Yaa, Allah yaa ilahi Rabbi
Kami mengenang di malam ini
Tokoh pembela maruwah negeri
Allahyarham Ongah Tabrani
Melayu sudah ia bangunkan
Riau sudah ia perjuangkan
Sakai dan Bonai ia terbangkan
Upaya bangkit dari kemelaratan
Yaa, Allah yaa Tuhan kami
Ridhakanlah buah tangan O’Ngah Tabrani
Kembang kekalkan anugerah ini
Sebagai bekal akhirat nanti
INILAH lirik syair pembuka Malam Baca Puisi Bersama Mengenang O’Ngah Tabrani, Sabtu malam Ahad lalu (3/9/2022). Disenandungkan ratu syair Siska, diiringi gesekan biola yang sayup-sayup haluk Zuarman Ahmad.
Acara yang dipandu penyair wanita Murpausalian ini dihadiri penyair senior Rida K Liamsi, penyair Pattani Thailand Mahroso Dolloh dan Susiana Tabrani ~ pembina Yayasan Abdurrab yang menaungi Riau Abdurrab Malay Heritage Institute (Ramah). Dimeriahkan berbagai aksi penyair Riau, termasuk aksi kolaborasi lima penyair Riau Kazzaini Ks, Kunni Masrohanti, Bambang Karyawan, Siti Salmah, dan Mosthamir Thalib, membacakan puisi panjang berjudul Artikeliris O’Ngah Tabrani yang dikarang khusus untuk pahlawan hati orang Riau ini.
Penyair senior lainnya ada Husnu Abadi, Aris Abeba dan Tien Marni. Dilengkapi generasi di bawahnya Herman Rante, TM Sum, Eddy Ahmad RM. Ikut memeriahkan pula penyair spesial pelantun musikalisasi puisi Corry Islami dan TM Fauzi.
“Saya berterima kasih kepada sahabat-sahabat ayahanda kami karena begitu besar perhatian terhadap almarhum,” kata Susiana ketika memberikan sambutan sekilas. Susiana menyebutkan, ayahnya memang punya perhatian besar terhadap seni budaya, punya sahabat pata seniman, selalu ‘ngumpul dan berbincang. “Saya ingat betul itu ketika saya masih sekolah SMA.”
Penyair Tien Marni tampil khusus membacakan puisi karya Ongah Tabrani berjudul Kota Tua ~ juga merupakan judul buku antologi puisi Tabrani Rab dan Noor SM,.penyair Malaysia, seraya berkisah tentang ketika dilakukan pergelaran khusus Tabrani Rab bersama Noor SM di Teater Arena Dang Merdu Pekanbaru.
“Waktu itu ingin baca puisi harus minta izin pihak berwenang. Pakai surat. Dan, kita dihalang-halangi untuk tampil. Tidak diberi izin. Tapi dengan upaya susah-payah akhirnya diberi izin juga,” ujar Tien Marni.
Aris Abeba yang tampil pertama lebih banyak berkisah tentang peristiwa-peristiwa kebersamaannya dengan Ongah Tabrani. Sedangkan Husnu Abadi, tertarik dengan ungkapan-ungkapan Tabrani Rab ketika mendeklarasikan Riau Merdeka yang kemudian menjadikan Riau Berdaulat, ketertarikan ini dia jadikan puisi dan dibacakannya pada malam ini.
Mengimbangi penyair-penyair Riau, Mahroso dari Pattani pun ikut membacakan puisi semangat perjuangan, semangat yang diangkat dari perjuangan rakyat Pattani dari penguasa negeri itu.
Rida K Liamsi yang tampil di bagian-bagian akhir acara Mengenang O’Ngah Tabrani ini tetap energik walaupun paling senior dalam soal usia di antara penyair-penyair lainnya.
Rida membacakan puisi yang agak sendu, Kelekatu. Ini petikan akhir puisi Kelekatu yang ditulisnya 15 tahun lalu (2006) ini khusus untuk Tab@Ongah Tabrani : //Ada ketika kita menjadi seperti kelakatu/Menunggu resa angin, menjadi isyarat musim/Memburu cahaya, dan gugur saat gelap tiba/Tapi kita tak tahu Bila/Bila/BILA//
Ini pula puisi lengkap kolaborasi lima penyair Riau.
Puisi : Mosthamir Thalib
i
Yang belum di tangan
: itu angan-angan
Itu, hujah 0’Ngah Tabrani
Satu malam O’Ngah tidur di rumah sempit.
Di bilik yang sempit. Di sebuah kampung yang baru dibangun. Jauh, ~ di pedalaman,
di ujung Sungai Embun, di antara dua bukit.
Bersama Bujang Melajak,
O’Ngah letakkan badan di situ.
Di lantai, kasur dibentangkan.
Di dinding, tali kelambu disangkutkan.
Bilik sempit berlambu pula.
“Jadi Nek Kelambai-lah kite.” O’Ngah terkikik.
“Tidur nyonyak-nyonyaklah, O’Ngah!” Suara tuan rumah.
” Ye, Pak. Ye, Pak.”
“Banyak nyamuk kalau tak berkelambu, O’Ngah.”
” Ye, Pak. Ye, Pak.”
Tinggallah sempak tinggallah sendo.
Teringat lagu Kutang Borendo.
Ehlahyoo…! Kutang borendo
Timpuruong sayak bobulu
Kodang-kodang ati deyen ibo
Tokokonang maso dak oulu
O’Ngah tak biasa tidur berkelambu.
“Biarlah jadi umpan nyamuk. U-uuu..!”
Untunglah masih ada lubang-lubang kecil
di cecelah atap dan dinding, mengirim sejuk
angin. Membawa hawa hutan yang dingin.
*
ii
Malam sudah larut. Pertemuan dengan masyarakat baru saja usai. Pemuka sekampung kumpul semua. Mengadukan nasib mereka; yang sangsai.
O’Ngah diundang. O’Ngah pun datang.
Untuk meredakan sesak dada mereka.
Ini. Orang-orang yang digesa segera pindah.
Beranjak dari dalam lembah. Sebelum bumi
~ kampung tua, warisan pusaka mereka, jadi
kawah dengan debit air melimpah-ruah.
Direlokasilah bersama kawanan gajah.
Gajah-gajah dan kawanan satwa dicarikan
hutan habitat baru. Manusia-manusianya
dibuatkan kampung-kampung baru.
Rimba dibuka belukar pun ditebang.
Rumah-rumah dibangun bersusun-susun.
Tetapi belum siap huni semua; tanah jalan
masih menguning; dinding rumah masih
bertelanjang bata; mereka diharuskan
menempatinya segera.
Waduk pembangkit listrik raksasa siap dikerjakan. Semua harus menyingkir.
Kalau tidak?
Tenggelam.
Ini. Baru satu kampung, masih banyak
kampung lainnya.
Kirimkan kami semen, Ngah, untuk masjid
Kirimkan kami seng, Ngah, untuk atap
Tetek bengek begini pun ngadu ke O’Ngah
*
iii
Ketika minta tanah semua keluar janji manis
Waduk raksasa akan mengubah wajah daerah
Bangkitkan industri sawit sampai kayu lapis
Dijamin, kesejahteraan rakyat pun akan cerah
Usahkan rakyat, Jepang pun tergugah
Matahari terbit pernah sempat muram ~
ingin hentikan curahan duit miliaran;
(Lantaran ramainya berita di media Nihon Keizai Shinbun, waduk akan
membuat kerusakan lingkungan)
akhirnya pun setuju proyek diteruskan. Asalkan; penuhi tiga syarat mereka ajukan :
Itu tadi :
Gajah-gajah dan satwa lainnya, selamatkan
~ carikan habitat yang setara untuk mereka.
Manusia terdampak relokasi, sejahterakan
~ minimal harus sama di tempat yang lama.
Bersikap adil dan merata dalam pemindahan
~ jangan sampai menghilangkan hak warga
Apa di lapangan diselenggarakan rapi ?
Utusan ribuan Koto Torondam mendatangi
Jakarta. Lakukan aksi : rendahnya ganti rugi
Matahari pun menerima aduan “persetujuan pemindahan dilakukan dengan intimidasi.
Di kampung baru segala fasilitas umum
jauh panggang dari api ~ tak suai janji.
Yang begini : tak salah karena kalimatnya;
memang “ganti rugi”.
Jiko dodak katokan dodak
Indak kami titompi-tompi
Jiko indak katokan indak
Indak kami tinanti-nanti
Ehlahyoo…! Kutang borendo..! *)
*
iv
Dedaun masih basah, jalan tanah kuning
masih lembab, ketika O’Ngah dan Bujang
Melajak tinggalkan Kampung Sibuak eks
Muara Mahat.
Selesai ngopi seusai sholat Subuh,
ketika gelap bertukar samar pagi,
langsung tancap gas.
Orang kampung melambaikan tangan.
berharap belas
Keluar dari jalan kampung, tiba simpang
jalan Pekanbaru – Padang, tetiba disergap
banyak bendera merah putih – nyaris pada setiap rumah – berkibar setengah tiang.
Lalu dari rumah ke rumah terdengar lagu :
telah gugur pahlawanku.
Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini pelipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
“Siapa orang besar yang meninggal?”
O’Ngah dan Bujang Melajak ingin tahu, tetapi
O’Ngah terus saja mengemudi Mercedes
benz dengan laju. Menuju Pekanbaru.
Di Rantau Berangin O’Ngah bukan sekadar
dapat kabar angin.
“Ibu negara kita meninggal dunia”.
Bu Tien.
Istri penguasa negara tiga dasawarsa.
Takdir baginya akhirnya tiba juga.
*
v
O’Ngah panti terbang
Bukan Robin Hood
Tapi siapa saja datang
minta asuhan dia sambut
Mulai renta gagah garang
sampai bayi besar berjanggut
O’Ngah bela dan perjuangkan !
Terlebih suku asli, miskin sekali;
terintimidasi di buminya sendiri;
Sakai, tanah yang dicaplok perusahaan
Petalangan, sawit yang ditanam atas kuburan
Akit, kehilangan terubuk oleh limbah industri
Talangmamak, bukit mereka yang digunduli
Duanu, meminta beasiswa pendidikan tinggi
Bonai, yang karam akibat punahnya hutan
Melayu: terkelupas daratan lepas pula lautan
TKI-TKI yang dicampakkan Malaysia
di pesisir Riau, pernah mengadu
pun O’Ngah bantu.
Petani, nelayan, buruh O’Ngah beri suluh
Masih ingat Mr Derry, bule yang dulu
terlunta-lunta, tak tahu tempat dituju?
Tiada siapa-siapa tempat meminta
Kepada O’Ngah juga tempat mengadu
Bukan Derry saja, ada juga Amanda.
Satu duda, satu lagi janda beranak satu.
Tetapi mereka tidak pernah saling bersua. Sama dari Eropa luntang-lantung di Pekabaru
*
vi
Geram. Negeri kaya raya.
Rakyatnya terlunta-lunta
O’Ngah pun ingin merdeka.
Dia kira itu mimpinya saja. Saat kongres
rakyat dibuka sebagian besar rakyat
ternyata punya tekad yang sama :
MERDEKA.. !!
Dari sumber daya kaya tapi melarat
Dari sapi perahan tuyul-tuyul berdasi di pusat
Dari kurasan cecukong berebut jadi konglomerat.
Dari serupa ayam mati di lumbung padi
Lega. Sang penyair Eddieruslan Pe Amanriza
langsung deklarasi dengan puisinya :
“Berpisah juga kita, Jakarta..!”*)
Ternyata merdeka di kertas saja.
O’Ngah !
Kenapa alih-alih merangsek, masuk Otda?
“Yang belum di tangan
: itu angan-angan.”
Itu, hujah O’Ngah Tabrani
Menunggu? Sangat. Terlalu lama.
Dari dalam pusat pula, kita tusuk Jakarta.
Tetapi Jakarta; sudah tebal tembok hasil
rampokannya. Tetap saja sukar menembusnya.
Wow, Jakarta !
*
vii
Di ujung bujangan Bujang Melajak
hari-hari bersama O’Ngah cukup banyak.
Kawankan pergi makan. Pergi ke seminar.
Cerita-cerita di ruang praktek dokternya.
Atau juga sekadar mereguk angin malam sekejab. Selalu saja ada guyonan.
Dengar Bujang Melajak putus tunangan
O’Ngah agak geram, tapi itu lagi, dia
lepaskan dalam guyonan.
Kawinlah engkau
Kalau engkau lekas kawin
lekas pula dapat anak
Dapat dijadikan kawan
Tak suka wanita? Itu soal
lain. Bisa dilepas cari lagi lain.
Takkan sudah tua baru dapat anak.
“Atuk..! Atuk..!” suara anak memanggil ayah.
Hahahaaa
O, betul juga
Sayangnya nasihat ini baru tiba
saat bujang melajak agak menua
Satu hari Bujang Melajak telepas cakap.
“Saya ‘dah dapat bidikan, Ngah. Orang Kubu.”
Baru disebut sekilas soal bidikan, O’Ngah
sudah merasa sok tahu. Hehee eh!
“Aku kenal budak tu. Orang kampung aku.
Biar aku pinangkan. Abah emaknya
kawan aku.”
Tiga hari kemudian alih-alih O’Ngah muncul
di tempat Bujang Melajak kerja. Seketika
melihat Bujang, dia langsung mendekat
seraya ~ lelagi ~ berguyon belaka :
“Jang, aku ‘dah jumpe budak itu. Die tak hendak dengan dikau dee. Kate die, menyemakkan kelambu saje …”
Huhuhuuu .. O’Ngah !
Teteman sekeliling pun terkikik-kikik
~ geli, mendengar O’Ngah punya lagu.
Bujang Melajak? tersisipu mati kutu.
*
viii
hari-hari berlompatan
Bulan-bulan pun berlalu
Tahun-tahun dimakan masa.
Umur bertambah usia berkurang.
Diri-diri semakin menua. Kesempatan bersilaturahmi pun makin jarang-jarang.
O’Ngah sudah jarang di ruang dokternya
di Sudirman. Lebih banyak di universitasnya,
Riau ujung, kalau tidak di rumahnya. Bujang
masih mengunjunginya sesekali walaupun
tidak sekerap biasa lagi.
O’Ngah sudah tidak selincah dulu. Masih
suka bercerita. Itu pun kalau dia terjaga.
Belakangan lebih suka tergolek di sofa.
Sesekali dia terbangun ketika mendengar
ada yang datang ruangan bilik kecilnya.
Terakhir-terakhir Bujang pun tak kuasa
membangunkannya. Badan yang menua
tak boleh diganggu istirehatnya. Biarlah dengkurnya melepaskan semua lelahnya.
Setelah itu, semoga kembali
dengan kesegarannya.
*
ix
Bertahun-tahun badan yang lasak itu
terbaring tak berdaya.
Akhirnya tiba juga takdir itu
: kita pun pasrah menghadapinya
Hanya kepada-Nya : kita berserah
Innalillahi wa inna ilaihirojiuun
Kami terima kasihmu, O’Ngah
Telah menunjukkan cara; menyukuri
anugerah pada bumi; membela marwah
pada diri; menghargai napas tiap denyut nadi.
Kami terima kasihmu, O’Ngah
Bersimpuh kami, tengadah, bermunajad :
“Wahai jiwa yang tenang!
Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang rida dan diridai-Nya.
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku.” *)
(Q.S._ Al-Fajr [89]: 27-30)
Editor: Saibansah