Oleh Dahlan Iskan
HUJAN menggutus sepanjang jalan. Kemarin pagi. Belum sarapan. Target saya: pukul 10.00 sampai di Singkawang. Bisa langsung early lunch: telur dadar tiram, cah okra, pare-udang dan ayam rebus. Sayur itu dimasak gaya Tiuchu atau Hakka.
Ini bukan pertama saya mengemudikan mobil Pontianak-Singkawang. Tapi baru kali ini sampai 3,5 jam. Rekor masa lalu saya 2,5 jam.
Saya parkir di dekat Kelenteng Kuning di pusat Kota Singkawang. Hujan masih tetap menggutus. Saya lari ke toko emas Batavia. Ada sahabat Disway di situ: William, si pemilik dua toko emas di satu kota.
“Carikan masakan Tiuchu paling enak. Ini lapar sekali. Belum sarapan pula,” ujar saya.
William pun membawa saya ke satu restoran Tiuchu tidak jauh dari tokonya.
Tiba-tiba William membuat video call. Ia bicara dalam bahasa yang saya tidak mengerti artinya. Begitu tersambung William menyerahkan HP ke saya. Maksudnya, Anda sudah tahu: agar saya bicara dengan yang di layar HP itu.
“Bekas wali kota,” katanya sambil menyerahkan HP.
“Bekas?” saya balik bertanya.
“Dua minggu lalu sudah tidak menjabat wali kota lagi,” jawabnya.
Saya pun bicara dengan Tjhai Chui Mie, SE, MH. Saya sampaikan kekagetan saya bahwa dia sudah bukan wali kota lagi.
Lima tahun ternyata begitu cepat. Apalagi terpotong tiga tahun pandemi. Waktu dia baru dilantik saya bertemu Chui Mie di Singkawang. Ketemu lagi dia sudah berhenti.
“Setelah saya makan nanti boleh bertemu?”
“Boleh sekali,” kata Chui Mie. Dia pun memberikan alamat rumah sementaranyi kepada William. Rumah aslinyi lagi direnovasi. Bulan depan baru selesai.
William rupanya kenal baik dengan Chui Mie. Ia seperti tahu bahwa saya pasti ingin bertemu mantan wali kota yang sangat populer itu.
Setelah lima tahun tak bersua, rasanya Chui Mie lebih cantik. Giginya terlihat ditata ulang. Ada behel melilit di gigi atas dan gigi bawahnyi. Badannyi juga tetap langsing. Gerakannyi tetap dinamis. Bicaranyi masih seperti mitraliur.
“Selama lima tahun ini, Anda ganti model rambut berapa kali?” tanya saya.
“Tidak pernah ganti. Seperti ini terus. Kalau lagi kerja saya ikat di belakang seperti ini,” jawabnyi.
Kini begitu banyak hotel baru di Singkawang. Sudah pula berdiri satu mal. Masjid Agungnya lagi direnovasi. Awalnya Chui Mie hanya membangun gerbangnya. Agar terlihat megah dan besar.
“Sekarang bus jamaah sudah bisa masuk halaman masjid,” katanyi. Dulu gerbang itu kecil dan sempit. Dia lihat jamaah dari luar kota harus turun dari bus di tempat yang jauh.
Setelah gerbangnya baru, pengurus masjid merasa gerbang itu terlalu megah dibanding masjidnya. Chui Mie diminta turun tangan. Dia pun mengadakan sayembara desain masjid. Hadiah pertamanya Rp 75 juta. Pemenang desain itu Yori Antar, arsitek yang Anda sudah mengenal namanya. Judul desainnya: Kopiah Nusantara.
Wali Kota Chui Mie pun mengumpulkan uang Rp 50 miliar. Itulah anggaran untuk membangun kembali Masjid Agung. Sudah terkumpul Rp 30 miliar. Meski bukan lagi wali kota dia akan terus mencari kekurangannya.
Dari Masjid Agung saya ke kelenteng besar yang juga baru. Betul. Besar sekali. Tinggi. Merah. “Masih akan ada yang membangun kelenteng lebih besar lagi. Seluas 18 hektare,” ujar Chui Mie.
“Anda sendiri ke gereja atau ke kelenteng?” tanya saya.
“Saya ke kelenteng,” jawab Chui Mie.
Dia suku Hakka. Anaknyi 4 orang. Yang sulung masih kuliah S2 di notaris. Yang nomor 2 sudah bekerja di perusahaan akuntan asing di Jakarta. Yang nomor 3 masih kuliah komunikasi di Serpong. Yang bungsu masih di SMA di Singkawang.
Chui Mie kini 51 tahun. Pendidikan awalnya SMEA. Lalu bekerja di Singkawang. Waktu maju jadi anggota DPRD Singkawang, dari PDI Perjuangan, Chui Mie dapat suara terbanyak. Jadilah Chui Mie ketua DPRD.
Partai pun mendorong Chui Mie jadi wali kota. Dia berpasangan dengan H Irwan, kini 55 tahun. Pasangan ini tidak pernah terlihat konflik. Singkawang termasuk langka: wali kota dan wakilnya rukun-rukun saja.
“Apakah di Pilkada 2024 nanti akan menggandeng Irwan lagi?” tanya saya.
“Belum tahu. Masih lama sekali,” katanyi.
Sementara ini wali kota Singkawang dijabat oleh sekretaris kota.
Salah satu yang membuat Chui Mie bangga adalah ini: Singkawang terpilih sebagai kota paling toleran di Indonesia.
Dia memang menjalin komunikasi dengan semua golongan. Tiap tahun dia memberangkatkan 5 orang marbot masjid ke Makkah: umrah.
Yang hampir saja tidak selesai adalah tiga gerbang utama kota.
Gerbang dari arah selatan (arah Pontianak) berciri khas budaya Tionghoa. Yang membangunnya pemilik Kopi Kapal Api Sudomo Mergonoto. Istrinya memang dari Singkawang. Sudomo membangun lebih megah dari desain aslinya. Materialnya juga lebih baik agar lebih kuat terhadap empasan angin.
Gerbang dari sisi utara (arah Sambas) berciri khas budaya Melayu. Yang membangunnya Astra International.
Sedang gerbang dari arah timur berciri khas budaya Dayak. Hampir saja tidak selesai. Ada urusan tanah. Yang membangunnya, juragan industri pakaian.
Tiga gerbang itu disebut “Tidayu”: Tionghoa, Dayak, Melayu. Itulah tiga suku utama terbesar di Kalbar.
Bagaimana dengan Bandara Singkawang?
“Saya lega sekali,” jawabnyi. “Tahun 2024 nanti akan diresmikan Bapak Presiden Jokowi,” tambah Chui Mie.
Berarti Bandara Singkawang pasti jadi. Terwujud.
Sudah lima wali kota Singkawang yang menjanjikan bandara bagi kota itu. Empat sebelumnya selalu gagal.
Persoalan utamanya ada tanah 40 hektare di tengah lokasi. Tidak bisa dibebaskan. Tanah itu milik swasta. Yang sulit: tanah itu dalam status agunan bank.
Chui Mie cari jalan tembus. Kesulitan itu dia ceritakan dalam sebuah pertemuan dengan para pengusaha di Surabaya. Saat itu Chui Mie baru berstatus wali kota terpilih. Belum dilantik.
Dari forum itu muncullah ide dari seorang pengusaha emas. Salah satu yang terbesar di Surabaya. Merek HWT. Ia yang akan menebus tanah itu ke bank. Pakai uangnya. Setelah itu pemerintah bisa membebaskannya.
Setelah tanah 150 hektare terbebaskan izin-izin diberikan. Anggaran disetujui. APBN sudah cair Rp 130 miliar. Masih akan dapat lagi Rp 150 miliar. Lokasinya tidak jauh dari gerbang Kapal Api itu. Masuk ke arah timur. Sekitar 10 km dari jalan utama Pontianak-Singkawang.
“Begitu banyak pemilik tanah yang menghibahkan untuk jalan masuk. Juga untuk jalan logistik hasil pertanian yang harus dipindah,” tambahnyi.
Komunikasi Chui Mie rasanya jadi kunci.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia