J5NEWSROOM.COM, DARI depan rasanya tak ada yang istimewa dari Vihara Avalokitesvara yang terletak di Desa Polagan, Kabupaten Pamekasan, Madura. Namun vihara ini memiliki kisah sejarah panjang yang berkaitan dengan era Kerajaan Majapahit.
Tak hanya menjadi vihara terbesar di Madura, Vihara Avalokitesvara juga menjadi simbol kerukunan antar umat beragama. Apalagi keberadaan musholah sebagai tempat peribadatan umat muslim dan Pura untuk umat Hindu yang juga berada dalam satu wilayah dengan vihara.
Vihara atau Kelenteng Kwan Im Kiong termasuk salah satu kelenteng yang sangat dikenal umat Tridharma Indonesia. Lokasi Pura sendiri berada paling dekat dengan vihara. Pura berukuran sekitar 3×3 meter lebih kecil dari musholah.
Pembangunan Pura diprakarsai oleh Kapolwil Madura pada saat itu yang berasal dari Bali dan menganut agama Hindu. Hingga saat ini hanya ada satu tempat ibadah untuk umat Hindu di Madura.
Sedangkan musholah berjarak sekitar 10 meter dengan vihara yang dibatasi dengan sebuah dinding. Dibanding vihara sendiri, musholah memang tidak terlalu besar dengan ukuran 4×4 meter. Pihak vihara juga menyediakan tempat berwudhu, sajadah, mukena dan juga tasbih.
Vihara ini juga menjadi saksi sejarah agama Budha di Madura. Sebelum Islam masuk, masyarakat Madura telah lebih dahulu memeluk agama Budha. Tahun 1800 seorang petani bernama Pak Burung menemukan sebuah patung peninggalan Majapahit di ladangnya.
Kabar ini ternyata sampai di telinga Pemerintah Hindia Belanda dan memerintahkan Bupati Pamekasan Raden Abdul Latif untuk memindahkan patung tersebut di Kadipati Pamekasan.
Namun keterbatasan peralatan menyebabkan pemindahan tersebut gagal dilakukan. Kurang lebih seratus tahun kemudian, keluarga Tionghoa membeli sebuah ladang tempat penemuan patung-patung itu.
Salah satu patung tersebut ternyata adalah Kwan Im Po Sat atau Avalokitesvara. Kabar ini tersebar luas di kalangan masyarakat Tionghoa di Pamekasan dan Madura pada umumnya.
Sejak saat itulah kemudian dibangun sebuah kelenteng untuk menampung patung Kwan Im Po Sat. Selain sebagai tempat ibadah, keberadaan vihara ini juga pernah dijadikan tempat untuk acara berskala nasional dan internasional. Seperti pagelaran wayang internasional yang melibatkan kurang lebih 10 negara.
Tapi, ada juga cerita lain yang mengisahkan hadirnya vihara ini di Madura, terutama bagi warga Tionghoa. Apalagi ada cerita turun-temurun yang selalu dikisahkan. Vihara ini tidak lepas dari sisa-sisa peninggalan budaya zaman Majapahit yakni pada abad ke-16 di mana ada kerajaan bernama Kerajaan Jamburingin di daerah Proppo di barat Pamekasan yang menjadi bagian Kerajaan Majapahit.
Raja-raja Jamburingin yang masih keturunan Majapahit itu punya rencana membangun candi untuk tempat ibadah, tepatnya di kampung Gayam, di sisi timur Kraton Jamburingin. Mereka mendatangkan perlengkapan lewat Pantai Talang Siring dari Kerajaan Majapahit. Pantai ini memang landai dan jadi tempat berlabuh perahu-perahu dari seluruh penjuru Nusantara.
Namun, setelah tiba di pelabuhan Talang, kiriman patung-patung dari Majapahit ke Kraton Jamburingin sama sekali tidak terangkat setelah tiba di Pelabuhan Talang. Warga sekitar hanya mampu mengangkat beberapa ratus meter dari pantai. Penguasa Kraton Jamburingin memutuskan untuk membangun candi di sekitar Pantai Talang.
Rencana pembangunan candi di Pantai Talang pun tidak terlaksana seiring perkembangan kejayaan Kerajaan Majapahit yang mulai memudar serta penyebaran agama Islam mulai masuk dan mendapat sambutan sangat baik di Pulau Madura. Termasuk daerah Pamekasan. Akhirnya, patung-patung kiriman dari Majapahit pun dilupakan orang serta lenyap terbenam dalam tanah.
Pada awal 1800-an patung-patung itu tidak sengaja ditemukan kembali oleh seorang petani saat menggarap ladangnya. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda menugaskan Bupati Pamekasan saat itu yaitu Raden Adullatif Palgunadi yang bergelar Panembahan Mangkuadiningrat I (tahun 1804-1842) mengangkat dan memindahkan patung-patung itu ke Kadipaten Pamekasan. Tapi, sekali lagi patung itu gagal diangkut. Akhirnya patung-patung tersebut tetap berada di tempat semula ketika saat ditemukan.
Sekitar 100 tahun kemudian atau tahun 1900 sebuah keluarga keturunan Tionghoa membeli tanah (ladang) di mana patung-patung tersebut berada. Setelah dibersihkan diketahui bahwa patung -patung itu adalah patung-patung budha versi Majapahit dalam aliran Mahayana yang banyak penganutnya di daratan Cina.
Patung-patung itu dikumpulkan dalam bangunan bercungkup dengan atap daun kelapa. Seiring waktu mulai dibenahi dan jadilah Vihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong) Kelenteng Pamekasan sampai saat sekarang.*