KESERUAN tour menikmati winter Eropa Barat yang tengah diselimuti suhu di bawah nol derajat, menjadi perjalanan yang tak terlupakan. Apalagi, selama perjalanan ditemani oleh pemandu wisata yang begitu menguasai sejarah dan kisah berbagai destinasi wisata terkenal di kawasan Eropa Barat.
Seperti apakah kisah perjalanan menembus dingin Eropa Barat ke berbagai negara itu? Berikut penuturan pengusaha kuliner yang juga owner Restoran Jepang Misticanza, Akbar, kepada wartawan Majalah Siber Indonesia, J5NEWSROOM.COM, Alia Safira.
Berangkat tepat tengah malam memang waktu yang menyenangkan, karena pesawat yang nyaman dan dingin membuat hampir semua penumpang tertidur pulas. Apalagi, setelah menikmati makanan yang disajikan para pramugari.
Setelah perjalanan 8 jam, kami transit di bandara Dubai, waktu menunjukkan pukul 05.30 waktu Dubai, perbedaan waktunya dengan Jakarta, 3 jam. Saat itu, jam tangan kami menunjukkan waktu 08.30 WIB.
Namun sayang, saat kami transit dengan durasi waktu yang relatif lama, tak dapat digunakan untuk keluar dari bandara, untuk city tour. Karena seharusnya kami juga harus memproses visa Dubai. Terpaksa selama transit kami menikmati suasana bandara internasional Dubai yang masuk dalam 10 airport terbaik di dunia.
Jam 15.05 waktu Dubai kami berangkat menuju Roma, Italia. Setelah perjalanan hampir 8 jam kami tiba di Roma jam 18.45 waktu Roma, sementara jam tangan kami menunjukkan waktu 12.45 WIB, atau beda 6 jam dari waktu Indonesia.
Karena hari masih belum terlalu malam, kami pun pergi ke kafe yang terkenal enak capucinonya, La Casa Del Caffee. Ternyata memang nikmat duduk-duduk sambil ngopi di sini, apalagi di suhu 0’ C.
Ada turis Asia di meja sebelah yang baru duduk mau ngopi di gelas take away, ditegur oleh security. Rupanya harga kopi gelas kami memang 2x harga kopi gelas take away. Karena ternyata mereka memang harus ‘away’ dari resto, kalau mau duduk harganya memang dobel.
Bener juga sih, kalau memang ada perbedaan harga antara ‘dine in’ dengan ‘take away’. Eh, ke toilet resto pun sama, kalau ke toilet diminta menunjukkan bon pembelian, kecuali kalau securitynya memang sudah melihat kita sebagai customer.
Hari kedua, kami berangkat ke negeri terkecil di dunia, Vatikan. Luasnya hanya 44 hektar dan penduduknya tidak sampai 1.000 jiwa. Dikelilingi tembok dan ada dalam kota Roma.
Tentu saja, kami juga mampir ke gereja St. Peter Basilica. Masih terasa suasana wafatnya Paus Benediktus XVI yang meninggal dan jenazahnya disemayamkan selama tiga hari di Basilika Santo Petrus.
BACA JUGA: Bergegas ke Hamburg Demi Nonton Penampilan Indonesian National Orchestra
Umat Katolik dapat memberikan penghormatan kepadanya mulai Senin, 2 Januari 2023. Paus Benediktus meninggal pada Sabtu, 31 Desember 2022 dalam usia 95 tahun. Ia memimpin Gereja Katolik selama delapan tahun.
Tapi kami mendapat kejutan saat bertemu ibu Yanti Jhonan. Bagaimana tidak kaget, saat ikut ‘Tour Sentosa’ ke Beijing tahun 2019 sebelum Covid-19 lalu, kami bersama bu Yanti dalam satu rombongan. Kini, kami bisa bertemu lagi di Vatikan, secara kebetulan. Padahal selama hampir 4 tahun ini kami belum pernah ketemu lagi, walaupun sama-sama tinggal di Jakarta.
Tujuan-tujuan tur Roma tentu saja tidak dilewatkan, yaitu berkunjung ke Colloseum, tempat yang dulu digunakan para gladiator bertarung menyabung nyawa. Lalu, ke air mancur Trevi, yang konon katanya bila melempar koin ke sana sambil berdoa, akan terkabul. Kemudian berkunjung ke manara miring Pisa, yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
Sungguh, kami salut kepada tour leader kami, Pak Santo, dari ‘Panorama Tour’, yang seakan-akan tidak pernah kehabisan bahan cerita untuk menjelaskan segala sesuatunya dengan bahasa yang mudah dipahami. Sehingga perjalanan dari Roma ke menara miring Pisa sejauh 355 km, tidak terasa lama.
BACA JUGA: Melintasi Batas 3 Negara Hanya dalam 3 Langkah
Hari terakhir di Itali kami berkunjung ke kota di atas air yang sangat terkenal itu, Venesia. Jaraknya 292 km dari Pisa. Tentu saja kita tidak lewatkan sensasi untuk menjelajahi kanal dengan perahu kecil, berjalan kaki di jalanan berbatu, melintasi jembatan, dan tentu saja berbelanja souvenir di kota paling unik di dunia.
Senin, 16 Januari 2023, kami meninggalkan Itali, kota yang kami bisa rasakan keramahtamahan penduduknya, menuju Swiss. Kami melewati Milan setelah 244 km perjalanan dan singgah sebentar, lalu lanjut ke Zurich menempuh perjalanan 280 km lagi.
Pemandangan unik saat di perbatasan Itali dan Swis adalah, saat model-model rumah tradisional kedua negara yang sangat berbeda. Tampak salju tebal menutupi pohon-pohon dan atap-atas rumah di wilayah Swiss.
Tentu saja yang paling mengesankan adalah ketika bus mulai masuk ke wilayah pegunungan Alpen menuju salju abadi di Gunung Titlis. Rasa lelah selama di perjalanan langsung hilang, saat melihat gunung dan dataran yang hampir semua tertutup salju, dan dinginnya -12’C sudah terasa. Dan setelah dua malam menginap di Zurich, kami lanjut ke negara berikutnya.
Negara kelima dalam perjalanan ini adalah Jerman, di mana kami singgah di sebuah kota kecil Titisee, yang juga dikenal sebagai ‘black forrest’-nya. Karena hutan-hutan cemaranya yang tinggi dan begitu indah, ditutupi oleh salju. Konon istilah kue “black forrest” memang berasal dari kota kecil ini. Penduduk setempat ternyata memang mahir membuat kue tersebut, dan kami juga diberi waktu untuk mencicipi beberapa model kue black forrest.
Desa kecil ini menjadi lebih indah dengan adanya danau dan sungai yang biasanya mengalirkan gletser saat salju mencair di musim panas. Penduduk desa ini termasuk ahli dalam membuat jam dinding yang indah, keahlian yang mungkin dipengaruhi negeri tetangganya Swiss yang terkenal dengan ahli-ahli jam tangan kelas dunia.
Dari Zurich ke Titisee hanya berjarak 111 km, tetapi dari Titisee kami melanjutkan perjalanan ke negara ke 6, Perancis, yang jaraknya lumayan jauh, 607 km ke Paris. Bus yang nyaman membuat kami bisa tertidur pulas dan sesekali tidak mau melewatkan pemandangan yang begitu indah saat menuju Paris.
Saat di Paris, udara -2’C, di sore hari, setengan bagian atas menara Eifel tertutup kabut. Barulah di malam hari kita bisa menikmati indahnya menara besi yang dibangun tahun 1887 itu, dihiasi lampu berwarna kuning emas, yang sesekali berkelap kelip. Menara setinggi 330 meter ini tidak pernah sepi pengunjung, termasuk antrian turis yang ingin naik lift ke puncaknya.
Beberapa tempat terkenal di Paris kami kunjungi, antara lain Musium Louvre tempat lukisan asli Monalisa karya Leonardo da Vici dipamerkan. Lalu ke Notre Dame Cathedral tempat dimana Napoleon Bonaparte dinobatkan sebagai kaisar tahun 1804. Arche de Triomphe, yaitu monumen peringatan yang dibangun atas perintah Napoleon untuk menghormati para pejuanb selama Revolusi Perancis dan Perang Napoleon.
Dari semua agenda ternyata yang paling menarik adalah saat di Galeries Lafayette, yaitu bangunan tua yang kini menjadi shopping center modern untuk branded items. Dan di roof top, para turis bisa juga menikmati keindahan menara eifel dari kejauhan.
Setelah 3 hari bermalam di Paris, perjalanan berlanjut ke Brusel, Belgia yang jaraknya 313 km ditempuh dalam waktu sekitar 4 jam. Kami tidak menginap di negara yang menjadi ibukota Uni Eropa tersebut, tetapi rombongan kami dibawa ke landmark modern Belgia, yaitu Atomium, lalu diberi waktu relatif cukup lama untuk menikmati suasana di kompleks Grand Palace. Di sanalah berpusat berbagai tempat menarik untun dikunjungi seperti Hard Rock Cafe, Musium Bir, Musium sejara kerajaan Belgia, dan lain-lain.
Setelah puas menikmati suasana Brussel, perjalanan di lanjutkan ke Belanda, negara terakhir atau yang ke-8 dalam perjalanan ini. Jarak Brussel Amsterdam hanya 209 km, ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam.
Ada aturan ketat dalam perjalanan yang selalu dipatuhi oleh setiap sopir adalah, selalu berhenti tiap 2 jam, di rest area. Sehingga saat mulai berkendara lagi, sopir terlihat fit dan fresh kembali.
Tempat-tempat menarik di Amsterdam satu demi satu disinggahi, termasuk rumah dengan kincir angin tradisional tentunya.
Dan agenda penutup yang paling dinanti adalah kunjungan ke Roermond, factory outlet terbesar di Eropa, yang bila dibanding-bandingkan dengan barang yang sama ‘apple to apple’ dengan yang di Jakarta, bisa 1/3 harganya.
Di sinilah semua peserta tur yang 24 orang, mulai menghitung dan menghabiskan uang saku yang tersisa untuk belanja. Mereka benar-benar menikmati ‘Happy Shopping,’ yang kalau di Singapura orang kenal istilah ‘shop till you drop.’
Editor: Saibansah