Catatan Perjuangan Masyarakat Pulau Penyalai Menjaga Tanah Tumpah Darah

Kazzaini Ks saat terbaring di Rumah Sakit Awal Bross Pekanbaru usai operasi tulang. (Foto:Ist)

Lalu, Jumat 21 Oktober 2022, Om Kai mengirimi saya lagi, testimoni perjuangannya. Inilah testimoni Om Kai.

Assalamualaikum teman-teman terkasih. Semoga kita senantiasa sehat, sukses, dan lancar menjalankan tugas. Aamiin.

Pada kesempatan ini saya mohon maaf karena akhir-akhir ini tidak bisa begitu aktif menyertai berbagai kegiatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Tetapi saya mengikuti setiap perkembangan yang dikabarkan atau diekspose di grup. Saya turut bersuka cita karena teman-teman cukup aktif dan bergairah menjalankan roda organisasi.

Sebagaimana diketahui, saya mengalami kecelakaan lalu lintas di tol Merak, Banten. Tepatnya di daerah Ciruas. Sekitar pukul 11,20 WIB, Ahad, 18 September 2022.

Kecelakaan itu cukup mengagetkan dan cukup parah. Sungguh tidak pernah terbayangkan. Mobil yang saya kendarai betul-betul hancur. Tidak bisa lagi diperbaiki. Tidak bisa digunakan lagi.

Kami berangkat menggunakan tiga mobil, dengan 18 anggota rombongan. Satu orang anggota rombongan kami, Said Abu Sopian, para aktivis memanggilnya dengan sebutan SAS, meninggal dunia, sekitar pukul 21,20 WIB, Kamis, 22 September 2022, setelah lima hari dirawat di ruang ICU RS Hermina Ciruas. Alhamdulillah, jenazah almarhum dapat kami urus dengan baik.

Setelah dimandikan, dikafani, dan disalatkan di salah satu rumah tokoh Banten yang bersimpati pada perjuangan kami, dan atas bantuan banyak pihak, jenazah diantar ke bandara dan diterbangkan ke Pekanbaru.

Almarhum masih sangat muda, meninggalkan dua anak lelaki yang masih sangat kecil. Yang tertua kelas 2 SD dan yang kecil baru berumur 4 bulan. Bagi orang Penyalai, orang Pulau Mendol, almarhum adalah pahlawan, diyakini sebagai syahid, dan setiap rumah di Penyalai berduka dan mendoakannya. Fotonya dipajang di berbagai sudut Pulau Penyalai.

Pada kecelakaan itu, saya sendiri mengalami patah tulang pada lengan tangan kiri. Berdasarkan ronsen, tulang saya betul-betul patah, sehingga terlepas. Engsel pergelangan tangan kiri saya juga terkucil dan lepas. Tulang jari tengah di atas telapak tangan juga patah.

Dokter di RS Hermina Ciruas menyarankan saya untuk segera operasi. Saya tidak mau. Dokter memarahi saya, karena menurutnya sangat berbahaya kalau terbiar. Tetapi saya tetap tidak mau.

Saat itu yang ada di pikiran saya, jika saya menjalani operasi, maka saya harus diopname. Kalau saya diopname, maka semua agenda yang sudah disusun akan berantakan: Senin jumpa/diskusi dengan beberapa LSM lingkungan, Selasa memenuhi undangan Wamen ATR/BPN, Rabu ke Komisi II DPR RI, Jumat ke KSP.

Akhirnya, saya putuskan mencari dukun patah tulang. Malam itu juga, atas informasi perawat di RS Hermina Ciruas, saya ke tempat dukun patah tulang di daerah Baros, sekitar 10 km dari RS Hermina Ciruas.

Dari rumah sakit saya dibekali obat antibiotik, pereda nyeri, dan saya disuntik bius, karena tangan saya semakin berdenyut perih. Saya juga diminta menandatangani pernyataan karena tidak mau dioperasi.

Di Jakarta kami terus bergerak, dan bolak-balik ke Banten untuk memantau kondisi SAS di ICU RS Hermina Ciruas. Hal itu hampir setiap hari kami lakukan. Secara bergiliran ada anggota yang tetap berjaga di rumah sakit.

Tidak hanya itu, kami ke Banten juga untuk menjalani proses di Polda Banten atas kecelakaan yang terjadi. Alhamdulillah, semua proses berjalan dengan lancar dan baik.

Mobil yang bertabrakan dapat kami keluarkan dan dikirim ke Pekanbaru dengan mobil gendong. Dua mobil lagi pun akhirnya kami pulangkan dengan menggunakan supir sewaan, karena tidak ada di antara anggota rombongan yang bersedia nyetir, karena trauma dan letih.

Mungkin karena terlalu banyak bergerak, tangan saya semakin membengkak dan nyeri berdenyut. Kalau dikeluarkan dari gendongan, terasa sangat berat. Ketika saya cek ulang ke dukun patah tulang di Banten, dia kaget. Katanya, tulang lengan saya bergeser lagi dan berselisih jauh.

Namun kondisi itu, dan apa yang saya rasakan, tidak saya ceritakan ke anggota rombongan. Saya khawatir mereka cemas dan merusak konsentrasi. Lagi pun saya malu, karena yang saya alami belum apa-apa jika dibandingkan yang dialami SAS. Jadi, saya tahan saja rasa sakit itu, sambil berpikir setelah pulang ke Riau nanti baru saya cari penanganan yang lebih baik.

2