‘Terapi Virus Cerdas Berbangsa Bernegara”

Judul Buku : ‘Terapi Virus Cerdas Berbangsa Bernegara”
Penulis : Muchid Albintani
Penerbit : Deepublish, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2022
Tebal : xviii, 206 halaman + indeks

Oleh Saibansah Dardani

Terapi Virus Serakah

SAMPAI saat ini organisasi kesehatan dunia (WHO) belum mencabut status pandemi. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia ‘mematuhi kebijakan’ organisasi kesehatan dunia itu. Beraltar argumentasi patuh terhadap WHO, boleh saja pembaca buku ini bertanya. Pertanyaannya: Apakah WHO mewajibkan (mandatori) vaksin bagi setiap warga negara di seluruh dunia? Bagaimana dengan negeri ini? Apakah pemerintahnya ‘patuh, mematuhi’ organisasi kesehatan dunia itu?  

Walaupun buku ini tidak menjawab pertanyaan itu, paling tidak judul buku,  “Terapi Virus Cerdas Berbangsa Bernegara” memulainya sebagai awal yang kritis plus cerdas. Ini disebabkan pertanyaan sebelumnya ihwal kepatuhan,  bukankah  merupakan reflektif sebuah kekritisan plus kecerdasan?

Selain kercerdasan menjadi unsur utama, buku yang merupakan himpunan tulisan terangkum menjadi satu ini, tidak lebih sebagai “dakwah pengingat” kalau boleh mengklaimnya begitu. Menurut penulisanya, buku ini merupakan bagian hasil proses perenungan ketika memahami realitas respon khalayak khususnya pada era pandemi plus kewajiban akademis sebagai ‘guru di sebuah universitas negeri’. Proses inilah dalam konsepsi dunia akademis merupakan bagian tak terpisahkan melaksanakan salah satu aktivitas tridharma bagi seorang ‘guru’ yang mengajar di perguruan tinggi sekaligus ‘mantan pekerja jurnalistik’.

Naluri wartawan yang juga akademisi selalu menginspirasi rasa kritis, investigatif dan ilmiah. Sandaran tentu saja tesis, antitesis dan sintesis berjalan inheren. Dari sinilah judul ini mengemuka dengan pertanyaan: “Mengapa Terapi Virus?” Apakah agar umat manusia dunia khususnya Indonesia terhindar dari virus tamak dan serakah? Maksudnya, virus tamak serakah? Semoga saja pembaca dapat menjawabnya.

***

Lebih lanjut berpedoman penjelasan terdahulu dengan mengemukanya  pertanyaannya: “Apa benar ada terapi virus?” Penulisnya meyakin jika bersandar judul bukunya terkesan mempertanyakan atau sebuah klaim sebagai ‘temuan baru’? Versi lain juga dapat disebut ‘menyembuh-obati yang terpapar virus’. Jawaban pertanyaan itu secara ringkas sudah ada dalam bagian tulisan buku ini.  Untuk menjawabnya (pertanyaan-pertanyaan sebelumnya), pembaca dapat merujuk ulasan buku ini khususnya pada bagian pertama juga lainnya, bagian dua, tiga, empat dan lima.

Bagian pertama, “Terapi Virus Membangun Kecerdasan Bawah Sadar”. Topik ini berhubung-kait dengan cara pandang orang yang beragam tentang cara memahami keberadaan makhluk tak kasat mata ini alias virus. Oleh karena tak kasat mata, maka  mengemukalah sinyalemen keburukan berbanding kemaslahatannya. Ulasan bagian pertama ini memberikan jastifikasi alternatif cara pandang dalam perspektif hipnoterapi (dalam lanskap kecerdasan bawah sadar).

Bahasan utama “Terapi Virus” mengkait-klindankan antara konsep Terapi dan Virus. Terapi Virus bersandarkan pendekatan hipnoterapi (realitas psikologis) yang berfokus-tumpu pada pikiran bawah sadar. Analogi sederhana pada seseorang “perokok berat”. Pada bungkus rokok tertera dengan jelas, tegas dan pedas, tidak hanya tulisan melainkan juga berupa gambar. Tulisan dan gambarnya dalam dunia hipnoterapi dapat “memprovokasi pikiran bawah sadar” untuk takut. Namun apa yang terjadi?

Bagian kedua mengulas sub tema “Adat Dalam Konstruksi Sosial Kultural Masyarakat”.  Ulasanbuku ini memulainya dengan beragam makna tentang mutasi dan adat. Hubungan keduanya antara mutasi-adat memberikan laluan penting sebagai kata kunci (password) penentu. Laluannya bermakna, tentu saja tidak menutup kemungkinan. Dalam bahasa lain, kata mutasi-adat dapat dimaknai terbuka selebar-lebarnya. Konsep mutasi boleh ditambah atau justru berkurang. Samahalnya dengan konsep adat.

Begitu pentingnya kata mutasi sesuai perkembangan yang tidak hanya pada konteks pengertian administrasi, biologi dan kedokteran. Perumpamaan virus saja selalu disanding-bandingkan dengan istilah mutasi. Pertanyaannya: Bagaimana dengan konsep-kata adat? Apakah terdapat pengecualian? Apakah adat dapat bermutasi?

Pada bagian ketiga, “Pantun Warisan Budaya Milik Dunia”. Pengistiharan melegal-formalkan Pantun adalah wajah dunia. Wajah adalah reduplikasi Pantun sebagai tonggak pengakuan budaya serumpun Malaysia, Indonesia dan negeri Melayu lainnya. Ini bukan dimaknai Pantun tak seindah wajah atau sebaliknya, wajah tak seindah Pantun. Wajah adalah Pantun dan Pantun adalah wajah. Begitulah berulangnya, wajah dan Patun atau Pantun adalah wajah negeri-negeri serumpun. Pun Pantun warisan budaya yang tak lagi milik kita, kami. Pantun milik mereka.

Sedangkan bagian keempat, “Peradaban Menuju Kehancuran”. Ulas-awal bagian ini menginpirasi ihwal benturan peradaban. Dalam satu tulisan pada bagian ini misalnya judulnya, “Peradaban Domino”. Tulisan ini  menolak, tidak sependapat jika peradaban saling berbenturan apalagi menghancurkan.  

Sederhananya kerancuan dan kedistorsian tentang kemajuan teknologi bagian dari peradaban yang merusak-hancurkan misalnya. Berbagai ragam temuan teknologi yang khusus untuk kemaslahatan manusia hampir tidak ada. Itulah sebabnya kemajuan teknologi tidak selalu berjalan linier-simetris dengan peradaban. Yang paling sederhana mau diakui atau tidak, khusus bagi negeri-negeri pemiliki hak veto (privilege discrimination atau afirmatif negatif) pada organisasi terbesar dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada umumnya negeri-negeri ini adalah pemilik senjata nuklir juga penjual (pengeskpor) instrumentasi persenjataan pertahanan-perang. Lalu, benarkah “Peradaban Sedang Menuju Kehancuran? Bagaimana dengan perang Rusia dan Ukraina?  

Pungkasnya bagian kelima, “Menuju Pencerdasan Berbangsa Bernegara”. Bagian buku ini berupaya membahas-puncak sub tema ini melalui salah satu tajuknya, “Hari Pengkhianat”. Tulisan ini mempunyai relevansi esensi terhadap pahlawan manakala adanya sang Pengkhianat. Tanpa Pengkhianat mustahil ada Pahlawan. Simplikasinya “Hari Pengkhianat” merupakan reflektif filosofis memperingati sekaligus menghargai perjuangan seorang Pahlawan. Setuju atau tidak terserah Anda?!

Sebagai ulasan akhir sejatinya buku ini esensinya menjelaskan arti penting kecerdasan dalam kehidupan berbangsa bernegara.  Sikap kritis, cerdas dan beraqal sehat akan selalu menuntun  bangsa ini menuju cita-cita bernegara sesuai konstitusinya.

Judul buku ini berguna sebagai sagang (pondasi, penyanggah) harapan bahwa pandemi keberadaannya wajib dimaknai secara kritis, cerdas, dan beraqal sehat. Dengan kata lain, buku ini melegasi bahwa yang mustahil diterapi sesungguhnya adalah virus serakah dan tamak.

Setuju?