Anees Salim Sosok Penulis Muslim yang Sukses di Cakrawala Sastra India

Salah satu buku karya Anees Salim. (Foto: Ist)

Salim mengenang sebuah peristiwa yang membuatnya sedih, Ia  pernah membeli sebuah buku karya Harold Robbins dan meletakkannya di rak paling.

“Saya menyukai tampilan dan ukuran buku itu. Namun, keesokan paginya buku itu menghilang, dan saya tahu buku-buku seperti itu tidak akan pernah mendapat tempat di perpustakaan kami,” kata Salim yang ketika remaja senang membaca karay-karya VS Naipaul, Graham Greene, George Orwell, Gabriel Garica Marquez, John Updike, Saul Bellow, William Faulkner, dan Christopher Isherwood.

Kesukaannya membaca buku membantu mengasah tulisannya.  Namun, untuk menjadi penulis yang diakui jauh dari mudah.

Salim mendapatkan terobosan pertamanya setelah bertahun-tahun mengalami penolakan. Buku tersebut adalah Tales from a Vending Machine, novel tentang keseharian Hasina Mansoor, gadis berhijab muslimah yang bekerja sebagai asisten vending machine di sebuah bandara.

Salim meramunya dengan sangat memikat. Menggunakan kata ganti orang pertama, novel itu menggambarkan karakter ‘aku’  yang memiliki selera humor dalam kesehariannya, serta ketangguhan untuk mengubah nasibnya yang suram. Untuk mempopulerkan karakter  Hasina Mansoor, Salim sampai membuat akun Facebook dengan nama Hasina Mansoor, yang postingannya bercirikan kecerdasan dan humor protagonisnya.

Semua novel Salim banyak menggunakan setting sosial yang beragam. Dalam Vanity Bagh, mislanya, ia menggambarkan sisi sosial konflik Hindu-Muslim di lingkungan India Utara.

“Saya dibesarkan di Kerala tetapi bepergian ke seluruh negeri untuk melihat tempat dan bertemu orang-orang. Saya menjahit mohalla yang disebut Vanity Bagh dari banyak kota di India yang membuat saya jatuh cinta. Dan ide tentang Vanity Bagh terjadi bertahun-tahun yang lalu ketika seseorang meminta saya untuk pergi dan tinggal di Pakistan. Pernyataan itu tetap melekat pada saya dan perlahan berkembang menjadi sebuah novel,” katanya dalam sebuah wawancara.

Selama menggarap novel itu, menurutnya, ia seperti menemukan India di masa-masa saat umat Islam menjadi sasaran ujian yang suram.

“Bertahun-tahun yang lalu, Pakistan secara teratur dipilih sebagai tempat ‘yang tidak diinginkan’. Itu menyakiti saya melampaui kata-kata. Tapi itu juga membuat saya mengingat kembali kota-kota di mana mohalla tertentu secara terang-terangan atau diam-diam disebut sebagai Little Pakistan. Dan begitulah Vanity Bagh lahir,” katanya.

Selain mengenalkan karakter muslim dan mohall, Salim telah menjelajahi kehidupan di kota-kota kecil.

“Saya merasa lebih mudah untuk menempatkan karakter saya di jalan-jalan yang saya jelajahi sejak kecil, di rumah tempat saya dibesarkan, di tepi laut dan di tebing yang terkenal dengan kampung halaman saya. Semua ini tercermin dalam cerita saya,” katanya.

Semua buku Salim sarat dengan keprihatinan sosial dan politik, tetapi Salim menegaskan bahwa lebih dari politik, ia lebih memilih untuk lebih fokus pada tangisan manusia daripada kebisingan politik.

Salim tinggal di Kochi, sebuah kota pelabuhan di pesisir barat daya India. Meski saat ia adalah penulis yang sukses, ternyata menulis bukanlah pekerjaan utamanya.

Peraih penghargaan Fiksi Terbaik Festival Buku Sastra Bangalore Atta Galatta (Bahasa Inggris) untuk Laut Kota Kecil ini adalah Direktur Kreatif untuk FCB Ulka, perusahaan periklanan multinasional. Menariknya lagi, meski memiliki latar belakang perilanna, Salim menghindari tur promosi dan berbicara di festival sastra.

“Pekerjaan saya sehari-hari sebagai profesional periklanan tidak membentuk atau mempengaruhi karir menulis saya. Bagi saya, mereka adalah aliran kehidupan yang berbeda dan saya tidak ingin satu mempengaruhi yang lain,” kata bijak.

Sumber: RMOL
Editor: Saibansah

2