J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Para petinggi polisi ASEAN dan sejumlah negara mitra dialog bertemu di Yogyakarta untuk menghadiri Senior Officials Meeting on Transnational Crime (SOMTC). Pertemuan itu menghasilkan draf kesepakatan teknis terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
SOMTC adalah pertemuan para pejabat senior kepolisian di ASEAN dan negara-negara mitra dialog, untuk membicarakan kerja sama pemberantasan dan penegakan hukum dalam kasus kejahatan antar negara. Pertemuan digelar di Yogyakarta sejak Selasa (20/6/2023) hingga Jumat (23/6/2023), guna menyusun draf kesepakatan.
Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut, ada beberapa kejahatan antarnegara yang menjadi perhatian bersama. “Beberapa kasus tersebut antara lain terorisme, kasus narkotika dan utamanya yang saat ini menjadi sorotan dan penekanan adalah masalah kejahatan TPPO,” kata Sigit.
Sigit juga menyinggung, TPPO menjadi tugas khusus dari presiden Jokowi yang juga menjadi bahasan penting dalam KTT ASEAN terakhir. Karena itulah, SOMTC tahun yang merupakan penyelenggaraan ke-23, selaras dengan keketuaan Indonesia di ASEAN. Apa yang menjadi kesepakatan para pimpinan negara, ditindaklanjuti dengan pertemuan para menteri, dan termasuk kepala kepolisian setiap negara ASEAN.
Selain sepuluh negara ASEAN, SOMTC ke-23 juga dihadiri petinggi kepolisian Timor Leste sebagai pengamat (observer). Selain itu, pejabat kepolisian dari China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Kanada, Uni Eropa, Amerika Serikat dan sejumlah negara lain juga datang sebagai mitra dialog.
Pertemuan di Yogyakarta ini akan menghasilkan draft kesepakatan yang akan ditandatangani sepuluh kepala kepolisian negara ASEAN. “Indonesia sendiri akan melaksanakan kegiatan pertemuan para kepala kepolisian, nanti akan dilaksanakan di Labuan Bajo, dan kita juga menjadi keketuaan,” tambah Sigit.
Pertemuan di Labuan Bajo akan digelar pada Agustus mendatang.
Sigit berharap, kepolisian di negara-negara ASEAN bisa menyepakati keputusan-keputusan teknis operasional. Sehingga Deklarasi Bajo yang disiapkan di Yogyakarta ini, menjadi landasan kerja sama lebih erat dalam menghadapi kejahatan antarnegara.
BACA JUGA: Sembilan Kata Jenderal Listyo Sigit Prabowo Membuat Hati Lega
“Sehingga pengejaran para pelaku tindak pidana yang kabur ke luar negeri itu bisa dilakukan penangkapan. Setelah kita bicarakan secara lebih detil terkait kebijakan dan operasionalnya,” jelas Sigit.
Gerak Cepat Polisi
Sejak polisi diberi tugas oleh presiden untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) TPPO, upaya penindakan di seluruh wilayah telah terlihat hasilnya dalam dua pekan terakhir. Hingga 22 Juni, Satgas telah menangani 494 laporan dan membekuk 580 tersangka.
Dalam penjelasan resminya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan menyebut sejumlah modus tindak kejahatan ini. “Terbanyak yakni mengiming-imingi korban bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau Pekerja Rumah Tangga (PRT). Modus ini tercatat ada 375 kasus,” ujar Ramadhan, Jumat (23/6/2023).
Ramadhan memberi contoh sejumlah kasus yang ditangani. Polda Kepulauan Riau menindak penipuan dua korban di bawah umur yang diiming-imingi bekerja di tempat biliar di Malaysia dengan gaji Rp 10 juta per 10 hari. Sementara Polda Sumatera Utara mengamankan PMI yang pulang dari Malaysia tidak sesuai prosedur. Mereka berenang menyeberang sebelum naik perahu motor dan diturunkan di semak-semak pinggir laut ketika sampai.
Polisi juga menyebut, ada modus korban dijadikan Pekerja Seks Komersial (PSK), dengan 132 kasus. TPPO Polda Bengkulu mengamankan pelaku yang sedang mengeksploitasi seksual terhadap anak berumur 14 tahun. Sementara Polda Kalimantan Timur menangkap laki-laki yang mengeksploitasi perempuan sebagai pekerja di tempat hiburan malam.
Modus lainnya adalah mempekerjakan korban sebagai Anak Buah Kapal (ABK) dengan 6 kasus dan eksploitasi anak sebanyak 32 kasus.
“Dari ratusan kasus yang ditangani Satgas TPPO Bareskrim Polri dan Polda jajaran, telah menyelamatkan korban sebanyak 1.671 orang,” tambah Ramadhan.
DPR Minta Satgas Imigrasi
Anggota DPR Hinca Panjaitan meminta imigrasi untuk membentuk Satgas TPPO, sebagaimana presiden dan Kapolri telah membentuknya. Satgas ini harus bekerja melekat di kantor-kantor imigrasi, dimana paspor dibuat. Pemerintah harus berbuat lebih banyak untuk mengatasi TPPO.
“Karena kejahatan yang paling buruk selama manusia ada, dan kita baca sejarah adalah perbudakan ini, atau jual beli manusia ini,” ujar Hinca dalam pertemuan Komisi III DPR dengan Dirjen Imigrasi.
Hinca menambahkan, “Saya menemukan sendiri di Imigrasi Belawan, saya cek data dokumennya palsu semua, keluar paspornya.”
Hinca mendesak Imigrasi untuk tidak sekedar menargetkan pendapatan negara yang tinggi melalui penerbitan paspor. Dalam upaya menekan TPPO, Imigrasi harus memastikan bahwa mereka yang akan pergi ke luar negeri, memenuhi seluruh syarat yang ditetapkan.
“Saya minta, dalam seratus hari ke depan selesai masalah ini,” ujarnya.
Dirjen Imigrasi, Silmy Karim memastikan bahwa langkah-langkah pencegahan sudah dilakukan.
“Kami juga sudah memerintahkan untuk melarang khusus wanita, karena yang menjadi korban eksploitasi 90 persen adalah wanita. Kita larang 17 sampai 45 tahun, tidak jelas profilingnya, tolak,” kata Silmy terkait pembuatan paspor.
Imigrasi juga sedang menyusun apa yang disebut Silmy sebagai list of persons of interest, yaitu daftar orang-orang di luar negeri yang memiliki potensi bahaya. Orang-orang ini akan dimasukkan ke dalam daftar dan dijadikan dasar untuk melakukan penangkalan.
Masalahnya, kata Silmy, upaya cegah dan tangkal di Indonesia sesuai aturan hanya berlaku dua kali enam bulan. Idealnya, seseorang yang berpotensi melakukan kejahatan, bisa dicegah masuk hingga lima atau sepuluh tahun. Imigrasi bahkan menginginkan adanya sebuah undang-undang baru, karena produk hukum yang ada tidak lagi sesuai dengan perkembangan kejahatan masa kini.
Perlu Orientasi Pada Korban
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta mengeluarkan pernyataan bersama terkait langkah pemerintah memberantas TPPO, yang semakin gencar belakangan ini. Penyiapan regulasi dan gugus tugas khusus, patut menerima apresiasi.
Namun, menurut dari Mitra Wacana, hal-hal tersebut masih sangat jauh dari memadai.
“Terlihat jelas dari pendekatan yang digunakan yang selalu berfokus pada pelaku TPPO, tanpa benar-benar berorientasi pada korban. Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah dari akarnya,” papar Muazim.
Muazim adalah project manager program pencegahan TPPO dari lembaga Mitra Wacana, di kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mereka yang mengeluarkan pernyataan bersama ini antara lain Beranda Perempuan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jaringan Buruh Migran Indonesia Hong Kong dan Macau, Mitra Wacana, Interfidei, Migrante International, dan Human Rights Working Group. Ada juga Better Engagement Between East and Southeast Asia (Bebesea), Eks Kulon Progone Hong Kong, Ganas Community Taiwan, Front Perjuangan Rakyat DIY, dan LPAM Mira Kompas Bentala.
Lembaga-lembaga ini meyakini, sejumlah pendekatan yang dilakukan pemerintah seolah-olah hanya untuk terlihat heroik dan membuat masyarakat melihat bahwa pemerintah melakukan tindakan-tindakan tegas.
Padahal, mereka meyakini, aspek pemulihan korban, serta penyikapan atas akar-akar masalah TPPO adalah aspek yang tidak kalah pentingnya, apabila pemerintah benar-benar ingin menghapus praktik TPPO di Indonesia.
“Akar permasalahan yang kami maksud berupa kemiskinan, ketimpangan pembangunan, terbatasnya lapangan pekerjaan, minimnya akses pelayanan kesehatan, pendidikan yang mahal, dan tingginya biaya kebutuhan hidup,” tambah Muazim.
BACA JUGA: Kapolri Gunakan Momentum Pertemuan ASEAN SOMTC di Yogyakarta untuk Berantas TPPO
Meningkatnya jumlah PMI yang bekerja ke luar negeri diyakini merupakan dampak kemiskinan yang meningkat di Indonesia.
Karena itulah, lembaga-lembaga ini meminta pemerintah memenuhi hak pemulihan bagi korban perbudakan modern, TPPO dan sindikat narkoba baik secara hukum, kompensasi, sosial dan emosional. Pemerintah juga harus mewujudkan pelayanan yang ramah, berpihak kepada korban/keluarga dan transparan sebagai upaya menjamin akses keadilan bagi korban/keluarga. Pelibatan organisasi-organisasi akar rumput pekerja migran di luar negeri dan purna migran di dalam negeri serta lembaga-lembaga pembela dalam pembuatan kebijakan migrasi juga dinilai penting.
Selain itu, pemerintah perlu meninjau kembali peraturan-peraturan yang diskriminatif dan eksploitatif terhadap pekerja migran. Mencabut biaya-biaya keberangkatan yang tidak diperlukan dan membebani pekerja migran dan anggota keluarga.
Pemerintah juga didesak menggunakan pendekatan berorientasi korban dalam penanggulangan TPPO, mengurai dan menyelesaikan akar permasalahan di balik TPPO, memenuhi hak atas pemulihan bagi para pekerja migran yang mengalami kekerasan dan korban TPPO, meminimalisir kerentanan pekerja migran terhadap kekerasan di tempat kerja, TPPO dan sindikat narkotika, serta memberikan akses jaminan sosial penuh selama bermigrasi.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah