
J5NEWSROOM.COM, Seoul – Laporan awal yang dirilis pada Senin (27/1) mengungkapkan bahwa sisa-sisa DNA unggas jenis bebek ditemukan di kedua mesin pesawat Jeju Air yang jatuh pada bulan lalu. Penemuan ini menambah dimensi baru pada investigasi penyebab kecelakaan udara paling mematikan di Korea Selatan tersebut. Meskipun laporan ini memuat fakta dasar, tidak ada petunjuk langsung terkait alasan pesawat mendarat jauh di landasan pacu tanpa roda pendaratan terpasang. Hal ini semakin membingungkan karena kotak hitam pesawat berhenti merekam empat menit sebelum benturan.
Pesawat Jeju Air, jenis Boeing 737-800, lepas landas dari Bangkok dan mengalami kecelakaan di Bandara Muan pada 29 Desember. Saat pendaratan darurat, pesawat melewati landasan pacu, menabrak tanggul dengan peralatan navigasi localiser, lalu terbakar, menyebabkan kematian 179 dari 181 penumpang dan awak. Kedua mesin jet terkubur dalam tanah tanggul, sementara puing-puing badan pesawat berserakan sejauh 30-200 meter dari lokasi tabrakan.
Localiser, yang berfungsi membantu navigasi pesawat saat mendekati landasan pacu, ternyata berada di tanggul beton bertulang yang turut memperparah dampak kecelakaan. Para ahli menduga struktur ini berkontribusi pada tingginya jumlah korban tewas.
Laporan enam halaman itu menyebutkan bahwa DNA unggas yang ditemukan berasal dari Baikal Teals, bebek migrasi yang bermukim di Korea Selatan selama musim dingin. Pilot sebelumnya melaporkan keberadaan kawanan burung saat mendekati landasan. Pesawat mengumumkan keadaan darurat dengan panggilan “Mayday x 3” akibat tabrakan burung yang merusak kedua mesin. Meskipun jarang, tabrakan burung pada kedua mesin pernah terjadi, tetapi biasanya dapat diatasi dengan pendaratan darurat tanpa korban jiwa, seperti dalam kasus “Miracle on the Hudson” di Amerika pada 2009 dan insiden serupa di Rusia pada 2019.
Namun, petunjuk penting dari rekaman suara kokpit dan data penerbangan tidak tersedia dalam investigasi ini karena perekam berhenti bekerja empat menit sebelum kecelakaan. Pesawat berada pada ketinggian 498 kaki dan kecepatan 161 knot sekitar dua kilometer dari landasan pacu ketika perekam berhenti.
Undang-undang yang mewajibkan daya cadangan perekam penerbangan diberlakukan pada 2010, tetapi aturan ini tidak berlaku untuk pesawat Jeju Air karena dibuat sebelum regulasi tersebut diterapkan. Hal ini menambah tantangan bagi penyelidik dalam merekonstruksi momen terakhir sebelum kecelakaan.
Penyelidikan akan melibatkan analisis menyeluruh terhadap mesin, data kontrol lalu lintas udara, struktur tanggul, localiser, serta dampak tabrakan burung. Semua langkah ini bertujuan untuk mengungkap penyebab kecelakaan secara akurat. Keluarga korban telah diberi informasi awal, tetapi laporan lengkap diharapkan memberikan jawaban yang lebih pasti atas tragedi ini.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Agung