The Border Watchdog

JALUR SUTERA TERORIS

DALAM pertemuan Konfrensi Tingkat Tinggi ASEAN di Jakarta, Selasa (3/5) lalu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengingatkan para kepala negara ASEAN agar terus meningkatkan kerjasama penanganan tindak kejahatan lintas negara (trans-national crime). Termasuk, penanggulangan terorisme. ”Upaya pemberantasan terorisme itu suatu proses yang terus menerus, sifatnya lintas batas, dan melibatkan antarnegara.” Demikian penggalan paparan Marty.  

Peringatan Menlu Marty itu disampaikan pada momentum yang tepat. Hanya selang 2 hari pasca operasi militer pasukan khusus AS, Navy SEAL’s yang berhasil menewaskan tokoh sentral Al Qaedah, Osama Bin Laden di sebuah mansion di Abbotabad, 60 kilometar dari Ibu kota Pakistan, Islamabad, Ahad (1/5). Pasca operasi militer itu, sejumlah negara yang memiliki investasi maupun kepentingan AS di seluruh dunia, langsung meningkatkan pengamanan sejumlah obyek vital yang mungkin akan diserang oleh sel-sel jaringan teroris Al Qaedah atau pun gerakan radikal lainnya yang terinspirasi oleh perjuangan Osama.

Di Indonesia, Kapolri Jenderal Timur Pradopo juga sudah memerintahkan jajarannya di seluruh Indonesia agar terus memantau dan mengantisipasi situasi pasca tewasnya Osama. Perintah itu juga berlaku bagi aparat kepolisian di wilayah perbatasan, seperti di perairan Selat Malaka, perairan Natuna dan seluruh daerah perbatasan lainnya di Indonesia. Mereka harus memperkuat ”pagar” di laut dan darat kita. Pada saat yang sama, Kepala BIN Jenderal (Purn) Sutanto juga sudah mengingatkan agar semua pihak lebih meningkatkan kewaspadaan pada setiap kemungkinan potensi ancaman dan gangguan keamanan. Peringatan Sutanto itu tentunya juga sudah disampaikan kepada user BIN, Presiden SBY.

Sebagai wilayah perbatasan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) memiliki potensi besar digunakan sebagai ”jalur sutera” sel-sel jaringan teroris dan kejahatan lintas batas lainnya. Dalam satu perbincangan penulis dengan mantan pejuang Afganistan di sebuah masjid di Desa Kabun Sayur, Marina Batam, terungkap bahwa perjalanan warga Indonesia yang ingin berjuang di Afganistan dilakukan dari Batam. Mereka kemudian melintasi laut menuju pelabuhan Stulang Laut, Johor Bahru Malaysia. Dari situ, mereka kemudian menempuh perjalanan darat menuju Filipina. Di sana mereka mempersiapkan diri terlebih dahulu, sebelum terbang ke Pakistan, terus menyeberang ke Afganistan melalui jalan darat.

Testimoni itu seharusnya semakin memparkuat niat kita semua, khususnya aparat komunitas intelijen daerah (Kominda) Kepri, agar lebih memperkuat ”pagar” di laut kita. Apalagi, sebelum tertangkapnya gembong teroris asal Malaysia, Dr. Noordin M. Top, komunitas intelijen di Kepri beberapa kali disibukkan dengan tugas-tugas klandestin untuk mengendus berbagai kegiatan keagamaan. Diantaranya adalah kegiatan Jama’ah Tabligh (JT) di sejumlah tempat. Mulai dari markas JT di Masjid Baiturrahman Sekupang Batam atau pun di masjid Sei Temian Pulau Bintan.

Sebab ketika itu diperoleh info bahwa sel gembong teroris tersebut menyusup di antara ribuan anggota JT yang datang dari sejumlah negara ASEAN dan sedang melakukan kegiatan zuur (pertemuan akbar). Karena, meskipun kegiatan JT bukanlah kelompok sel teroris dan mereka pun juga anti kekerasan, tapi tetap saja rawan untuk disusupi sel taroris. Seperti testimoni  seorang mantan pejuang Afganistan yang diungkapkan kepada penulis beberapa tahun lalu. Dia mengungkapkan, dirinya pernah menjadi target polisi diraja Malaysia dan terancam terkaman undang-undang ISA (International Security Act). Beruntung, pejuang yang anaknya kini sedang menjalani tahanan di Mako Brimob Kelapa Dua Jakarta karena tersandung dugaan kasus terorisme itu, berhasil lolos setelah menyusup diantara rombongan JT yang akan zur meninggalkan negara jiran itu.

Selain itu, tokoh kharismatik kelompok radikal Ustadz Abu Bakar Ba’asyir pun pernah menginap dua hari di sebuah masjid di Batam. Dan melakukan pertemuan-pertemuan dengan para pengikut-pengikutnya serta mantan santri Pondok Pesantren Al Mu’min Ngruki Jawa Tengah yang saat ini banyak bertebaran di Kota Batam.

Maka, sudah saatnya sekarang ini bagi aparat keamanan dan komunitas intelijen untuk lebih memperkuat ”pagar” baik di laut maupun di darat. Sebab, dari pengamatan penulis, masih terdapat cukup banyak titik lemah di laut yang berpotensi dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan. Seperti penyelundupan, traficking, ”kencing solar subsidi”, perompakan kapal sampai perdagangan narkoba. Khusus peredaran narkoba, Batam saat ini sudah menjadi pintu masuk terbesar kedua di Indonesia setelah Bali.

Hal ini membuktikan, bahwa meskipun patroli dari kepolisian dan tentara Indonesia, Singapura dan Malaysia terus dilakukan 24 jam, tapi toh tidak membuat nyali para perompak surut. Apalagi, nyali jeringan sel teroris yang saat ini ditengarai sudah masuk pada gengerasi ketiga di Indonesia. Yaitu, generasi yang bergerak menebar teror bukan hanya berdasarkan doktrin ideologi semata, tapi juga memiliki latar belakang pendidikan akademik yang lumayan bagus. Karenanya, semua peluang dan pintu-pintu masuk sudah mereka pelajari. Bahkan, kemungkinan besar mereka sudah punya data valid lokasi dan titik-titik pelabuhan tikus di ribuan pulau di Provinsi Kepri. Dengan begitu, mereka memiliki peluang yang besar untuk menjadikan perairan Kepri sebagai “jalur sutera” bagi kegiatan radikal mereka.

Maka, untuk mempersempit ruang gerak mereka, sudah saatnya pemerintah dengan dukungan DPR RI yang terhormat itu, mengalokasikan dana lebih besar untuk memperkuat peralatan patroli pengamanan di laut dan radar di perbatasan. Juga, mau menggelontorkan lebih besar dana untuk operasi pengamanan laut dan operasi intelijen lainnya. Selama ini, baru pihak Singapura yang sudah memiliki peralatan radar yang canggih. Mereka mampu membaca nama lambung kapal yang melintasi Selat Singapura dan Selat Malaka. Bahkan, nama lambung pompong (perahu kayu) yang mondar mandir antara Pulau Batam-Pulau Belakang Padang pun mampu mereka teropong dengan baik.

Sebagai beranda terdepan Indonesia, seharusnya pemerintah membuat “pagar” yang kokoh tapi elok dipandang. Sehingga, wilayah perbatasan di perairan Kepri tidak lagi dijadikan “jalur sutera” oleh sel-sel jaringan teroris atau pun kelompok radikal lainnya di Indonesia. *

15