Oleh Dahlan Iskan
ADA materi baru kuliah hukum dari vonis hukuman mati Irjen Polisi Ferdy Sambo: untuk kasus pembunuhan berencana tidak perlu diketahui apa motifnya. Begitulah pendapat majelis hakim yang mengadili Sambo Senin lalu. Sambo terbukti membunuh sopir dinasnya: polisi berpangkat rendah Yosua. Di rumah dinasnya: perumahan Mabes Polri Duren Tiga Jakarta, 8 Juli tahun lalu.
Memang motif pembunuhan itu tidak terungkap di sidang pengadilan. Pun setelah semua saksi diperiksa. Barang bukti juga tidak berhasil memberi petunjuk apa motif pembunuhan itu.
Yang hakim bisa menyimpulkan adalah: pembunuhan itu terbukti. Direncanakan. Sambo terbukti sempat mengenakan sarung tangan ketika menembakkan pistol Glock-nya ke kepala Yosua. Maksudnya, agar tidak meninggalkan sidik jari di senjata itu.
Sebelum itu pun Yosua mungkin sudah mati. Atau belum mati. Teman sesama polisi yang juga bertugas di rumah Sambo, Bharada Eliezer, sudah menembak kepala Yoshua atas perintah Sambo.
Jadi, apa motif pembunuhan Yosua ini? Sempat terungkap soal hubungan pria-wanita antara Yosua dan istri Sambo. Tapi hakim berpendapat motif pelecehan seksual terhadap istri Sambo tidak terbukti. Apalagi posisi kekuasaan sang istri sangat kuat di atas Yosua. Tidak mungkin Yosua berani melakukan pelecehan seksual itu.
Keluarga Yosua, terutama tunangannya, tentu sangat lega dengan vonis ini. Bukan saja hukuman mati itu dianggap setimpal, tapi tidak adanya motif hubungan pria-wanita ini telah merehabilitasi nama baik Yosua.
Maka inilah perkara besar, dengan vonis mati, tanpa terungkap motifnya. Sungguh perkara ini membuat ”penasaran nasional”. Tapi hakim memang bisa memutuskan atas keyakinan mereka sebagai wakil Tuhan di pengadilan.
“Mens rea, motif, atau niat jahat yang melatarbelakangi sebuah perbuatan kejahatan seharusnya selalu ada. Tidak mungkin orang melakukan kejahatan tanpa ada latar belakang niat yang mendorongnya,” ujar I Gede Pasek, mantan ketua komisi III DPR yang kini jadi pengacara. “Tanpa motif maka tidak bisa memenuhi unsur kejahatan,” tambahnya. “Hanya orang gila atau lupa ingatan melakukan kejahatan tanpa motif,” katanya.
Setiap manusia, esensinya, dalam jiwanya, pasti ingin menjadi manusia baik. “Stimulan lingkungan yang bisa mengubahnya menjadi tidak baik sampai bisa melakukan kejahatan,” ujar Pasek.
Tapi mengapa vonis mati dijatuhkan tanpa motif perbuatan?
“Jangan-jangan itu sebuah pintu yang bisa dibuka sewaktu-waktu untuk upaya hukum lanjutan,” ujar Pasek. Maksudnya: bisa saja hakim menyediakan celah bagi hakim tingkat yang lebih tinggi untuk membebaskan Sambo kelak. Atau meringankannya. Yakni ketika amarah masyarakat sudah reda. “Vonis mati tanpa motif ini bisa saja dianggap bahwa hakim salah dalam menerapkan hukum,” katanya.
Bisa saja, kelak, hakim yang lebih tinggi beranggapan putusan hakim Senin lalu itu dijatuhkan karena terpaksa. Yakni akibat banyaknya tekanan dari segala arah. Sehingga hakim tidak kuasa menolak atau tidak berani menolak. Hakim lantas membuatkan ‘jalan tikus’ untuk pembelaan Sambo dit ahapan pengadilan berikutnya.
Pengacara Mohamad Sholeh yang mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik juga berpendapat motif harus diketahui. “Tapi Sambo kan tidak terbuka. Akhirnya hanya Sambo yang tahu,” katanya.
Yang jelas, setelah vonis ini, Sambo belum akan menjalani hukuman mati. Syarat untuk mengeksekusi terpidana mati sangat sulit. Sambo masih bisa naik banding ke pengadilan tinggi. Perlu waktu panjang. Pun kalau hukumannya tetap, ia masih bisa kasasi ke Mahkamah Agung. Setelah itu ia masih bisa mengajukan PK –Peninjauan Kembali. Kalau pun kandas semua, ia masih bisa minta pengampunan ke presiden.
Belum lagi ada ketentuan baru ini: bisa tidaknya hukuman mati dilaksanakan juga masih harus menunggu 10 tahun. Kalau selama 10 tahun di penjara ia berkelakuan baik maka hukuman mati tidak bisa dilaksanakan. Ia cukup minta surat keterangan berkelakuan baik dari kepala lembaga pemasyarakatan.
Apa pun, hakim sudah menelurkan teori baru dalam hukum pidana: hakim tidak perlu tahu apa motif sebuah kejahatan pembunuhan berencana.
Atau, Sambo memang telah bertekad menyediakan diri sebagai ‘martir’. Biarlah ia sendiri, dan istri, sebagai ‘tameng’. Agar tidak ada orang lain yang berjatuhan.
Publik memang masih penasaran: apa motif pembunuhan itu yang sebenarnya. Tapi yang lebih penting bagi publik adalah: apakah polisi sudah berubah setelah peristiwa itu.
Sambo pasti bukan orang gila: kecuali gila T dan H.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia