ROWO BAYU adalah sebuah rawa dengan air berwarna hijau di tengah hutan pinus, seluas delapan hektar di lereng Gunung Raung. Rawa tempat bertemunya tiga mata air yakni Sendang Keputren, Sendang Wigangga, dan Sendang Kamulyan ini terhampar di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi.
Suasananya begitu hening khas hutan tropis yang dihuni aneka satwa. Tapi, siapa sangka jika di daerah sejuk nan tenang ini semangat perlawanan rakyat Blambangan melawan kompeni Belanda pernah berkobar.
Rawa Bayu menyimpan sejarah panjang yang membentang sejak tahun 1767 ketika ekspedisi militer VOC datang ke Blambangan untuk membantu kerajaan ini melepaskan diri dari pengaruh kerajaan-kerajaan di Bali. Hanya dalam sebulan, pasukan VOC mengalahkan pasukan Bali pada Februari 1867.
Namun, ketenangan rakyat terusik empat bulan kemudian setelah Wong Agung Wilis, saudara tiri Pangeran Adipati Danuningrat (1736-1764), patih raja terakhir Blambangan, melakukan pemberontokan.
Pasukan VOC mampu mengalahkan Wilis dalam tempo setahun dan menunjuk keluarga Bupati Surabaya menjadi Bupati Blambangan tahun 1771 untuk program Jawanisasi dan Islamisasi di Blambangan guna memutus pertalian Blambangan dengan Bali.
Tapi, rakyat Blambangan tidak suka, sehingga muncul sentimen anti Jawa dan anti Islam. Hingga muncul pemberontakan yang dipimpin Jagapati yang mendirikan benteng di Desa Bayu. Berbekal bantuan Kerajaan Mengwi, Jagapati mengalahkan pasukan VOC dalam pertempuran besar pada 18 Desember 1771.
Kematian pimpinan VOC, Vaandrig Schaar dan Cornet Tinne dalam pertempuran itu membuat Belanda marah. Setahun kemudian, VOC mendatangkan ribuan prajurit tambahan dari Madura, Surabaya, dan Besuki.
Selain mendirikan benteng di Desa Bayu, VOC juga membakar lumbung-lumbung padi milik pasukan Jagapati hingga merebak kelaparan. Dalam kondisi kesulitan inilah pasukan Jagapati diserang habis-habisan oleh tentara Belanda.
Pertempuan di Desa Bayu ini dikenal dengan Puputan Bayu atau perang habis-habisan dalam istilah Bali. Kekalahan pasukan Jagapati membuat populasi rakyat Blambangan menyusut drastis dari 80.000 jiwa menjadi 8.000 jiwa.
Menurut sejarawan Universitas Gajah Mada, Sri Margana, Puputan Bayu pada 11 Oktober 1772 ini dikenal sebagai salah satu perang yang paling sadis di Indonesia. Pasukan VOC memenggal kepala pasukan Jagapati dan menggantung di pepohonan di sekitar Rawa Bayu.
Untuk mengenang peperangan ini, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi membangun monumen Puputan Bayu di pintu masuk Desa Bayu. Monumen ini hanya berjarak lima kilometer dari lokasi Puputan Bayu. Lokasi pertempuran yang dikenal dengan nama Rowo Bayu ini menjadi tujuan wisata alam karena pemandangan yang menarik dan suasananya yang tenang dan damai.
Pemeluk Hindu di Banyuwangi dan Bali menjadikan Rowo Bayu sebagai tempat bersuci maupun semedi dan sembahyang. “Dulu suasana di Rowo Bayu menyeramkan,” kata Sri Margana. Sampai sekarang pun, di beberapa titik Rowo Bayu masih menyiasakan suasana mistis yang membuat bulu kuduk berdiri.
Bekas keraton dan benteng yang didirikan di Rowo Bayu tidak ditemukan hingga sekarang. Tapi, yang ada justru situs Raja Blambangan Prabu Tawang Alun berupa Candi Puncak Agung Macan Putih dan Petilasan Pertapaan Tawang Alun.
Dua situs ini dibangun tahun 2006 sebagai tanda Prabu Tawang Alun pernah menjejakkan kakinya di sini, jauh sebelum Jagapati membangun benteng. Prabu Tawang Alun pernah mendirikan keraton di Desa Bayu sebelum pindah ke Desa Macan Putih di Kecematan Kabat, Kabupaten Banyuwangi.*