ISTANA Ratu Boko bukan sekadar unik dan mempesona, tapi juga penuh misteri. Dibandingkan warisan bangunan yang lain, istana ini merupakan salah satu yang belum terungkap secara pasti asal-usul nama maupun pendirinya. Belum lagi lokasinya di dataran tinggi, tidak seperti yang lain di tanah yang landai dan dataran rendah.
Namun, dari Prasasti Abhayagiriwihara di dalam situs ini, ditemukan bukti tertua dengan angka 792 Masehi. Prasasti ini menyebutkan seorang tokoh bernama Tejahpurnpane Panamkorono yang diperkirakan sebagai Rakai Panangkaran.
Nama ini disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan tahun 779 Masehi, Prasati Mantyasih 907 Masehi, dan Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 Masehi. Rakai Panangkaran adalah figur yang membangun Candi Borobudur, Candi Sewu, dan Candi Kalasan.
Meskipun prasasti ini memberikan gambaran yang cukup jelas, tapi kepastian tentang Istana Ratu Boko masih berselimut misteri. Kapan istana ini dibangun belum diketahui. Siapa yang membangun tempat ini juga belum terungkap. Untuk apa bangunan juga menjadi tanda tanya. Tentang fungsinya, beberapa ahli sejarah memiliki pandangan istana ini merupakan bangunan multifungsi yang terdiri dari beberapa komponen yakni benteng keraton (istana) dan gua.
Keberadaan istana di atas bukit ini tentu saja menjadi tantangan sendiri dalam pembangunannya. Prosesnya pasti lebih sulit dibangun dalam hal pengadaan tenaga kerja maupun bahan bangunan.
Kecuali jika bahan bangunan utamanya berupa batu diambil dari wilayah bukit itu sendiri. Tentu saj ini menunjukkan keterampilan yang tinggi dari para pekerja sehingga mampu mengolah bukit batu menjadi bongkahan yang bisa digunakan sebagai bahan bangunan.
Letaknya yang di atas bukit menuntut adanya mata air serta sistem pengaturan air untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kolam pemandian adalah petunjuk dari sistem pengaturan ini.
Posisi di atas bukit juga mampu menawarkan hawa sejuk dan pemandangan alam yang indah bagi penghuninya sekaligus menyulitkan lawan yang ingin menyerang. Lokasi istana di atas bukit ini juga memungkinkan proses peribadatan berlangsung lebih tenang.
Istana Ratu Boko bukan sekadar hanya bangunan suci (candi), tapi juga bangunan yang bersifat profane. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bangunan hunian dengan tiang dan atap dari bahan kayu. Selain itu, ada bangunan yang bersifat sakral dan profane yakni berupa kolam dan gua. Apa pun fungsinya, istana ini mampu menghadirkan kedamaian dan ketenangan penghuninya.
Sedangkan arti Istana Ratu Boko sendiri mengandung banyak pengertian. Pada awalnya istana ini bernama Abhayagiri Vihara (biara di bukit yang penuh kedamaian) sebagai tempat menyepi dan tempat konsentrasi mencari kehidupan spiritual.
Istana ini berdiri pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa Syailendra. Nama Boko berarti Bangau, tapi tidak dipastikan apakah penguasa pada masa itu melabeli diri dengan arti nama ini.
Dalam sejumlah catatan sejarah disebutkan, Istana Ratu Keraton Boko merupakan benteng pertahanan Balaputradewa atau Rakai Kayuwangi, putera bungsu Rakai Pikatan.
Konon Rakai Kayuwangi diserang oleh Rakai Walaing Puhuyaboni, cicit laki-laki Sanjaya yang merasa lebih berhak atas tahta dibandingkan Rakai Pikatan. Hal ini karena Rakai Pikatan merupakan suami dari Pramodharwani, puteri mahkota Samarottungga yang beragama Buddha.
Dalam pertempuran Rakai Walaing dipukul mundur dan terpaksa mengungsi di atas perbukitan Ratu Boko dan membuat benteng pertahanan. Tapi, pada akhirnya Istana Ratu dapat diduduki Rakai Kayuwangi dan merusak prasasti yang memuat silsilah Rakai Walaing.
Akhirnya nama-nama ayah, kakek, dan buyut Rakai Wailang hilang dari prasasti. Di sinilah banyak misteri yang masih belum terungkap, termasuk siapa pendiri istana sebenarnya.
Istana Ratu Boko pertama kali ditemukan arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad ke-17. Dari prasasti berangka tahun 792 Masehi ini muncul pendapat bahwa Istana Ratu Boko didirikan oleh Rakai Panangkaran.
Pada prasasti lokasi ini dikenal sebagai Abhayagiriwihara yang berarti biara yang dibangun di sebuah bukit yang penuh kedamaian. Pada masa pemerintahan Rakai Walaing Pu Kombayoni tahun 898-908, Abhayagiri Wihara berganti nama menjadi Kraton Walaing.
Dugaan banyak fungsi pada situs ini bisa dilihat dari beberapa hal. Menurut para pakar, dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, kuat dugaan bahwa situs ini bekas keraton yang didasari pada kenyataan kompleks ini bukan candi atau bangunan yang bersifat religious.
Istana ini lebih mendekati istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai struktur pertahanan. Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar situs ini.
Sedangkan nama Ratu Boko konon berasal dari cerita turun temurun yang menjadi legenda bagi masyarakat setempat. Ratu Boko yang berarti Raja Bangau diduga kuat merupakan ayah dari Loro Jonggrang yang menjadi canam candi utama di kompleks Candi Prambanan.*