Bau Korupsi Pagar Laut

Ilustrasi artikel Ahmadie Thaha tentang korupsi pagar laut. (Foto: AT/J5NEWSROOM.COM)

Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha

DI NEGERI bernama Indonesia yang entah kenapa sering disebut konoho, sebuah kasus unik sedang mencuri perhatian. Ceritanya dimulai dari pagar laut sepanjang 30 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten. Bayangkan: bambu-bambu yang tertancap di dasar laut, lengkap dengan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (SHM).

Lho, sejak kapan laut punya sertifikat tanah? Apakah ikan-ikan kini harus sewa lahan untuk berenang? Tak perlu dijawab. Yang pasti, kasus pagar laut tersebut mengungkap kompleksitas masalah hukum dalam tata kelola ruang publik. Kejaksaan Agung saat ini mendalami dugaan korupsi dalam penerbitan sertifikat HGB dan SHM yang melibatkan nama-nama besar.

Masuklah Laode M. Syarief, mantan Wakil Ketua KPK, yang dengan tegas menyebut kasus ini memiliki potensi korupsi. Dalam bahasa sederhana: ada kemungkinan pelicin, alias suap, terlibat dalam penerbitan sertifikat tersebut. Bahkan, Laode dengan santai berkata, “Kalau memang ada yang menyogok, itu bisa ditarik ke arah korupsi.” Ah, andai semua kasus sesederhana menarik benang dari celana kusut.

Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, menyatakan bahwa kasus ini berpeluang dibawa ke ranah pidana umum. Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran: apakah ini indikasi bahwa dia ingin meringankan sebuah kasus yang seharusnya masuk kategori korupsi, akan dialihkan menjadi pidana biasa?

Dalam konteks hukum, korupsi memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari tindak pidana umum. Korupsi melibatkan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang berdampak merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Dalam kasus pagar laut, penerbitan sertifikat HGB dan SHM di wilayah yang jelas merupakan ruang publik menunjukkan adanya pelanggaran prosedur administratif dan undang-undang yang diduga dilakukan oleh pejabat terkait. Hal ini menjadi indikasi kuat adanya unsur korupsi, apalagi jika disertai praktik suap atau gratifikasi.

Namun, pernyataan Trenggono tentang kemungkinan pemrosesan kasus ini sebagai pidana umum memunculkan tanda tanya besar. Ranah pidana umum, meskipun tetap serius, cenderung mengategorikan tindakan ini sebagai pelanggaran administratif atau tindak pidana ringan, seperti pencemaran lingkungan atau gangguan akses nelayan.

Pendekatan ini dapat mengaburkan aspek sistemik dari kasus ini, yang berakar pada penyalahgunaan wewenang. Pernyataan Trenggono bahkan terkesan melindungi nama-nama besar yang disebut Suara.com diduga terlibat, seperti Freddy Numberi, Belly Djaliel, dan Nono Sampono.

Kasus ini bermula dari 263 bidang tanah berstatus HGB yang tersebar di kawasan tersebut. Dari jumlah itu, 234 bidang dimiliki oleh PT Intan Agung Makmur, perusahaan patungan yang terkait dengan nama besar seperti Freddy Numberi dan Belly Djaliel. Sisanya, 20 bidang dikuasai PT Cahaya Inti Sentosa, yang komisaris utamanya Nono Sampono, mantan Kepala Basarnas.

Menurut Suara.com, nama-nama ini sudah dikenal di dunia bisnis dan politik. Freddy Numberi, misalnya, pernah menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Ironisnya, seorang yang seharusnya memahami pentingnya menjaga ekosistem laut justru dikaitkan dengan kasus ini.

Nono Sampono juga memiliki jejak panjang yang berkaitan dengan laut. Ia pernah kuliah di Teknik Perkapalan Universitas Pattimura Ambon, menjadi Komandan Korps Marinir, hingga menjabat Wakil Ketua DPD RI.

Lebih absurd lagi, perusahaan-perusahaan yang mereka pimpin mengklaim bahwa penerbitan sertifikat tersebut “sesuai prosedur.” Namun, Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, dengan tegas menyatakan bahwa penerbitan itu cacat prosedur dan material. Bahkan, dari 263 bidang yang diperiksa, 50 HGB sudah dibatalkannya karena melanggar aturan.

Kasus ini mengingatkan pada fenomena lokal di pesisir Madura, asal daerah Nono Sampono. Di sana, warga sering membuat tanggul sederhana untuk memperluas halaman, demi bertahan hidup di tengah sempitnya ruang pemukiman. Sementara di Tangerang, praktik ini dilakukan oleh perusahaan besar, dengan dokumen resmi yang cacat hukum.

Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, laut adalah ruang publik yang tidak boleh dimiliki secara privat. Mahkamah Konstitusi juga telah menegaskan bahwa pemberian HGB di wilayah laut lepas melanggar konstitusi. Namun, hukum tampaknya masih menjadi alat yang fleksibel di tangan mereka yang punya kuasa.

Sebagai institusi yang menangani kasus hukum, termasuk korupsi, Kejaksaan Agung memiliki peran penting untuk memastikan keadilan ditegakkan. Namun, ada keraguan atas independensi Kejaksaan, yang kerap dianggap memiliki kedekatan dengan pihak tertentu. Dalam konteks ini, penanganan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang memiliki fokus pada tindak pidana korupsi, mungkin lebih ideal.

Jika Kejaksaan Agung tetap memimpin proses hukum kasus ini, ada risiko bahwa aspek korupsi akan diabaikan, dan kasus ini hanya diproses sebagai pidana umum. Langkah ini tidak hanya melemahkan pemberantasan korupsi, tetapi juga mengirim pesan keliru bahwa pelanggaran serius terhadap ruang publik dapat diselesaikan tanpa menindak pelaku utamanya.

Kasus pagar laut bukan hanya soal penerbitan sertifikat yang melanggar hukum. Inilah cerminan dari rusaknya tata kelola ruang publik, di mana laut, sebagai aset bersama, disalahgunakan untuk kepentingan segelintir pihak.

Penanganan yang tepat adalah memproses kasus ini sebagai tindak pidana korupsi dengan melibatkan KPK. Jika kasus ini dibiarkan menjadi pidana umum, maka sistem hukum kita gagal memberikan efek jera bagi pelaku korupsi, sekaligus membuka celah bagi pelanggaran serupa di masa depan.

Walhasil, publik menanti langkah tegas dari aparat penegak hukum, terutama Kejaksaan Agung dan KPK, untuk membuktikan bahwa keadilan tidak tunduk pada kepentingan politik atau ekonomi. Laut adalah milik bersama, dan pengelolaannya harus sepenuhnya demi kesejahteraan masyarakat, bukan segelintir elite.*

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 30/1/2025

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995