Anak Pungut

Salah satu dokumentasi ketika Mudrick Sangidu masih aktif demo di usia senjanya. (Foto: Net)

Oleh: Dahlan Iskan

SAYA tidak kenal pribadi dengan tokoh hebat dari Solo satu ini: Mudrick Sangidu. Tapi Anda pun kenal reputasinya: tokoh pergerakan. Aktivis. Namanya menasional: si Mega Bintang.

Tiga bulan sebelum meninggal Minggu kemarin pun Mudrick masih demo. Di umurnya yang 81 tahun. Tertatih. Pakai penyangga tubuh.

Tahun-tahun belakangan demonya tetap: tentang Presiden Jokowi.

Demo terakhirnya itu dilaksanakan di depan DPRD Solo. Sebenarnya ia sudah tidak boleh jalan lagi. Bukan tidak kuat jalan. Ia kuat sekali –untuk ukuran usia segitu. Hanya saja telapak kakinya sakit kalau dibuat berjalan. Ia berkeras demo meski harus pakai penyangga kaki.

Di tengah menerima ucapan duka cita saya menghubungi putra sulung Mudrick: Damar Mudrick. Ia anak pertama dari tiga bersaudara.

“Tanya pak Boyamin saja. Beliau lebih tahu ayah saya daripada siapa pun,” ujar Damar.

Yang dimaksud adalah Boyamin Saiman, pengacara terkenal pendiri Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).

“Saya memang anak pungut Pak Mudrick,” ujar Boyamin yang lagi melayat di Solo.

“Bukan anak angkat?”

“Saya pilih istilah anak pungut. Beliaulah yang memungut saya dari pinggir jalan,” seloroh Boyamin.

“Pinggir jalan” yang dimaksud adalah jalan rute demo-demo mahasiswa di Solo.

Ketika Boyamin kuliah di Universitas Muhammadiyah Solo, Mudrick sudah menjadi tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Solo. Bukan ketua tapi lebih wibawa dari ketua.

Mudrick orang kaya. Mapan. Independen. Punya bisnis batik yang saat itu lagi jaya-jayanya. Juga punya bisnis barang antik yang sangat bernilai tinggi.

Saat itulah Mudrick minta agar PPP Solo merekrut anak-anak muda. Mahasiswa. Harus banyak anak muda jadi calon anggota DPRD dari PPP.

Salah satunya Boyamin yang saat itu masih mahasiswa hukum semester lima.

Tentu banyak tokoh PPP yang protes. Mereka takut tergeser dari kursi DPRD. Apalagi orang seperti Boyamin ditempatkan di ‘nomor jadi’. Yakni nomor urut empat. Pasti jadi. Sebelum itu saja PPP sudah punya enam kursi.

Mudrick tahu Boyamin sering ikut demo mahasiswa. Anti Orde Baru. Anti Soeharto. Cocok dengan sikapnya sendiri.

Dan lagi Mudrick kenal kakak Boyamin: Ketua PPP Ponorogo. Boyamin pun dianggap kader murni PPP.

Strategi Mudrick berhasil. PPP mendapat 15 kursi. Meroket. Yang protes karena dapat ‘nomor sepatu’ pun puas. Ternyata tetap terpilih.

Memang situasi politik saat itu sangat menguntungkan PPP Solo. Megawati lagi terzolimi –pun oleh partainyi sendiri.

Mudrick menemui Mega. Bikin gerakan bersama di Solo. Nama gerakannya Anda sudah tahu: Mega Bintang. Bintang adalah lambang PPP saat itu –sebelum berganti gambar Ka’bah.

Mudrick juga bikin gerakan lain: putihisasi pohon di sekitar alun-alun Solo. Itu sebagai perlawanan gerakan kuningisasi yang dilakukan Golkar: semua pohon dicat kuning.

Heboh lagi. Heboh besar. Tidak seheboh Mega Bintang tapi heboh. Dianggap terlalu berani melawan dominasi Golkar.

Mudrick ditangkap. Diajukan ke pengadilan. Ia bebas. Penyebab bebasnya: jaksa salah dalam mengenakan tuduhan. Pasal tuduhan pidana biasa dicampur dengan tuduhan pidana ringan.

Tuduhan itu ditolak hakim. Dua jenis tuduhan seperti itu tidak bisa dijadikan satu. Pidana biasa harus ditangani hakim majelis (tiga orang). Pidana ringan cukup satu hakim.

Mudrick benar-benar merajai perpolitikan Solo. Ia jadi tokoh besar PPP. Ia jadi simbol sukses PPP di Solo.

Rupanya banyak pendukung Mega di Solo mencoblos dengan tutup mata: tepat di bintang. Di zaman akhir Orde Baru itu hanya ada tiga partai yang ikut Pemilu: PPP, Golkar, dan PDI (tanpa P).

Nama Mudrick top di atas top. Tapi ia tidak jadi apa-apa. Tetap jadi pribadi Mudrick. Yang mencintai bisnis batik, cinta barang antik, dan hobi berburu. Ia dikenal sebagai penembak jitu.

Yang ditembak bukan banteng, tapi celeng. Ia tahu di mana ladang berburu yang banyak babi hutannya. Hasil buruannya itu diserahkan ke penduduk sekitar hutan.

“Saat menyerahkan hasil buruan Pak Mudrick selalu mengingatkan ke mereka bahwa itu binatang haram. Risiko ambil sendiri,” ujar Boyamin. Biasanya Mudrick berburu di sekitar Wonogiri-Pacitan.

Yang mengesankan dari perilaku politik Mudrick, kata Boyamin, adalah kemurnian perjuangannya. Mudrick melarang calon-calon anggota DPRD diganggu. Partai tidak boleh minta uang dari caleg. Mereka sudah berjuang untuk partai kok masih dimintai uang.

Ketika Orde Baru jatuh, Mudrick juga tidak jadi apa-apa. Jabatannya di pengurus partai juga begitu-begitu saja. Ia tidak mau ketika diminta jadi caleg DPR Pusat. Juga tidak mau diminta jadi pengurus di DPP partai.

Ketika Jokowi terpilih kali pertama sebagai wali kota Solo, Mudrick diangkat sebagai semacam penasihat wali kota.

Setahun kemudian Mudrick sudah kembali ke pribadi aslinya: oposisi. Sejak itu ia konsisten mendemo Jokowi.

Pun ketika kian tua. Kian banyak sakit. Ia terus saja demo. Sakitnya bukan sakit fatal. Operasi kaki, usus, saluran darah, dan banyak lagi.

“Di masa tua, ayah total melakukan 16 kali operasi,” ujar Damar.

Rupanya operasi dan demo bisa berjalan seiring.

Sebulan lalu Mudrick kena serangan jantung. Ia dilarikan ke rumah sakit. Dipasangi ring. Dua buah. Sehat kembali. Lalu pembuluh darahnya bermasalah. Masuk rumah sakit lagi.

“Dalam sebulan terakhir beliau tiga kali masuk ICU,” ujar Damar. Sampai akhirnya meninggal dunia Minggu kemarin.

Belum tahu siapa yang akan mengurus koleksi benda antiknya. Semua masih tersimpan aman di rumahnya. Masih ada istri yang tinggal di rumah itu.

“Rumah saya hanya 100 meter dari rumah orang tua,” ujar Damar.

Jelas Damar mewarisi hobi ayahnya meski tidak sama persis. Kini Damar berbisnis copy barang-barang antik. Misalnya barang-barang antik etnik dari kayu jati.

Kalau pewaris jiwa pergerakannya sudah jelas ada: anak pungutnya itu.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia