
Oleh Dahlan Iskan
“TIDAK boleh menginap di hotel,” ujar Dr Al Busyra Basnur. “Di Wisma Kedutaan saja. Kosong,” ujar Duta Besar Indonesia untuk Ethiopia dan Djibouti itu.
Bukan untuk menghemat. Lebih karena ingin banyak ngobrol.
Kami adalah sesama penulis. Ia lebih andal: sudah lebih 20 buku ia terbitkan.
Juga sesama mantan wartawan. Bahkan Al sudah jadi wartawan saat masih di SMA di Bukittinggi. Tulisannya tersebar di harian Haluan dan Singgalang. Lalu ke koran nasional.
Kami juga punya nama belakang buatan sendiri. Nama ‘Basnur’ di belakang Al Busyra adalah singkatan nama ayah-ibunya: Basaruddin dan Nurlela. Itu, awalnya, ‘nama pena’. Di setiap karya tulisnya Al pakai nama Al Busyra Basnur. Lalu lebih dikenal. Kelak ia harus mengganti nama di ijazah-ijazahnya dengan nama pena-nya.
Maka saya tidur di kamar tua di belakangnya gedung di belakang kedutaan. Ada ruang tamu. Toilet. Dua kamar tidur. Cukup lapang tapi bangunan lama. Pintunya, dindingnya, plafonnya, perabotnya terasa nan silam.
Di pintu sebelah juga ada wisma serupa. Juga dua kamar dan ruang tamu.
Ketika melihat kamar ini sebenarnya saya pilih sekalian tidur di masjid saja. Tapi saya tidak tahu apakah ada masjid yang buka 24 jam di negara Kristen ini.
Saya wartawan. Bisa tidur di mana saja. Anggap saja tidur di Wisma Indonesia ini bagian dari rasa cinta tanah air seperti apa adanya.
Tentu Pak dubes ingin merenovasi Wisma Indonesia itu. Tapi untuk apa. Toh jarang sekali ada tamu.
Sejak kedutaan dibuka baru sekali ada menteri luar negeri yang ke Ethiopia: Raden Ayu Retno Marsudi. Tentu menlu yang sangat sukses itu tidak tidur di situ.
Rasanya sampai dubes berganti dua kali lagi pun belum akan ada perbaikan. Kalau pun anggarannya dimajukan pasti itu yang nomor satu dicoret –dan saya setuju itu.
Mungkin saat Kedubes ini dibangun belum ada hotel bagus di Addis Ababa. Kini hotel baru bertabur. Pun yang bintang empat dan lima.
Kedubes Ethiopia ini memang tergolong sangat tua. Dibangun tahun 1959. Selesai tahun 1960. Bung Karno merasa berutang budi: pemimpin Ethiopia hadir di KAA Bandung –bersama Zhu En Lai dari Tiongkok.
Kawasan ini dikenal sebagai daerah ‘Vatican’. Di sebelah Kedubes Indonesia memang Kedutaan Besr Vatican. Beberapa kedutaan lagi berada di daerah Vatican ini tapi tidak bisa disebut kawasan diplomatik. Banyak juga kedutaan lain yang jauh dari sini.
Kompleks Kedutaan Besar Indonesia ini termasuk kawasan yang lebih belakangan dipercantik. Di depan kedutaan, trotoarnya sedang dibongkar. Akan dilebarkan. Dipercantik. Sudah mulai pula banyak gedung tinggi di sekitar ini.
Bagian belakang tanah kedutaan ini lebih tinggi. Seperti di lereng bukit. Kantor kedutaannya sendiri berada di bangunan paling depan. Dubes Al berkantor di situ. Tapi ia merombak salah satu ruangan besarnya untuk Museum KAA Bandung. Semua bendera negara peserta dijajar. Bisa jadi foto spot menarik bagi kunjungan pelajar di sana. Foto-foto para kepala negara –termasuk raja diraja mereka yang terkenal kala itu dipasang di sana: Haile Selassie.
Di belakang kantor kedutaan terlihat taman bertingkat. Rindang. Lalu ada satu gedung lagi. Juga memanjang ke samping. Posisinya lebih tinggi. Di sinilah duta besar tinggal. Bersama istri. Hanya di bagian ujung kanannya. Di ujung lainnya ia jadikan ruang serba guna. Bentuknya bulat melingkar. Persis ruang serba guna di gedung PT Kawan Lama Group di Meruya. Bulatnya maupun ukurannya.
Di Kawan Lama interiornya mewah sekali. Di kedubes ini minimalis sederhana. Di ruang inilah Al, Sabtu lalu, mengundang banyak tokoh dan generasi muda Ethiopia. Makan siang. Masakan Indonesia. Semur daging, ayam goreng, sayur asam, sambal balado…
Acaranya: perpisahan.
Al memang akan kembali ke Indonesia. Akhir Februari ini. Sudah enam tahun Al di sini. Langka. Biasanya duta besar diganti dalam dua-tiga tahun.
Wartawan Kompas Suryopratomo termasuk sangat lama juga jadi duta besar di Singapura. Apalagi Djauhari Oratmangun, dubes kita di Beijing.
Di belakang gedung kedua itulah kamar saya: Wisma Indonesia. Posisinya di atas tanah lebih tinggi lagi.
Belum tahu siapa pengganti Al. Masih menunggu persetujuan pemerintah Ethiopia. Pasti akan ada. Tidak perlu merasa dibuang. Ethiopia sudah bukan yang lama. Addis Ababa sudah gemerlap memesona. Juga sudah menjadi hub bagi jalur penerbangan ke seluruh Afrika. Ethiopian Airline sudah menjadi raksasa di benua itu. Kalau pun akan ada izin untuk perusahaan penerbangan swasta, rasanya ET sudah telanjur lari jauh sekali.
Indonesia mungkin juga tidak akan menutup kedutaan di Ethiopia. Pun di saat dilakukan penghematan besar-besaran. Di antara negara ASEAN, hanya Indonesia yang punya kedutaan di sini.
Tentu duta besarnya harus menyadari pentingnya Ethiopia sebagai pemimpin ‘ASEAN’-nya Afrika Timur. Kawasan ini kian strategis. Apalagi kantor sekretariat tetap Uni Afrika juga di Addis Ababa –seperti kantor ASEAN ada di Jakarta.
Dari acara perpisahan itu saya melihat pengaruh Al di kalangan cendekiawan, budayawan, dan wartawan Ethiopia.
Salah satu wartawan terkenal di sana sampai menulis buku tentang peran dan gaya kepemimpinan Al: dalam bahasa Ethiopia. Sang wartawan menyerahkan buku itu, terjemahannya, ke saya di panggung acara.
Al pun bercerita: sejak menjadi wartawan pemula ia sudah ingin membuat karya yang eksklusif. Yang tidak biasa-biasa saja. Saat ia SMA itu ada pengungsi Vietnam ke pulau Galang. Tidak ada media di Sumbar yang berusaha meliput ke sana.
Al tergerak ke Galang. Tidak punya uang. Mesin ketik merek Royal-nya ia gadaikan: Rp 30.000. Ia minta surat tugas ke pemred Singgalang. Ia mengaku sudah memberi tahu orang tuanya di desa di pedalaman Payakumbuh. Memberi tahu. Bukan minta izin. Ia sudah mencoba dua kali minta izin. Tidak diizinkan.
Dengan bekal surat tugas itu Al naik bus ke Pekanbaru. Lalu naik kapal tongkang ke Tanjungpinang. Di perjalanan Al dapat kenalan. Ia diminta tidur di rumah kenalan itu. Agar tidak perlu bayar penginapan.
Seusai tugas Al pulang dulu ke Payakumbuh. Ia dapati ibunya sakit. Sang ibu jatuh sakit sejak Al pergi. Kedatangannya dipakai Al untuk minta maaf. Dan ibunya langsung sembuh. Sang ibu sempat melihat bahwa Al kelak jadi diplomat. Bahkan jadi duta besar.
Dua hari kemudian empat wanita datang ke kedutaan. Mereka para relawan sosial Katolik asal Indonesia. Ada yang asal Ruteng, Atambua, Lampung, dan Kupang. Mereka datang dari jarak 600 km dari Addis Ababa: khusus untuk mengucapkan selamat jalan ke Al. Dubes Al memang pernah ke gereja mereka. Tidur di kompleks gereja.
Katolik sangat minoritas di Ethiopia. Dari 800 siswa di sekolah Katolik di daerah itu hanya 13 yang Katolik. Selebihnya Kristen, Ortodok, dan Islam.
Empat wanita itu sudah lebih 10 tahun di pedalaman Ethiopia. Mereka bukan misionaris. Mereka pekerja sosial: mengurus pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan.
Di jari kelingking mereka tersemat cincin khusus. Ada tulisan bahasa Latin di cincin itu. Artinya ‘pengantin surga’. Mereka yang bercincin seperti itu sudah bertekad untuk tidak menikah seumur hidup. Menikahnya di surga kelak.
Mereka minta maaf tidak bisa datang di acara perpisahan Sabtu sebelumnya. Al balik minta maaf telah membuat mereka datang dari jauh.
Sepanjang acara makan siang Sabtu lalu itu sendiri Al tidak pernah duduk di kursinya: di sebelah saya. Ia datangi tiap meja. Ia ajak ngobrol tamu-tamunya. Respeknya sama: untuk yang di meja depan maupun belakang.
Ketika ada tamu yang sudah selesai makan –dan piringnya sudah dibersihkan dari meja– Al bercanda dengan sang tamu: kenapa belum juga makan, apakah Anda memecahkan piringnya –sambil tangannya menyibak taplak meja untuk melihat apakah ada pecahan piring di bawah meja.
Bahkan sampai acara makan selesai ia tidak sempat makan. Al ganteng. Necis. Suka bercanda. Tampilannya flamboyan. Hobinya menulis dan main musik. Ia seorang drummer di grup bandnya dulu.
Percaya dirinya tinggi.
Ia tipe duta besar yang diplomat.
Memangnya ada duta besar yang bukan diplomat?*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia