Oleh Wina Armada Sukardi
SHOLAT subuh di mesjid banyak menghasilkan pengalaman “spritulitas”. Pengalaman yang memperkuat batin. Pengalaman yang membuat kita berupaya menjadi hamba yang lebih baik lagi. Tapi juga pengalaman yang sering menunjukkan jalan terjal menggapai kebaikan. Pengalaman yang sering membaurkan antara realitas dan fantansi.
Itu terjadi baik sebelum sholat, saat sholat maupun setelah sholat. Salat satu pengalaman tersebut hamba “abadikan” dalam sebuah karya puisi hamba berjudul “Zikir” tahun 2019. Langsung saja hamba yang kutip utuh puisi tersebut tanpa perlu hamba imbuhkan apapun lagi.
Zikir
Aku duduk memegang tasbih
berzikir
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah.
Tidak! Mataku tidak tertutup.
Tidak! Kesadaranku tidak hilang
Tapi dimanakah aku?
Tubuhku begitu ringan, bahkan seakan tak ada
Aku serasa menembus tujuh langit
melewati bulan, melewati matahari.
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah
Aku melihat dua mahluk memandang tajam ke arahku
mereka menunjuk-nunjukku
boleh jadi berdikusi tentang aku
Satu menunjuk-nunjuk ke arah depan
satu lagi sebaliknya menunjuk-nunjuk ke balakang
lantas mereka menghilang begitu saja
membiarkan aku kembali sendirian.
Di depan aku melihat pemandangan lapang tak berbatas
orang-orang berwajah murung dengan derita lalu lalang.
Preeaaattt!!!
Tiba-tiba petir menyambar seluruh manusia di sana
tak ada tubuh yang tidak hangus
mereka mengerang, merintih dan menjerit
tapi mereka masih tetap hidup
tubuh penuh luka dan nanah.
Nyeri.
Bau.
Lalu : buuaaarrr!
Manakala tubuh masih sedemikian sakit bukan alang kepalang
munculah tsunami mengulung semuanya
padahal gelombangnya yang datang lahar tak terperkiraan panasnya
sebagian terpental-petnal
sebagin tergulung ombak lahar
Tentu, tentu, orang-orang itu berteriak kesakitan
Ngeri luar biasa.
Lebih ngeri lagi mereka semua masih hidup.
Itulah orang-orng yang penuh derita
tiada akhir
mereka menunggu masuk kawah derita abadi.
Sementara aneka ragam mahluk seram dan sadis
bentuknya tak beraturan
bergentayangan
ada yang kepalanya bertanduk tunggal dengan taring tajam
menembus bibirnya sendiri
matanya satu di dahi satu di dagu
ada pula yang lidahnya menjulur menyemburkan cairan beracun.
Dan: Bum!!
Tiba-tiba-tiba beberapa dari mereka telah berada
di belakangku
dekat sekali.
Rupanya mereka mengancam diriku.
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah
Mahluk-mahluk itu berhenti sejenak.
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah
Perlahan para mahluk kejam itu meninggalkanku.
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah
Aku berbalik kembali memandang ke depan
Segalanya kini telah berubah
hamparan pemandangan yang serba indah.
Serasi.
Pohon buah-buahan segar ada dimana-mana
Semua tersedia
Para mahluk berinteraksi dengan kebahagiaan.
Aku menatap lebih jauh lagi
Belum sempat aku bertanya-tanya
Apakah ini potongan surga
Sebuah karpet panjang terpentang di hadapanku.
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah
Perilaku zikir yang telah mendarah daging pada diriku
Kukira telah membuka jalan petunjuk ke arah surga
Aku seperti meloncat ke atas karpet itu
Ada perasaan tentram meliputi diriku
Damai.
Bahagia.
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah.
Laa Ilaaha Illaahu : tiada Tuhan melainkan Allah.
Tidak! Mataku tidak tertutup
Aku masih berzikir
suara azan jelas kudengar di bumi nyata tempat aku bersila
Aku bangkit memenuhi panggilan Sang Maha Kuasa
Sholat berjemaah di mesjid.
Jalan Mawar, Bintaro,
Subuh di Ulang tahun hari perkawinan, 25 April 2019.
(Dikutip dari Kumpulan Puisi Religi “Mata Burung Gagak Gitaris Rock,” karya Wina Armada Sukardi, 2022).
Apakah itu fakta? Kenyataan? Ataukah cuma ilusi dan halusinasi? Hamba serahkan semua jawabanya kepada sidang pembaca yang budiman.
Tabik.*
(Bersambung)
Penulis adalah wartawan dan advokat senior, juga anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase pribadi yang tidak mewakili organisasi.