Oleh Amirul Mukminin
DALAM berbagai kesempatan video-video yang viral masyarakat disuguhkan pernyataan kontroversial Panji Gumilang yang menyimpang dari ajaran Islam. Berbagai penyimpangan tersebut karena cara pandangnya yang merasionalisasikan semua penafsiran ajaran Islam.
Shalat bagi mereka adalah aktivitas dalam rangka mewujudkan negara Islam dengan “mencuci otak” sebanyak-banyaknya rakyat Republik Indonesia untuk hijrah ke NII Al-Zaytun. Haji bagi mereka adalah muktamar perwakilan berbagai daerah untuk rapat paripurna menyusun agenda kenegaraan Islam.
Kisah semua nabi dan rasul dengan musuh-musuh mereka dalam Al-Qur’an dirasionalkan dengan keadaan para petinggi Al-Zaytun yang sejak dahulu hingga saat ini terus mendapatkan tekanan dan serangan dari pemerintah dan rakyat Indonesia yang dianggap jahiliyah.
Semua ajaran Islam yang tidak masuk akal bagi mereka dianggap sebagai amalan yang sia-sia karena tidak memberikan pengaruh langsung dalam kehidupan. Mereka menilai semua itu terjadi karena umat Islam terkungkungnya dalam pemahaman para ulama Ahlussunah wal Jamaah.
Nll Al-Zaytun “memuseumkan” semua pemahaman akidah dan ibadah ulama Ahlussunah wal Jamaah. Mereka telah menuhankan akal yang ditunggangi hawa nafsu di atas wahyu dan hadits. Tafsir mereka berbeda seratus delapan puluh derajat dari ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Mereka berkiblat dengan pola kesombongan dengan berani menolak perintah Allah karena menuhankan akalnya.
Dalam timbangan akidah Ahlussunah wal Jamaah bahwa sekte Muktazillah adalah sekte yang menuhankan akal. Mereka berpendapat bahwa semua dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits jika bertentangan dengan akal, maka yang dimenangkan adalah akal. Karena itu, mereka menggiring semua dalil dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan penafsiran rasionalis-pragmatis.
Inilah sesungguhnya sumber akidah NII Al-Zaytun. Yang para ulama Ahlussunah wal Jamaah menamakannya dengan ilmu kalam. Yakni, orang-orang yang bersandar pada akal dalam menetapkan perkara-perkara akidah dan ibadah. Yang di tengah masyarakat lebih familier dengan sebutan ilmu filsafat.
Sekte Muktazilah dan mereka yang sepaham mengadopsi ilmu filsafat sebagai perangkat pendukung untuk mendalami, memahami dan mengamalkan Islam. Karena berakidah sekte Muktazilah, NII Al-Zaytun tidak mengambil ilmu dari kitab tafsir yang sudah masyhur, hadits dan perkataan ulama Ahlussunah wal Jamaah.
Di samping itu, dalam skala nasional ada sekte lokal yang sejalan dengan akidah Muktazilah dengan nama “Ajaran Isa Bugis” yang telah dilarang sejak tahun 1970 ketika Menteri Agamanya, Buya Hamka. Untuk melanggengkan ajarannya dan mengecoh kaum Muslimin, NII Al-Zaytun mengadopsi Ajaran Isa Bugis dengan mengadakan pengajian secara tertutup dari rumah ke rumah dan tersembunyi guna merekrut jamaah baru agar berhijrah ke NII Al-Zaytun dengan berbaiat dan berkewajiban membayar infak dan lainnya setiap bulan.
Metode pengajian sembunyi-sembunyi tersebut mereka praktikkan sebagai pengejawantahan akidah Muktazilah dengan dasar dalil dari salah satu nama surat, Al-Kahfi (Gua). Gua dalam kisah Ashabul Kahfi mereka artikan tempat-tempat tersembunyi untuk mendoktrin ajaran NII dalam rangka merekrut jamaah baru.
Peran ilmu filsafat dalam akidah sekte Muktazilah meminggirkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits karena menuhankan akal. Terutama dalil-dalil yang terkait alam gaib yang tidak terjangkau akal. Mereka tidak beriman dengan syafaat Rasulullah kepada orang-orang beriman yang berbuat dosa dan perihal adanya nikmat serta azab kubur. Karena itu, tak perlu heran jika makna syafaat dalam perkara dosa di NII Al-Zaytun merasionalkannya dengan tebusan uang bagi anggota jamaahnya yang bermaksiat.
Penuhanan akal dalam akidah Muktazilah mengontaminasi keimanan hingga sampai pada titik nadirnya. Dari menafsiri dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits secara serampangan sampai mempertanyakan eksistensi Tuhan. Tak ayal jika para pendewa akal tersebut terjemus dalam ideologi Komunis sebagaimana pengakuan Panji Gumilang yang lantang lagi viral itu.
Bahkan lebih jauh mereka berupaya melenyapkan agama dengan berbagai makarnya karena agama dianggap sebagai sumber permusuhan dan peperangan. Tidak hanya sampai di situ, sekte Muktazilah juga berakidah Wihdatul Adyan. Yakni, keyakinan semua agama adalah satu, sama dan benar.
Hal ini tampak jelas dari bergabungnya orang non-Muslim dalam shalat di masjid Al-Zaytun. Termasuk salam Yahudi, nyanyian di masjid, dan anjuran untuk para santri mengkaji perjanjian lama dan baru. Penuhanan akal oleh sekte Muktazilah dengan dasar pemikiran yang diambil dari ilmu filsafat merusak keyakinan beragama dari dasar hingga puncaknya.
Atas mereka yang menuhankan akal dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mempunyai nasihat yang indah dengan berkata, “Akal bisa berfungsi jika dia memiliki kekuatan; sebagaimana penglihatan mata hanya bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al-Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.”
Ketahuilah. Syariat Islam tidak menafikan akal, bahkan memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Sangat banyak anjuran berfikir dalam Al-Qur’an, seperti: Tadabbur, tafakkur, dan lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “La’allakum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir); atau “afalaa ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal); atau “afalaa yatadabbaruuna Al-Qur’ana” (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan Al-Qur’an) dan lainnya.
Kesimpulannya adalah dalam akidah Ahlussunah wal Jamaah posisi akal ditempatkan pada apa yang diperintahkan Allah Ta’ala sebagai sang Pencipta. Yakni, akal dapat dijadikan argumen jika sesuai dengan Al-Qur-an dan Al-Hadits; atau tidak bertentangan dengan keduanya. Jika akal bertentangan dengan keduanya, maka akal tidak dapat mencapai kesempurnaan ilmu Allah Ta’ala yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan petunjuk Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yang termaktub di dalam Al-Hadits.
Sehingga akal tidak lagi dapat menjadi argumen dan wajib ditinggalkan serta tunduk kepada keduanya. Tersebab Al-Qur’an adalah firman yang merupakan sebaik-baik perkataan dari semua perkataan yang ada. Sedangkan Al-Hadits shahih adalah sebaik-baik petunjuk dari semua petunjuk yang ada. Keduanya adalah perpaduan nilai dan norma yang merupakan dasar dalam hukum Islam yang bersifat baku.
Penegakkan hukum atas kontroversi di Pondok Pesantren Al-Zaytun adalah agenda “gangguan ketertiban dan keamanan” berskala nasional. Peran penegakan hukum secara objektif, profesional, dan berkeadilan sangat diharapkan. Sebaliknya, mempolitisasi kasus ini adalah pengkhianatan atas amanah rakyat dan mencoreng wajah penegakan hukum Indonesia.
Ingat! Jangan bermain api dalam kasus ini. Jangan karena ingin menyelamatkan segelintir orang, ribuan santri tergadai akidahnya dan termilantansi kebenciannya kepada negara.
Bahkan selepas proses hukum atas siapa yang bersalah, peran pemerintah dalam rangka merehabilitasi para santri dan pekerja di Al-Zaytun jauh lebih kompleks. Mereka secara umum adalah jamaah NII yang loyalis. Peralihan Al-Zaytun sebagai aset pendidikan Islam ke tangan pemerintah akan jauh lebih efektif dalam merekonstruksi kurikulum, pengajar, dan para pekerja di sana.
Wallahu a’lam.
Sumber: Republika
Penulis adalah Mantan Komandan NII KW 9