Rania Lindi

Rania Naura Anindhita Amig. (Foto: Disway)

Oleh Dahlan Iskan

RANIA sedang mendaftarkan hak paten: bagaimana menghilangkan bau sampah tanpa kimia. Sekaligus bisa menetralkan lindi agar tidak lagi menjadi sumber polusi.

Rania masih semester 8 jurusan biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Nama lengkapnyi: Rania Naura Anindhita Amig. Asli Sidoarjo. Alumni SMAN 1 di sana.

Waktu itu Indonesia sudah ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia sepak bola U-20. Salah satu lokasi pertandingannya: stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya. Stadionnya masih baru. Tapi bau busuknya sudah sejak lama: sangat menyengat tubing.

Bau busuk itu sampai masuk ke dalam stadion. Pun baju penonton. Sampai terkontaminasi. Bau busuk itu melekat ke baju. Terbawa pulang.

Stadion itu memang bertetangga dekat dengan pusat pembuangan sampah terbesar di Surabaya: di dekat perbatasan dengan kabupaten Gresik. Benar-benar bertetangga. Hanya bersebelahan pagar.

Juga benar-benar terbesar –sampahnya. Sudah seperti bukit di tengah kawasan tambak. Dari arah jalan tol Surabaya-Gresik yang terlihat gunung sampah itu. Bangunan stadionnya tersembunyi terlindung di baliknya.

Bau busuk itu menjadi topik terpenting apakah Gelora Bung Tomo layak jadi salah satu arena Piala Dunia. Topik lainnya adalah akses menuju stadion itu: jalannya kecil, jauh, berliku, lewat bawah jembatan tol yang rendah dan tergenang, dan mampir dulu wilayah Gresik.

Yang terakhir itu mudah bagi menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Tinggal membangun jalan khusus dari pertengahan tol Surabaya-Gresik langsung ke stadion. Tidak sampai 5 km.

Tapi bau busuk tadi sangat memalukan kelas dunia. Ternyata ditemukan juga jalan keluarnya: formula Rania.

Dia telah menemukan penghilang bau busuk itu. Formula tersebut justru memanfaatkan air sampah yang Anda sudah tahu: sangat pekat dan berbau busuk. Cairan itu disebut air lindi.

Datanglah, sesekali, ke pusat penumpukan sampah. Anda akan melihat dari bawah tumpukan itu akan mengalir air berwarna hitam. Lindi juga sangat beracun. Karena itu lindi jadi sumber polusi yang merusak lingkungan.

Justru air lindi itulah yang diteliti Rania. Air lindi sudah bukan lagi air. Sudah berubah menjadi alkalin. Tidak lagi mengandung oksigen dan karbon. Itulah yang harus diurai. Harus ditemukan bahan pengurainya.

Tentu bahan pengurai tersebut harus yang banyak mengandung sukrosa dan fruktosa. Bahan seperti itu bisa jadi subtrat bagi mikroba yang ada di air lindi.

Itu ilmu kimia biasa. Yang setiap mahasiswa jurusan kimia mempelajarinya. Tapi hanya Rania yang menghubungkan mata kuliah itu dengan persoalan bau sampah yang menjadi keluhan di mana-mana.

Pun di panitia Piala Dunia.

Dari mana Rania dapat ide?

“Inspirasinya dari durian,” ujar Rania.

Anak kedua dari tiga bersaudara ini pernah diajari ayahnyi. Setiap kali selesai makan durian sang ayah minta agar jari Rania dicuci di air yang dituang ke ‘mangkuk’ kulit durian. Sengat bau durian yang menempel di jari pun langsung hilang.

Bau durian dihilangkan dengan getah durian.

Mungkin, pikir Rania, ada sesuatu dari sampah itu sendiri yang bisa dipakai untuk menghilangkan bau sampah. Dia pun mengambil lindi. Membawanya ke lab kimia. Lalu mencari bahan pengurainya.

Ketemulah bahan yang banyak mengandung sukrosa dan fruktosa: tetes tebu. Molase. Yang juga berwarna keruh itu. Yang juga disebut limbah dari proses pembuatan gula pasir.

Rania mencampur lindi dengan molase. Sampai ditemukan formula yang pas. Dia pun tahu seberapa banyak diperlukan molase untuk setiap liter lindi.

Berhasil. Rania lantas memberi nama formula itu: Eco-Lindi. Itulah yang sedang dia patenkan.

Rania belum mengomersialkan Eco-Lindi. Tunggu paten. Kegunaannya sudah diakui di lapangan. Pemkab Sidoarjo sudah menggunakan Eco-Lindi untuk mengatasi bau sampah di sana.

Sidoarjo menjadi yang pertama karena Rania melakukan penelitian di situ. Anggap saja sebagai bentuk terima kasih atas kerja sama penelitiannyi.

Rania akan terus mengembangkan Eco-Lindi menjadi penghilang bau di mana saja: kandang ayam, kandang kambing, dan bau apa pun –kecuali bau badan. Dia juga akan menjadikan Eco-Lindi sebagai pupuk.

Dan yang pasti Rania telah berhasil mengatasi persoalan polusi lindi. Tanpa biaya mengolahnya. Justru memanfaatkannya.

Panitia Piala Dunia di Surabaya juga sudah sempat memanfaatkan Eco-Lindi. Mendekati pelaksanaan Piala Dunia lalu gunung sampah di sebelah stadion itu disiram Eco-Lindi.

Waktu itu Rania menyiapkan banyak Eco-Lindi di TPA Sidoarjo. “Sidoarjo kirim 30.000 liter Eco-Lindi ke Surabaya. Disemprotkan di sana,” ujar Rania.

Setelah Piala Dunia resmi batal, tidak ada lagi pemesanan Eco-Lindi dari Surabaya. Harusnya setiap datang sampah baru disiram dulu dengan Eco-Lindi. Bau busuk pun hilang.

Hari Minggu lalu saya nonton Persebaya di stadion itu. Sekalian melihat stadion Gelora Bung Tomo: apa yang berubah. Saya begitu ingin berada di stadion kelas Piala Dunia.

Jalan baru langsung menuju stadion sudah jadi. Lebar sekali. Mobil saya termasuk yang diizinkan melewatinya. Begitu cepat sampai stadion. Kanan kiri jalan dibuatkan taman –meski kini mulai kurang terawat.

Gunung sampah itu sendiri tetap menggunung. Sudah diberi pagar warna warni. Pagar itu sekaligus pemisah antara tempat parkir dan tempat sampah.

Suasana pertandingannya sendiri bak final piala dunia.

Stadion penuh penonton. Bonek dan Bonita. Spanduk, bendera, umbul-umbul, dan poster memenuhi stadion.

Nyanyi dan tari tidak pernah berhenti. Mereka rupanya membayangkan sedang jadi penonton piala dunia –yang tidak jadi itu.

Saya sendiri membayangkan Rania ada di tengah lapangan bola.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia