20 Tahun Pasca-Tsunami Aceh: Menakar Kesiapsiagaan Bumi Serambi Makkah dalam Mitigasi Bencana

Kombinasi foto udara masjid Al Maghfirah Habib Chiek Kajhu di daerah yang terkena tsunami di pinggiran Banda Aceh, Indonesia, 31 Desember 2004 (kiri), dan masjid yang sama sedang dibangun kembali pada 22 Desember 2024 (kanan).

J5NEWSROOM.COM, Pada 26 Desember 2004, gempa bumi berkekuatan 9,1–9,3 SR yang berpusat di Samudra Hindia, sekitar 250 kilometer dari pantai barat Aceh, memicu tsunami dahsyat setinggi 30 meter. Bencana ini menewaskan ratusan ribu jiwa dan meluluhlantakkan wilayah pesisir Aceh. Rendahnya kesiapsiagaan, ketiadaan sistem peringatan dini, serta minimnya pengetahuan masyarakat turut memperbesar jumlah korban jiwa.

Dua dekade berlalu, tsunami tersebut menjadi titik balik bagi Indonesia, khususnya Aceh, dalam upaya memperbaiki penanggulangan bencana. Namun, berbagai tantangan masih menghadang.

Minimnya Edukasi dan Sarana Penanggulangan Bencana

Raihan Lubis, pegiat literasi kebencanaan sekaligus penyintas tsunami Aceh, menyoroti bahwa edukasi kebencanaan di Aceh, terutama bagi generasi muda, masih kurang optimal. “Setelah 20 tahun tsunami, pengetahuan generasi muda tentang mitigasi bencana masih sangat minim. Pemerintah belum maksimal dalam memberikan pemahaman mitigasi,” ungkap Raihan kepada VOA pada 17 Desember di Banda Aceh.

Menurut Raihan, meski berbagai sosialisasi dan simulasi mitigasi telah dilakukan, Aceh masih belum memiliki kurikulum kebencanaan di sekolah-sekolah. Sarana seperti escape building juga banyak yang rusak atau tidak terawat. Jalur evakuasi pun belum didukung dengan fasilitas yang memadai.

“Tempat evakuasi banyak yang tidak disiapkan dengan baik. Pemerintah dan masyarakat belum sepenuhnya sadar akan pentingnya sarana ini dalam mitigasi bencana,” tambahnya.

Paradigma Anggaran yang Keliru

Rina Suryani Oktari, peneliti mitigasi bencana dari Universitas Syiah Kuala, mengungkapkan bahwa alokasi anggaran di Aceh lebih banyak digunakan untuk tanggap darurat daripada kesiapsiagaan. Ia menyarankan perubahan paradigma agar pemerintah lebih fokus pada upaya mitigasi.

“Saya pernah mengkaji alokasi dana kebencanaan di Aceh. Mayoritas masih untuk tanggap darurat, sangat sedikit yang dialokasikan untuk kesiapsiagaan. Ini menunjukkan pengambil kebijakan belum memiliki mindset untuk mengurangi risiko bencana,” ujarnya.

Rina juga menekankan pentingnya edukasi mitigasi yang menyasar generasi Z dan generasi Alpha. Ia mengusulkan pendekatan kreatif seperti memasukkan konten mitigasi ke dalam seni atau program yang digemari anak muda, seperti “Pasmina” (Paket Edukasi Mitigasi Bencana).

Sistem Peringatan Dini dan Infrastruktur

Aceh kini memiliki Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS), sistem peringatan dini tsunami yang dapat memberikan informasi lima menit setelah gempa. Namun, sebagian besar alat ini sudah tua dan kurang terawat.

“Seharusnya pemerintah daerah dan provinsi ikut memelihara alat ini, tapi terbentur tata kelola aset,” kata Fadmi Ridwan, Kepala Bidang Logistik dan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Aceh.

Fadmi menyatakan bahwa Aceh terus berbenah, termasuk membangun infrastruktur tahan bencana dan meningkatkan edukasi masyarakat. “Kami ingin masyarakat bisa memanfaatkan golden time ketika BMKG merilis peringatan dini, sehingga evakuasi mandiri bisa dilakukan dengan cepat,” tegasnya.

Harapan dan Langkah Ke Depan

Tsunami Aceh 2004 memberikan banyak pelajaran penting. Raihan Lubis berharap masyarakat Aceh dapat terus meningkatkan pengetahuan tentang mitigasi bencana. “Kita harus belajar dari pengalaman agar masyarakat Aceh semakin kuat dan siap menghadapi risiko bencana,” ucapnya.

Dengan perbaikan sarana, perubahan paradigma kebijakan, dan edukasi yang lebih luas, Aceh diharapkan menjadi model kesiapsiagaan bencana di Indonesia.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah