Catatan Perjuangan Masyarakat Pulau Penyalai Menjaga Tanah Tumpah Darah

Masyarakat Pulau Penyalai Provisi Riau menggelar aksi demo menolak tanah mereka dikuasai perusahaan sawit. (Foto: Ist)

Oleh sebab itu, setiba di Pekanbaru, Rabu, 28 September 2022 sore, saya langsung melakukan ronsen ulang. Ternyata benar, tulang lengan kiri saya yang patah bergeser dan berselisih jauh. Dua sisi ujung yang patah itu menusuk ke daging. Mungkin itu yang membuat nyeri dan berdenyut.

Malam itu saya langsung ke sinse Aseng. Dia kaget karena tangan saya sudah sangat bengkak dan agak bengkok. Aseng pun kelihatannya menyerah, menyarankan saya secepatnya operasi.

Saya pun akhirnya memilih operasi beberapa hari kemudian. Saya memilih RS Awal Bros Panam, karena dekat dengan rumah saya. Dokter di RS Awal Bros menanyakan mengapa terlambat. Saya katakan, saya takut operasi.

Alhamdulillah operasinya berjalan sukses. Sekarang lengan kiri saya sudah dipasangi pen. Kepada teman-teman seperjuangan, pada unjuk rasa di Kanwil ATR/BPN Senin, 17 Oktober 2022 lalu, saya katakan, saya sekarang bertulang besi, he he he.

Sekarang tangan saya masih diperban, karena masih dalam proses pemulihan, dan masih dalam pengawasan dokter ortopedi. Tetapi setelah ini saya juga harus menjalani terapi di dokter fisioterapi, karena jari-jemari dan pergelangan tangan saya sulit ditekuk dan digerakkan. Menurut dokter, itu karena faktor lambat penanganan.

Kepada teman-teman pengurus dan seluruh anggota PWI, saya mengucapkan terima kasih atas dukungan diberikan selama ini. Perjuangan ini untuk meluruskan yang bengkok, membela masyarakat banyak, dan menyelamatkan pulau yang merupakan amanah yang diberikan Tuhan kepada kita.

Mohon difahami, kami berjuang untuk kampung halaman kami, tempat tumpah darah kami, tempat datuk-nenek kami dikuburkan, tempat anak-cucu generasi penerus masyarakat kami dibesarkan. Perjuangan ini tidak main-main. Kami sanggup berkorban darah dan nyawa. Mohon difahami.

Kepada teman-teman yang memiliki pandangan yang berbeda, saya akan berusaha untuk memaklumi. Yakinlah, persahabatan dan silaturrahim insya Allah akan selalu abadi.

Semoga Tuhan membalas atas setiap kebaikan, dan selalu memberi kita petunjuk ke arah kebaikan.

Demikian testimoni Kazzaini. Tersirat kesan sikapnya yang tegas. Meski tetap menyisipkan rasa humornya. Kini saya bertulang besi…

Kemudian, Kazzaini juga mengirimi saya bagaimana statemennya merespon seorang pejabat di Riau terkait dengan perjuangan ini. Inilah:

Assalamualaikum pak Ramli.

Saya Kazzaini ks.
Saya ingin menjelaskan di sini:

Pulau Mendol itu nama lain dari Pulau Penyalai. Luasnya hanya 30-ribuan. Pulau Gambut. Pulau endapan dari sungai Kampar. Pulau tumbuh karena ada beting di muara sungai. Jadi pulaunya sangat rapuh dengan tingkat abrasi yang tinggi.

Masyarakat pulau kecil ini selama ini hidup tenang dengan berladang padi, nyiur, sagu, dan karet. Dalam kondisi pulau kecil yang rentan begitu, tiba-tiba masyarakat mendapat kabar ada perusahaan yang memperoleh izin menanam sawit 6 ribuan hektare, sekitar 20 persen dari luas pulau.

Bapak sebagai mantan pejabat tentu paham efek dari perkebunan sawit di pulau gambut kecil begitu. Kami orang Penyalai, orang Pulau Mendol. Orang Penyalai tidak anti-investasi. Jangan menganggap kami berpikiran dangkal dan picik.
Silakan berinvestasi, tapi jangan membuat masyarakat Penyalai menderita dan miskin.

Jangan hancurkan pulau kami. Jangan hancurkan lahan kehidupan masyarakat kami.
Kami tak peduli apakah orang pribumi atau bukan, orang Melayu atau bukan, kalau merusak kampung kami, akan kami lawan.

Kami membela hak kami. Di sini datuk-nenek kami dikuburkan. Di sini anak-cucu masyarakat kami berpenghidupan dari generasi ke generasi. Bahwa tuan-tuan juga ingin membela lahan-lahan di tempat lain di Riau yang juga dijarah, silakan.

Tetapi sebaliknya, jika lahan-lahan yang dijarah di tempat lain terkesan tidak mendapat perlawanan, jangan timpakan kesalahan itu kepada kami. Tuan-tuan juga sebenarnya punya tanggung jawab. Jangan pula karena para penjarah bisa semena-mena di tempat lain, maka masyarakat Penyalai harus menerima nasib yang sama.
Apakah itu yang disebut keadilan.

Dalam perjuangan ini, kami sanggup berkorban darah dan nyawa. Itu bukan sekadar slogan, tapi sudah kami buktikan. SAS sudah meninggal dunia. Tangan kiri saya patah. Kami tidak main-main. Tidak ada kompromi. Tak ada tempat bagi HGU sawit PT TUM di Pulau Penyalai.

Semoga tuan-tuan memahami.

Sebagai sahabat sejak kami sama-sama bujang, saya bisa merasakan gelegak amarah dalam darah sahabat saya itu, Om Kai. Gelegak itulah yang menyakinkan saya, perjuangan ini tidak akan berhenti sampai tanah dan masyarakat Pulau Penyalai hidup damai seperti dulu lagi.

Dari Batam, kami Majalah Siber Indonesia, J5NEWSROOM.COM hanya bisa mensupport dan berdoa, semoga ujung perjuangan Om Kai, bahagia. Happy ending. Bahagia untuk semua. Ya semua!

3