Ikhtiar Mencari Solusi Perbedaan Hari Raya (Bagian-1)

Kontributor Majalah Siber J5NEWSROOM.COM, Dhorifi Zumar. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Dhorifi Zumar

PERAYAAN hari raya Idul Adha tahun 2023 ini dipastikan berbeda lagi, seperti hari raya Idul Fitri lalu. Hal ini karena berdasarkan hasil sidang isbat yang digelar Kementerian Agama RI pada 18 Juni 2023 kemarin menetapkan hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1444 H jatuh pada Kamis, 29 Juni 2023. Sedangkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah berdasarkan hasil ijtihad tim Majelis Tarjih dan Tajdid telah menetapkan shalat Idul Adha jatuh pada hari Rabu, 28 Juni 2023.

Perbedaan hari raya terasa terlalu sering terjadi belakangan ini karena dipicu oleh perbedaan kriteria yang dianut oleh masing-masing pihak. Pihak pemerintah saat ini mengikuti kriteria baru MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yaitu imkanur rukyah dianggap memenuhi syarat apabila posisi hilal mencapai ketinggian 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat. Kriteria ini merupakan pembaruan dari kriteria sebelumnya, yakni 2 derajat dengan sudut elongasi 3 derajat yang mendapat masukan dan kritik.

Sementara pihak Muhammadiyah dengan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal menetapkan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut: 1) telah terjadi ijtimak, atau disebut pula konjungsi geosentris, yaitu peristiwa di mana Bumi, Matahari dan Bulan berada di posisi bujur langit yang sama, jika diamati dari Bumi.

Ijtimak terjadi setiap 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu bulan sinodik; 2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam; dan 3) pada saat matahari terbenam, bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Jadi Muhammadiyah tidak terpaku pada ketinggain hilal di atas ufuk, mau 1 derajat atau berapapun kalau sudah terjadi ijtimak maka itu berarti sudah masuk bulan baru. Metode ini dianggap lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan metode rukyatul hilal.

Jamak diketahui umat Islam selama ini, selain bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah secara tidak sadar telah mengikuti perhitungan Hisab, terutama penetapan waktu shalat: Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya, yang telah ditetapkan oleh para ahli ilmu falak. Ada semacam ambiguitas atau ketidakkonsistenan, jika penentuan waktu shalat kita mengikuti hitungan Hisab tapi begitu penetapan awal Ramadhan, Syawal maupun Dzulhijjah mengikuti hasil Rukyat.

Yang lucu lagi, ada sekelompok orang yang selama ini dikenal kontra pemerintah, atau suka mengkritik pemerintah, apapun kebijakan yang dilakukan, karena mengikuti garis kebijakan komunitasnya yang kebetulan beroposisi terhadap pemerintah.

Tapi begitu soal penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah mereka mengikuti versi pemerintah atau berkoalisi dengan pemerintah. Artinya mereka beroposisi semu. Sehingga terkesan adanya ketidak-konsistenan di satu sisi, maka berlaku pameo: “Tidak ada kawan dan lawan sejati, yang ada hanya kepentingan sejati.”

Tidak Patuh Ulil Amri?

Tapi yang jelas, perbedaan hari raya ini sesungguhnya sangat tidak menguntungkan, karena masih saja sering timbul polemik atau debat kusir menyikapi perbedaan tersebut, khususnya di medsos. Kendati para pemimpin di level atas sudah menghimbau agar umat/masyarakat saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada, tapi di level bawah (grassroot) umat masih sulit dikendalikan dan diberikan pemahaman. Tidak hanya di level mereka yang berpendidikan rendah atau menengah, di level pendidikan tinggi saja masih sering salah menyikapi perbedaan itu. Seperti kasus yang terjadi pada staf lembaga riset pemerintah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Negara) beberapa waktu lalu.  

Perbedaan itu ada yang menggoreng dan penggiring opini dengan narasi bahwa pihak yang tidak mengikuti  penetapan pemerintah seolah-olah menjadi pihak yang tidak patuh atau membangkang pada Ulil Amri  (umaro). Yang dipersepsikan bahwa Ulil Amri itu adalah pemerintah atau pemimpin eksekutif. Jadi terjadi stigmatisasi bahwa pihak yang tidak mengikuti ketetapan pemerintah adalah pihak yang tidak patuh pada Ulil Amri. Seraya mereka mengutip ayat suci Al-Qur’an  Surah An-Nisa ayat 59: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.”

Dengan ayat ini dinarasikan seolah-olah Muhammadiyah dan anggotanya tidak patuh kepada Ulil Amri. Mereka menginterpretasikan Ulil Amri itu sebagai pemimpin pemerintahan atau pemegang kekuasaan negara, atau yang dilazim disebut Umaro.

Padahal sejatinya Muhammadiyah tidak menolak kewajiban patuh terhadap Ulil Amri karena perintahnya jelas termaktub di dalam Al-Qur’an. Apalagi tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki andil besar dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain KH Ahmad Dahlan sendiri, proklamator kemerdekaan Indonesia Ir Soekarno (Bung Karno) sekaligus Presiden pertama RI adalah mantan pengurus Muhammadiyah di Bengkulu.

Begitu pula Jenderal Besar Soedirman, penglima angkatan perang (TNI) RI, mantan guru Muhammadiyah; juga dr Soetomo, pendiri Budi Utomo dan pendiri PKU Muhammadiyah Surabaya serta Penasehat Urusan Kesehatan Muhammadiyah;  dan Ir Djuanda Kartawijaya, penyempurna kedaulatan maritim RI, pun tokoh Muhammadiyah.

Berikutnya, Mohamad Roem, wakil Perdana Menteri Indonesia ke-10 dan diplomat dari Muhammadiyah; lalu Ki Bagus Hadikusumo, perumus redaksi sila pertama Pancasila, pun ketua PP Muhammadiyah; juga Kasman Singodimedjo, tokoh kunci tercapainya kesepakatan Dasar Negara, tokoh Muhammadiyah; dan Otto Iskandardinata, pengusul Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, guru HIS Muhammadiyah.

Selanjutnya, Moh Agus Salim, anggota Panitia Sembilan, dan anggota Muhammadiyah zaman KH Ahmad Dahlan; AR Baswedan, anggota BPUPKI, mubaligh Muhammadiyah dan pengasuh koran Mercusuar Muhammadiyah; serta Adam Malik, pendiri LKBN Antara, mantan Wapres dan kader pandu Hizbul Wathan Muhammadiyah; dan lain-lain. Jadi tidak mungkin terbesit niat Muhammadiyah akan membangkang atau membuat makar terhadap pemerintah yang sah di republik ini, karena tokoh-tokoh Muhammadiyah merupakan perumus dan pendiri NKRI.

Satu hal yang harus diperhatikan bahwa perbedaan pendapat sangat mungkin terjadi dalam pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an, tetapi bukan dalam sisi mematuhinya. Artinya Muhammadiyah menganggap Ulil Amri dalam penetapan awal bulan Hijriyah bukan pemerintah yang diwakili Kementerian Agama.

Di antara ahli tafsir (mufassirin) sendiri terjadi perbedaan penafsiran/interpretasi mengenai term “Ulil Amri”. Imam Al-Thabari dalam kitab “Jami al-Bayan” menyatakan bahwa Ulil Amri yang tepat ialah Umara. Begitu pula Imam al-Zamakhsyari dalam kitab “al-Kasyaf” yang dimaksud Ulil Amri adalah Umara’ al-Haq dan Umara’ al-Saraya. Diperkuat kembali oleh Imam al-Syaukani dalam kitab “Fath al-Qadir” bahwa “al-A’immah, al-Salathin”, dan semua orang yang punya wilayah syar‘iyyah, bukan wilayah thagutiyah adalah Ulil Amri.

Sementara itu, sejumlah ulama tafsir menganggap istilah Ulil Amri lebih luas dari sekadar penguasa politik. Imam ar-Razi dalah kitab Mafatih al-Ghayb mengatakan bahwa Ulil Amri adalah “Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi.” Hal ini diperkuat oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam kitab Tafsir al-Manar bahwa Ulil Amri adalah “Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi” yakni kumpulan orang-orang profesional dalam bermacam keahlian di tengah masyarakat. Artinya, semua bidang kehidupan memiliki Ulil Amri-nya masing-masing, seperti panglima perang, ulama, umara, dan lain sebagainya.

Dari kedua pendapat diatas, ulama Muhammadiyah, almarhum Prof. Yunahar Ilyas pada Halaqah Pra Munas Tarjih di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tahun 2013 menganggap pandangan ar-Razi, Abduh, dan Ridha adalah pendapat yang lebih tepat tentang definisi Ulil Amri.

Alhasil, Ulil Amri itu mencakup mulai dari pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan segala perangkat dan wewenangnya yang terbatas. Ulil Amri juga mencakup para ulama, baik perorangan ataupun kelembagaan, seperti lembaga-lembaga fatwa dan semua pemimpin masyarakat dalam bidangnya masing-masing.

Artinya, kalau Muhammadiyah berbeda hasil ijtihadnya dengan hasil ijtihad pihak pemerintah, tidak serta merta bahwa Muhammadiyah tidak patuh terhadap Ulil Amri. Karena toh ternyata perbedaan penentuan hari raya tidak hanya menjadi dominasi Muhammadiyah, dalam catatan sejarahnya NU juga pernah berbeda soal penentuan hari raya dengan versi pemerintah.

Seperti dilansir Republika.co.id, NU pernah berbeda dalam menentukan lebaran Idul Fitri dan Idul Adha dengan pihak pemerintah. Sejak pendirian Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) pada 1984, setidaknya ada empat peristiwa perbedaan penetapan awal bulan hijriah antara NU dan pemerintah.

Pertama, pemerintah dan NU berbeda saat menetapkan lebaran Idul Firi pada 1412 H atau 1992 M. Saat itu, NU menetapkan Idul Fitri pada Sabtu, 4 April 1992. Sedangkan versi pemerintah, Idul Fitri dirayakan pada Ahad, 5 April 1992. Kedua, NU dan pemerintah berbeda saat menetapkan lebaran Idul Fitri pada 1413 H atau 1993 M. Pada tahun itu, NU menetapkan Idul Fitri pada Rabu, 24 Maret 1993. Sedangkan pemerintah menetapkan Idul Fitri pada Kamis, 25 Maret 1993.

Ketiga, perbedaan antara pemerintah dan NU dalam menetapkan lebaran Idul Fitri juga terjadi pada 1414 H atau 1994 M. Kala itu, Idul Fitri versi NU dirayakan pada Ahad, 13 Maret 1994. Sedangkan pemerintah menetapkan Idul Fitri pada Senin, 14 Maret 1994. Keempat, perbedaan antara NU dan pemerintah juga terjadi dalam penetapakan lebaran Idul Adha 1420 H atau 2000 M. Pada masa pemerintahan Gus Dur ini, NU menetapkan Idul Adha pada Jumat, 17 Maret 2000. Sementara, pemerintah menetapkan Idul Adha 1420 H pada Kamis, 16 Maret 2000.

Apakah ketika dulu NU pernah berbeda hari raya dengan pemerintah berarti saat itu NU tidak patuh pada Ulil Amri? Kalau menurut pandangan penulis, tentu tidak, tetapi lebih karena NU menjunjung tinggi hasil ijtihad para ulama dan ahli ilmu falaknya.*

Penulis adalah Kontributor Majalah Siber J5NEWSROOM.COM, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Kalibaru Kota Depok, dan anggota Majelis Pendayagunaan Wakaf PP Muhammadiyah.