lahan. Tidak semua rumah sakit punya lahan yang cukup. Banyak pula yang lokasi parkirnya sangat dipaksakan.

“Saya pun menyesali desain lama saya di awal-awal dulu. Kalau saja lahan parkirnya bisa saya tambah sedikit akan sempurna sekali,” kata Adi. Yakni ketika Adi mendesain RS Charitas di Palembang.

“Setiap kali saya ke sana saya kemukakan penyesalan saya itu,” katanya.

Di umurnya yang 55 tahun Adi terus keliling berbagai kota. Pembagunan rumah sakit kini dilakukan di mana-mana. Ia juga terlibat pembangunan rumah sakit internasional di Sanur, Bali, yang hampir selesai itu.

Di Yogyakarta, Adilah yang menangani RS Kristen Bethesda. Juga beberapa RS lainnya. “Saya juga banyak menangani rumah sakit Muhammadiyah,” katanya.

Kini ia lagi merancang rumah sakit Universitas Kristen Petra Surabaya. Rancangannya sudah selesai. Lihatlah di mana Adi “menyembunyikan” lapangan parkirnya: di balik rumput hijau di bawah bangunan tinggi itu.

“Itu di basement atau setengah basement?” tanya saya.

“Bahkan bukan basement sama sekali,” jawabnya. Lokasi parkir itu di lantai selevel dengan jalan raya. Hanya saja dibuatkan semacam bamper yang terbuat dari perengan rumput dan taman.

Semua RS yang ditangani Adi adalah RS swasta. Ia menjauhi proyek pemerintah –Anda pun bisa menebak mengapa.

“Menurut Anda apa kesalahan utama desain kebanyakan rumah sakit”?

“Flow-nya tidak mengalir,” jawabnya.

Itu terjadi terutama di rumah sakit pemerintah. Penyebabnya adalah sistem anggarannya. Dananya bertahap. Tiap tahap satu bangunan. Akhirnya antar bangunan tidak tersambung seperti flow yang seharusnya. Kacau sekali.

Sudah bertahun-tahun seperti itu. Seperti tidak pernah belajar dari kesalahan. “Kami pun pernah punya kesalahan. Tapi kami terus belajar dan memperbaikinya,” katanya.

Adi sebenarnya ingin fokus di perusahannya saja. Tapi pihak UGM ingin agar Adi tetap jadi dosen di jurusan teknik arsitektur.

Adi pun mengajukan syarat: sepanjang masih boleh dirangkap dengan pekerjaan swastanya.

Adi dosen yang baik. Saat saya wawancara pun ia menjawab pertanyaan saya dengan sangat menarik. Saya merasa seperti jadi mahasiswanya yang penuh minat. Rasanya mahasiswa yang ia ajar akan merasakan apa yang saya rasakan saat wawancara. Dan memang Adi pernah terpilih sebagai dosen terbaik di fakultasnya.

Arsitek spesialis bangunan rumah sakit mulai banyak. Sudah ada sekitar 10 orang. Tentu itu tidak bisa disebut sudah banyak.

Adi tergolong yang awal-awal menaruh minat di situ. Karuan saja langsung besar. Sudah lebih 200 rumah sakit yang lahir dari goresan gambarnya.

Goresan? Ya! Sebagai dosen Adi tetap mewajibkan mahasiswanya untuk mencetak gambar arsitekturnya di atas kertas.

“Agar saya bisa mencoret-coret gambarnya yang di atas kertas,” ujarnya.

“Saya tidak mau hanya mengoreksi gambar mahasiswa lewat komentar lisan. Harus ikut coret-coret. Sampai mereka paham,” katanya.

Saya pengagum karya-karya arsitektur. Saya suka bicara dengan para arsitek. Maka begitu ketemu arsitek yang spesialis seperti Adi rasanya seperti dapat partner dansa yang asyik.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia