Dialog antar Komunitas Agama dan Konflik Timur Tengah

Poetra Kajang di Kota New York Amerika Serikat, Imam Shamsi Ali. (Foto: Dok.Pri)

Oleh Imam Shamsi Ali

DALAM pandangan Islam sesungguhnya dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama menjadi bagian mendasar Islam, baik secara teologis maupun historis. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah yang menggambarkan aktifitas itu pada zamannya.

Satu di antara ayat-ayat yang menyebutkan dialog itu adalah Surah Al-Hujurat ayat ke 13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kalian dari seorang laki dan seorang wanita. Dan menjadikan kalian dalam ragam suku dan bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Maha mengetahui lagi Maha Memahami”.

Sebelum tinggal di Amerika saya cenderung memahami kata “saling mengenal” (ta’aruf) sebagai upaya umat Islam dengan latar belakang yang berbeda untuk saling mengenal. Sebagai misal, Muslim Saudi harus mengenal Muslim Indonesia dan sebaliknya.

Selama ini saya pribadi tidak terlalu menyadari jika ayat ini dimulai dengan seruan kepada “an-Naas” (manusia). Jadi tidak terbatas diperuntukkan untuk umat Islam saja. Karenanya ayat ini menyadarkan saya bahwa upaya saling mengenal itu tembus batas, termasuk batas keyakinan dan agama. Kata manusia merangkul semua anak cucu Adam.

Maka sejak ketibaan saya di Amerika dialog-dialog yang saya lakukan, selain bersifat “intra-faith” dengan semua masyarakat Muslim dari berbagai belahan dunia, juga “inter-faith” dengan semua pemeluk agama-agama yang ada di kota New York khususnya dan Amerika umumnya.

Upaya-upaya itu, selain termotivasi oleh realita posisi Komunitas Islam sebagai minoritas, juga karena memang tersadarkan setelah “rereading” (menelaah ulang) ayat ini. Dengan realita tetangga-tetangga Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, dan semua, semakin membuka mata bahwa Dialog ini bukan sekedar keperluan. Tapi kewajiban yang harus dilaksanakan.

Peristiwa Nine Eleven (9/11) di tahun 2001 semakin membuka kesadaran itu. Kejadian itu membuka realita yang selama ini mungkin dipahami sebagai sekedar riak-riak kekhawatiran dan ketakutan. Ternyata Islamophobia adalah sesuatu yang nyata bahkan telah menjadi karakter Barat yang tak terpisahkan. Islam menjadi bulan-bulanan dan pelampiasan kemarahan atas peristiwa yang disebut sebagai “serangan teror ke US”.

Runyamnya lagi yang diruntuhkan adalah sebuah gedung yang maha penting bagi Barat. WTC adalah simbol kapitalisme, ideologi kehidupan di dunia Barat. Maka Islam seketika menjadi agama musuh Barat dan harus diperangi. Karenanya timbullah propaganda “war on terror” yang bermakna lain “perang melawan Islam”. Walau kata Islam ini sering  dibumbui dengan frase “radical Islam”.

Dalam situasi seperti itulah dialog antar pemeluk agama dan non pemeluk agama semakin terasa mendesak. Bagi kami di Amerika Dialog ini dalam ekspresi ekstrim adalah salah satu jalan “survival”. Kebodohan, kesalahpahaman, kecurigaan bahkan ketakutan dan kemarahan, yang tidak jarang diikuti dengan tindakan kekerasan semakin menguat pasca 9/11 itu.

Sementara akses Komunitas Muslim ke publik (masyarakat luas) juga sangat terbatas. Kita tidak punya media, tidak punya institusi yang bisa menjadi rujukan bagi khalayak ramai untuk memahami Islam. Bahkan media dan (ada juga) institusi-institusi yang didirikan oleh non Muslim justeru dengan tujuan semakin merusak imej Islam yang sesungguhnya.

Maka dengan segala keterbatasan kami terjun langsung terlibat membangun upaya-upaya dialog ini. Saya masih ingat Dialog pertama yang kami lakukan dengan sebuah gereja dengan jemaah kecil bernama “Sunnyside Church” di Queens, New York. Kami mengadakan kunjungan dan dialog dengan mereka. Lalu mereka melakukan kunjungan balasan dan berdialog dengan kami di Masjid Al-Hikmah milik warga Indonesia di kota New York.

Singkat cerita upaya-upaya dialog yang kami lakukan semakin meluas dan berkembang. Hampir dengan semua segmen masyarakat agama ada upaya Dialog itu. Di tahun 2002 kami membangun relasi dekat dengan Kristen Episcopalian. Hingga kini Direktur hubungan Muslim-Episcopalian yang juga profesor di Hatford seminary, Prof. Linda Mosher, masih terjalin baik. Demikian pula dengan kelompok-kelompok agama lain, termasuk Hindu dan Buddha.

Dialog dengan Masyarakat Yahudi

Dari sekian banyak dialog dan dengan banyak kalangan, hampir semuanya berjalan lancar dan tanpa rintangan yang berarti. Namun dengan masyarakat yang satu ini memang berbeda. Ada semacam paradoks kuat yang terjadi. Di satu sisi kedua agama yang dianut memiliki kedekatan.  Namun di sisi lain kedua pemeluknya paling merasa berlawanan dan bermusuhan.

Masyarakat Yahudi di dunia itu hanya sekitar 15 hingga 16 juta orang. Benar, ini jumlah mereka di seluruh dunia. Bukan hanya di New York, bahkan Amerika. 6-7 juta di Israel. 5 juta lebih di Amerika. Selebihnya di negara-negara Islam (Maroko, Aljazair, Iran, Turki, dll). Bahkan jumlah Yahudi di negara-negara Muslim lebih besar ketimbang mereka yang di Eropa.

Akan tetapi dengan jumlah yang kecil itu, dibandingkan jumlah Muslim yang sekitar 1.8 Miliar, mereka berhasil menguasai dunia dalam porsi yang besar. Amerika yang dikategorikan oleh sebagian sebagai negara super power berada di bawah genggaman Yahudi Zionis. Dan dengan terkontrolnya Amerika secara tidak langsung juga merupakan  kontrol terhadap seluruh jagad raya. Penguasaan ekonomi, media, berimbas pada penguasaan politik dan kebijakan publik. Akibatnya Amerika seringkali bersikap dungu ketika berhadapan dengan hawa nafsu Israel.

Sadar akan realita ini kami merasa perlu membangun Dialog dengan masyarakat Yahudi di Amerika. Kami sadar dalam Dialog itu ada dua kemungkinan yang terjadi. Dipengaruh (influenced) atau sebaliknya mempengaruhi (influencing). Dengan posisi yang kuat, khususnya di kota New York, kami benar-benar berhati-hati dan penuh pertimbangan dan perhitungan. Dengan Dialog ini kami berharap Komunitas Yahudi menjadi partner dalam melawan Islamophobia dan Anti Semitisme. Dua kata yang memiliki esensi yang sama.

Pertama kali saya berinteraksi dengan masyarakat Yahudi terjadi ditahan 2001 itu. Saya baru 4 tahun di Amerika. Lazimnya sebagai pendatang baru, bukan siapa-siapa dan tidak dikenal oleh siapa-siapa. Tapi peristiwa 9/11 tadi merubah semua itu.

Saya mewakili komunitas Muslim dalam Konferensi Pers sehari setelah peristiwa WTC. Saya mewakili komunitas Muslim di acara nasional doa bersama untuk Amerika di Yankee Stadium. Kantor Walikota New  York dan tokoh-tokoh agama New York mulai membuka mata. Saya kemudian banyak dilibatkan sebagai wakil Islam dalam kegiatan-kegiatan antar agama di kota New York.

Di berbagai acara ini saya mulai berinteraksi dengan tokoh-tokoh Yahudi. Salah satunya ketika mewakili Komunitas Muslim dalam acara doa bersama untuk Amerika di Yankee Stadium. Di sanalah saya ketemu dengan Rabbi Arthur Schneier, tokoh agama yang pernah menerima Paus Benedict di Sinagognya. Dan ternyata dia juga adalah teman dekat dengan tokoh NU dan mantan Presiden RI, Abdurrahman Wachid.

Namun dialog intens dengan masyarakat Yahudi mulai terjadi di tahun 2005. Di penghujung tahun itu Paus Yohannes II meninggal dunia. Dan saya bersama seorang Rabbi Yahudi diundang untuk wawancara di sebuah stasiun TV di kota New York. Saya mewakili Islam dan Rabbi Schneier mewakili Yahudi untuk mendiskusikan tokoh Katolik Paus Yohannes dari perspektif non Kristen.

Singkatnya kami mulai kenalan. Walaupun jarak antar kami berdua sangat terasa. Hubungan itu terasa tawar. Sikapnya yang tidak bersahabat juga menjadi faktor ketidak dekatan itu. Mungkin karena dia merasa pemilik negara ini. Atau juga karena dia orang putih (isu ras). Atau juga karena merasa paling benar dalam keyakinan (isu agama).

Namun tiga bulan kemudian semua itu berubah. Marc Shcneier rupanya diam-diam mengikuti beberapa sepak terjang saya di kota New York, khususnya di dunia Dialog antar agama dan media. Sehingga suatu ketika sang Rabi berpengaruh itu menelpon dan menyampaikan keinginannya untuk bertemu.

Saya mengiyakan. Dan pada pertemuan itu saya ingatkan kenapa kurang bersahabat sewaktu ketemu di stasiun TV itu. Jawabannya ternyata benar. Dia merasa saya bukan orang Islam apalagi dikategorikan Imam. Dalam benak dia Islam itu harus orang Arab. Dia juga mengakui bahwa ketika itu ada kebencian kepada Islam dan pemeluknya.

Singkat cerita kami berdua melakukan introspeksi terhadap pandangan masing-masing. Salah satunya adalah kecenderungan “jeneralisasi” terhadap komunitas. Kesalahan sebagian seolah mewakili semua pengikut agama. Kami pun sepakat untuk menjalin Dialog dengan satu prinsip: “agree to agree, but agree to disagree without being disagreeable”.

Maknanya kami sepakat untuk sepakat pada hal-hal yang dapat disepakati, baik secara prinsip keyakinan maupun secara pragmatis (kepentingan). Namun juga kami sepakat untuk tidak sepakat pada hal-hal prinsip yang berbeda, dan pada hal-hal yang menjadi kepentingan Komunitas juga berbeda. Dan semua itu tidak harus menjadikan kami saling memusuhi.

Pada perjalanan selanjutnya dengan Marc Schneier kami melakukan berbagai inisiatif yang cukup fenomenal dan bahkan pada tataran tertentu cukup menarik perhatian dan rujukan sebagian kalangan. Pertemuan para Imam (tokoh Muslim) dan Rabi (tokoh Yahudi) pertama kali dilakukan di Amerika Utara.

Kami bersama-sama melawan keinginan Uni Eropa melarang pemotongan hewan secara (ritual slaughtering), yang berdampak pada makanan halal dan konsher. Dan banyak lagi, termasuk menulis buku bersama “Sons of Abraham: issues that unite and divide Muslims and Jews”. Kata pengantar buku ini dituliskan oleh mantan Presiden Amerika Bill Clinton. Dan saat ini buku itu telah diterjemahkan ke dalam 6 bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia.

Dialog antar agama dan Konflik Timur Tengah

Harus diakui bahwa konflik Timur Tengah sangat berdampak pada relasi antar kelompok manusia, baik itu antar negara  maupun antar budaya dan pemeluk agama. Dialog-Dialog yang dilakukan selama ini bagaikan membangun gedung yang mulai meninggi dan nampak kokoh dan cantik. Tiba-tiba saja dengan konflik itu gedung itu hancur lebur menjadi debu-debu.

Dalam Dialog antar agama harus  diakui bahwa kebijakan politik jauh lebih dominan ketimbang dorongan hati atau niat baik untuk membangun relasi harmonis dan perdamaian. Seringkali dengan politik yang bergejolak di mana-mana menjadikan Dialog antar agama menjadi hambar dan seolah hanya “nyanyian fals” (Kumbaya) yang dipaksakan.

Tapi terkhusus pasca 7 Oktober tahun 2023 lalu sangat terasa dampaknya. Terasa hubungan antar agama, khususnya Muslim-Yahudi, justeru menjadi bagian dari “justifikasi” (pembenaran) bagi terjadinya pengrusakan total (total destruction) dan genosida di Gaza. Dengan dialog rasanya seolah membenarkan apa yang terjadi, yang saya yakin siapapun yang masih berhati manusia akan merasakan kemarahan itu.

Sejujurnya di awal-awal peristiwa itu saya bersama Rabbi Marc Schneier masih melakukan upaya-upaya dialog antar agama. Salah satunya adalah mengadakan pertemuan-pertemuan dengan mahasiswa  Muslim (MSA) dan mahasiswa Yahudi (Hilel) di beberapa college dan Universitas di kota New York di saat terjadi ketegangan antar kedua kelompok itu. Upaya itu mendapat banyak sambutan, positif dan negatif. Banyak media yang meliputnya termasuk MSNBC ketika itu.

Namun dalam perjalanannya hati saya semakin tidak nyaman dengan fakta yang terjadi di lapangan (Gaza). Puluhan ribu warga sipil, termasuk anak-anak dan wanita, dibunuh massal dengan bom-bom berat bahka lebih dari bom-bom yang dipakai di perang Dunia II. Saya merasa Dialog antar agama tidak bermakna bahkan justru bisa dijadikan bemper dan pembungkus bagi penjahat. Sejak itu saya menghentikan semua kegiatan antar agama saya, khususnya yang melibatkan komunitas Yahudi.

Apakah dengan ini Dialog antar agama dikatakan  mandeg dan selesai? Saya belum bisa memberikan jawaban saat ini. Tapi yang pasti adalah sangat tidak bijak dan tidak sensitif ketika saudara-saudara kita dibantai tanpa prikemanusiaan lalu kita terus membangun hubungan dengan mereka yang nampak setuju bahkan senang dengan genosida itu. Minimal yang harus dijaga adalah sensitivitas terhadap situasi dan realita yang terjadi.

Saya tersadarkan bahwa permasalahan yang kita hadapi bukan hanya masalah Palestina-Israel. Bahkan bukan hanya isu-isu global (luar negeri). Tapi juga ada isu-isu domestik sebagai bagian dari bangsa Amerika. Namun demikian, jangan pula karena kepentingan domestik lalu membelakangi Saudara-Saudara kita yang dizholimi. Apalagi dengan “magnitude” yang sangat dahsyat dan tidak berprikemanusiaan itu.

Permasalahan kita dan Komunitas lain termasuk dengan Yahudi bukan karena perbedaan agama. Islam menghormati hak semua orang untuk memeluk dan taat kepada keyakinan dan agamanya. Permasalahan kita dengan sebagian besar masyarakat Yahudi adalah permasalahan “keadilan” bagi bangsa Palestina yang terjajah. Isu ini mendasar bagi umat Islam. Karena itu penjajahan itu adalah isu akidah Tauhid: laa ilaaha illallah. Selama Israel menjajah Palestina dan Yahudi dunia mendukungnya selama itu pula akan kita tentang dan lawan.

Namun di sisi lain, posisi kami dan ini adalah posisi Islam, siap berdialog membangun kesepahaman dan kerjasama dengan siapa saja. Asal kerjasama itu terbangun di atas nilai-nilai kebenaran, keadilan dan saling memberikan manfaat (mutual benefit). Jika tidak, saya pribadi tidak ingin lagi ikut dalam paduan suara fals, menyanyikan lagu lama yang membosankan. Itu sikap dan prinsip!

Manhattan, 18 Desember 2024

Penulis adalah Poetra Kajang di Kota New York Amerika Serikat. Artikel ini di-japri penulis ke J5NEWSROOM.COM