Menuju Bahaya Oligarki

Ilustrasi artikel Ahmadie Thaha tentang bahaya oligarki. (Foto: AT/J5NEWSROOM.COM)

Catatan Cak AT

ADA yang bilang Amerika itu tanah impian, tempat siapa pun bisa sukses jika bekerja keras. Tentu saja, asalkan nama belakangmu Musk, Bezos, atau Zuckerberg. Kalau tidak, ya, maaf, silahkan antri di kasir supermarket atau menjadi driver layanan antar makanan sambil berharap tip dari pelanggan yang sama-sama kesulitan finansial.

Di bawah kepemimpinan Donald Trump yang kembali terpilih, Amerika Serikat semakin menunjukkan jati dirinya: bukan lagi “government of the people, by the people, for the people,” seperti yang dikumandangkan Lincoln, melainkan “government of the billionaires, by the billionaires, for the billionaires.”

Dengan kata lain, jika kamu tidak punya triliunan dolar, maka kamu cuma figuran dalam drama politik yang semakin absurd ini. Inilah yang diingatkan Bernie Sanders secara sarkastis dalam tulisannya, “America’s Dangerous Movement Toward Oligarchy, Authoritarianism and Kleptocracy,” yang diterbitkan di Counterpunch, 4 Februari 2025.

Dan banyak tulisan serupa lainnya berserakan di media. Mari kita mulai dengan angka-angka yang menarik—dan tentu saja menyesakkan. Dalam dua minggu pertama setelah Trump kembali dilantik, tiga orang terkaya di Amerika, Elon Musk, Jeff Bezos, dan Mark Zuckerberg, bertambah kaya sebesar 232 miliar dolar.

Angka setara Rp 3,7 kuadriliun itu lebih banyak dari PDB beberapa negara berkembang. PDB Indonesia, misalnya, hanya Rp 22,139 triliun. Sebaliknya, rakyat biasa di AS? Mereka dapat hadiah berupa pemotongan dana bantuan sosial, kenaikan harga obat-obatan, dan PHK massal.

Dari mana para taipan AS tersebut bertambah kaya dalam dua minggu? Dari kenaikan harga saham, pemangkasan pajak dan insentif pemerintah, dari subsidi dan kontrak pemerintah, dari manipulasi pasar dan spekulasi, dari mata uang kripto dan investasi alternatif.

Tapi tunggu, masih ada lagi! Dalam plot twist ala film Hollywood, Trump dan istri tercinta, Melania, meluncurkan mata uang kripto mereka sendiri. Bayangkan, Presiden AS kini bisa menerima “donasi” dalam bentuk koin digital yang nilainya bisa dimanipulasi sesuka hati.

Dulu, kalau mau menyuap pemimpin negara, orang-orang kaya harus menyelinap ke ruangan gelap dengan koper penuh uang. Sekarang? Cukup beli TrumpCoin, dan bam! Kebijakan bisa berubah dalam semalam. Tinggal sebutkan, Anda mau apa, maka pemerintah akan melayaninya untuk Anda. Itu jika Anda kaya, agar makin kaya.

Tentu saja, Trump tak sendirian. Dia punya sekutu yang lebih mirip dewa-dewa Olympus, seperti disebut tadi: Musk sang penguasa teknologi, Bezos sang raja e-commerce, dan Zuckerberg sang dalang media sosial. Ketiganya bersekutu dengan Trump, meskipun satu sama lain juga saling bersaing di dunia bisnis.

Mereka bertiga bukan hanya orang terkaya di Amerika, tapi juga pemegang saham terbesar dalam kebijakan negara. Kalau dulu orang Amerika harus memilih antara Demokrat dan Republik, sekarang pilihannya lebih sederhana: apakah kamu ingin negara ini dikendalikan oleh Tesla, Amazon, atau Meta?

Kondisi ini bukan hanya soal ekonomi dan politik, tapi juga hak dasar rakyat. Dalam upayanya membentuk ulang demokrasi menjadi demokrasi versi premium (hanya tersedia untuk pelanggan dengan saldo rekening di atas satu miliar dolar), Trump telah memecat 17 inspektur jenderal yang tugasnya mengawasi penyalahgunaan kekuasaan.

Tak hanya itu, dia juga membubarkan badan pengawas ketenagakerjaan dan hak-hak buruh. Alasannya? Mudah ditebak. Elon Musk, yang anti-serikat pekerja, tak ingin ada regulasi yang mengganggu kebebasannya memeras tenaga buruh di pabrik Tesla.

Jeff Bezos pun sama, ia ingin Amazon tetap menjadi tempat kerja impian—tentu saja, kalau impianmu adalah bekerja sepuluh jam sehari dengan jeda toilet yang dihitung seperti pertandingan olahraga.

Dan bagaimana dengan kebebasan pers? Ah, Trump punya solusi jitu: kalau media mengkritik, tinggal tuntut mereka. Saat ini, ABC, CBS, dan bahkan Des Moines Register menghadapi ancaman hukum karena berani mempertanyakan kebijakan Trump.

Mungkin sebentar lagi, di Amerika, jurnalis tak perlu repot-repot menulis berita. Cukup salin-tempel dari akun Truth Social Trump, dan selamat, Anda baru saja lolos dari tuntutan hukum!

Tapi jangan khawatir, ada harapan —atau setidaknya ada humor dalam tragedi ini. Rakyat Amerika masih punya hak pilih, meskipun sistem pemilu terus direkayasa agar suara miliarder lebih berharga dibanding suara rakyat biasa.

Dan jika sejarah mengajarkan sesuatu, itu adalah bahwa rakyat Amerika punya kemampuan luar biasa untuk marah. Saat rakyat mulai sadar bahwa mereka tak lagi hidup dalam demokrasi, tapi dalam sebuah episode panjang dari The Apprentice: Dictator Edition, maka mungkin, hanya mungkin, perubahan akan datang.

Sampai saat itu tiba, ayo kita nikmati pertunjukan ini. Toh, di Amerika, hiburan selalu jadi prioritas utama —meskipun yang ditonton kali ini adalah komedi tragis tentang bagaimana negara adikuasa perlahan berubah menjadi klub eksklusif bagi para miliarder.

Demikianlah, sebagaimana ditulis Bernie Sanders di Counterpunch, Amerika sedang bergerak dengan penuh bahaya yang mengancam menuju oligarki, otorianisme, dan kleptokrasi. Mari berdoa, negeri kita jangan mengarah ke sana.*

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 11/2/2025

Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995