Oleh Dahlan Iskan
YANG pulang dari mudik ingatlah Sudan. Semacet-macet Anda di jalan raya tidak akan semenderita di Sudan.
Negara miskin ini bertetangga dengan negara miskin semua. Tetangga utaranya, Mesir. Selatannya, Ethiopia. Dulu pernah punya tetangga kaya: Libya. Di barat lautnya. Kini Libya juga dibuat miskin oleh campur tangan asing.
Saya pun tidak pernah memperhatikan Sudan. Kecuali sekarang ini. Itu pun karena ingat masa lalu konsolidasi militer Indonesia setelah perang kemerdekaan.
Dulu kita juga punya problem seperti itu: ketika tentara rakyat pejuang harus digabung dengan tentara resmi. Jiwa pemberontak mereka terus hidup. Ketaatan pada panglima pejuang disertai fanatisme bercampur mistis. Pendidikan kemiliteran mereka juga kurang sistematis. Film Nagabonar memberikan gambaran tepat tentang tentara pejuang itu.
Yang seperti Nagabonar itu terjadi di Sudan sekarang ini.
“Nagabonar”-nya bernama Mohamed Hamdan Dagalo. Pangkatnya jenderal. Umurnya 45 tahunan. Kaya raya. Konglomerat. Murah hati kepada anak buah.
Ketika “Pak Harto” masih berkuasa di Sudan, militer negara itu sangat kuat. Yang jadi Pak Harto adalah Omar al-Bashir. Berpangkat jenderal besar.
Omar berkuasa di Sudan selama 30 tahun. Sejak jadi pejabat presiden tahun 1989. Lalu terpilih sebagai presiden tahun 1993. Dan selalu terpilih kembali. Sampai 2019.
Selama berkuasa Omar memelihara “konflik” antara tentara pejuang dan tentara profesional. Omar tidak tergantung pada satu kekuatan.
Hamdan yang menjadi panglima tentara pejuang diberi pangkat jenderal juga. Setingkat dengan panglima tentara nasionalnya yang resmi: Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Kini Burhan berumur 66 tahun.
Dua jenderal yang beda pasukan ini tiba-tiba bersatu di tahun 2019: kekuasaan diktator Omar harus diakhiri. Omar tersingkir. Lari ke luar negeri. Sampai sekarang tidak diumumkan di negara mana Omar tinggal. Umurnya sudah 79 tahun.
Dua jenderal itu pun sepakat berbagi jabatan. Yang tua jadi ketua Dewan Nasional Sudan. Semacam presiden transisi. Yang muda jadi wakilnya.
Tugas utama pemerintahan transisi itu adalah menyiapkan Sudan menjadi negara demokrasi baru. Mereka pun berhasil menyusun konstitusi Sudan yang baru.
UUD itu ditandatangani di gedung baru yang amat megah: Gedung Persahabatan. Itulah gedung yang dibangun Tiongkok untuk Sudan. Di pinggir laut Merah. Di Port Sudan. Sekitar 200 km dari ibu kota Khartoum.
Lalu datanglah Covid. Itu menjadi alasan masa transisi menuju negara demokrasi terhambat. Bulan madu dua jenderal itu pun berlalu. Mulailah beda pendapat. Lalu konflik. Masing-masing membawa ego pasukan.
Salah satu penyebab konflik adalah penanganan terhadap demo besar di ibu kota. Yakni demo di depan markas besar tentara nasional pimpinan Jenderal Burhan. Itu adalah demo damai menuntut percepatan demokratisasi.
Karena demo berlarut-larut, Jenderal Hamdan mengerahkan pasukan sendiri. Demo ditumpas. Malam-malam. Ratusan orang meninggal. Ada pula isu pemerkosaan.
Pasukan Hamdan memang terlatih memadamkan pemberontakan. Ketika kerusuhan sering terjadi di Sudan Selatan, Jenderal Besar Omar menunjuk Hamdan untuk menghadapi mereka. Bukan panglima tentara nasional, Jenderal Burhan.
Wilayah selatan sendiri akhirnya merdeka di tahun 2011 lalu. Menjadi negara bernama Sudan Selatan. Kebetulan mayoritas di selatan adalah Kristen. Sedang di Sudan utara Islam.
Setelah Sudan Selatan merdeka, pasukan Jenderal Hamdan tidak banyak tugas lagi. Tapi mereka tidak bisa dibubarkan begitu saja. Harus diintegrasikan ke tentara nasional.
Di situlah sulitnya.
Konflik pun meledak secara terbuka: tentara nasional melawan tentara yang akan diintegrasikan.
Masing-masing dipimpin jenderal. Dengan kekuatan sama besar. Pun dengan persenjataan sama-sama lengkap.
Jenderal Besar Omar selama itu ternyata memelihara dua macan. Ia punya cara menunggangi mereka. Hingga bisa jadi berkuasa sangat lama. Tapi setelah macan itu sendiri yang memimpin negara keduanya saling cakar.
Mungkin Tiongkok yang bisa mendamaikan. Atau membiarkan sampai salah satu kalah. Tiongkok adalah pemegang ekonomi utama di sana. Hubungan sejarah kedua negara amat panjang. Sudan termasuk yang pertama-tama mengakui berdirinya Tiongkok komunis.
Proyek-proyek besar di Sudan praktis dibangun oleh Tiongkok. Termasuk tiga dam di hulu sungai Atbara. Dam tersebut bisa menghasilkan listrik sangat besar. Lebih 70 persen kebutuhan listrik Sudan dari dam tersebut.
Sungai Atbara sendiri bermuara di sungai Nil yang lantas melewati Mesir menuju laut Mediterania.
Sudan Selatan sendiri, setelah merdeka, menjadi negara tanpa pantai. Padahal 3/4 tambang minyak Sudan ada di Sudan Selatan. Maka ketika Sudan Selatan merdeka, negara baru itu sulit menjual minyak mentah.
Dulu, minyak mentah itu dikirim pakai pipa ke Port Sudan. Di kota pantai Laut Merah itulah dibangun pabrik penyulingan minyak. Kini pipa dan pabrik itu tetap menjadi milik Sudan.
Produksi minyak Sudan Selatan pun terhenti. Hampir satu tahun.
Akhirnya terjadi kesepakatan: Sudan Selatan membayar tol pipa ke Sudan USD 9 per barel. Kesepakatan itu dicapai berkat turun tangannya Tiongkok. Toh perusahaan minyak di sana juga milik perusahaan Tiongkok.
Sudan 2023 ternyata masih mengalami apa yang terjadi di Indonesia tahun 1945-1955.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia