Oleh Dahlan Iskan
SAYA dijemput Saridi. Tiba di Jeddah dari Neom tempo hari. “Boleh berdiri di pinggir jalan?” tanyanya lewat WA.
Saya paham maksudnya. Saridi tidak bisa parkir di pinggir jalan, lalu meninggalkan mobil di situ untuk mencari saya ke dalam terminal bus Jeddah.
Saridi tidak punya ijazah, pun sekolah dasar. Tapi mobilnya sedan Toyota putih 2000 cc masih kinclong. Baju panjang model Arab-nya juga putih disetrika licin. Kopiahnya agak tinggi memahkotai rambutnya yang dicukur rapi.
Ia yang akan membawa saya ke Makkah. Satu jam perjalanan dengan mobilnya. Subuh itu saya pun bisa ngobrol dengan Saridi sambil menahan kantuk.
Saridi asal Bangkalan, Madura. Kini ia tinggal di Jeddah, sejak lebih 10 tahun lalu.
Ia mensyukuri hidupnya dengan rasa syukur yang tidak habis-habisnya. Sebagai anak desa, tidak lulus SD, tidak bisa bahasa Arab, ia kini menjadi pemandu jamaah haji dan umrah yang mumpuni.
Sebenarnya ia hampir saja tamat SD. Saridi keburu diajak orang tuanya merantau ke Jakarta. Ikut kerja apa saja. Pekerjaan pertamanya ikut angkut es batu. Dibayar Rp 500.000 sebulan.
Lalu pindah-pindah kerja. Akhirnya terpikir untuk ke Arab Saudi. Saridi memilih ke Saudi sebagai TKI resmi: sopir pribadi.
Pun ketika tiba di Jeddah ia belum bisa bahasa Arab. Juga hanya punya uang Rp 15.000 di kantongnya. “Saya dijemput taksi di Bandara. Taksi dari calon majikan,” katanya.
Sepanjang perjalanan Saridi hanya diam. Ia menahan haus luar biasa. Hari itu menjelang salat Jumat. Saridi dibawa mampir masjid. Begitu turun di halaman masjid Saridi langsung lari ke tempat wudu. Ia buka kran. Ia minum sepuasnya dari kran itu.
“Saya hidup lagi,” katanya mengenang batinnya saat itu.
Saridi pun tiba di rumah majikan. Tiga lantai. Sepi. Ia dapat kamar di dekat garasi. Ada mobil jenis CR-V di situ. Mobil itu harus ia mandikan setiap hari. Dengan mobil itu ia harus mengantar majikan ke mana saja.
Seminggu di rumah itu Saridi heran: kok tidak pernah diminta mengantar juragan. Mobil itu juga tidak pernah jalan. Tapi ia terus membersihkannya tiap pagi.
Belakangan Saridi tahu juragannya seorang wanita tua. Sendirian. Belum pernah kawin. Tinggal di lantai 2.
Di lantai 3 tinggal seorang TKW asal Yogyakarta. Tapi Saridi tidak pernah bertemu TKW itu, apalagi juragannya.
Ketika datang di rumah itu, Saridi diberi uang 200 riyal. Untuk makan. Dua minggu kemudian uang itu habis. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tapi ia tahu cara berbicara dengan juragannya: pakai intercom.
Maka atas saran temannya sesama TKI asal Madura, Saridi harus berani menghubungi majikan. Agar tidak mati kelaparan. “Bilang saja mafi fulus,” ujar temannya.
Ia pijit tombol intercom. Juragannya menyahut: “Ya… Muhammad…”. Begitulah panggilan kepada laki-laki siapa saja di sana.
“Mafi fulus…” jawab Saridi.
“¢§®©¢¶,” kata majikannya.
“Mafi fulus…” jawab Saridi lagi.
“¶¿¢£©÷§,” kata majikannya lagi.
“Mafi fulus…” jawab Saridi konsisten.
Apa pun kata majikannya jawab Saridi sama. Ia memang tidak tahu apa arti kata-kata majikannya itu.
Akhirnya Sang Majikan memanggil mbak dari Jogja itu: apa maksud Saridi. Pun Saridi bertanya: apa maksud juragannya.
Ternyata sang majikan minta Saridi naik ke lantai atas. Ia diberi lagi uang 200 riyal. Dengan tambahan pesan: harus hemat. Uang itu harus cukup untuk makan sampai menerima gaji nanti.
Sang majikan memang hanya sesekali keluar untuk belanja. Sekali belanja bisa untuk satu minggu. Tapi dia dijemput keluarganyi. “Kelihatannya keluarganyi kaya-kaya,” ujar Saridi mengenang.
Saridi sebenarnya ingin sekali segera mencoba mobil CR-V itu. Tapi selalu terkunci. Sedang kuncinya dibawa juragan dan disimpan di lantai atas.
Lama-lama Saridi berpikir untuk mengisi waktu kosongnya dengan mencari uang. Malam-malam ia jualan air Zam-Zam. Yakni air dari sumber zaman kuno di dekat Kakbah. Sumber air itu mendadak ada ketika istri Nabi Ibrahim yang di Makkah, Hajar, melahirkan bayi Ismail. Tidak ada air. Hajar mondar-mandir dari bukit Sofa ke bukit Marwah. Lalu mendapat air di tengahnya.
Air itu juga memberi rizki Saridi. Bahkan ia kemudian berkembang memiliki jaringan perdagangan air Zam Zam. Setelah kontrak kerjanya berakhir, Saridi lebih fokus ke bisnis. Hidupnya berubah total. Ia terus mensyukuri nasib baiknya di Arab Saudi.
Di bandara Jeddah saya dijemput Madura yang lain lagi: Husein. Asal Sampang. “Saya juga tidak punya ijazah SD,” ujar Husein.
“Tidak pernah sekolah?” tanya saya.
“Tidak,” jawabnya.
“Waktu kecil ke mana saja?” tanya saya.
“Sejak kecil saya mondok. Di pesantren Sampang juga,” jawabnya.
“Berarti pernah di ibtidaiah?”
“Pernah”.
“Pernah di tsanawiyah?”
“Pernah”.
“Pernah di aliyah?”
“Pernah”.
“Jadi, Anda punya ijasah ibtidaiah, tsanawiyah, dan aliyah?”
“Punya”.
Saya pun tertawa keras. Di dalam hati.
Husein anak kembar. Bersama Hasan. Kini Hasan masih kuliah di Sampang. Adik-adiknya juga masih sekolah semua. Ia tujuh bersaudara. “Ayah saya meninggal ketika saya berumur 16 tahun,” katanya.
Menurut Husein ia pun ingin kuliah. Tapi tidak mungkin ibunya membiayai tujuh anak sekolah. Maka ia putuskan untuk mengalah. Ia pergi ke Jakarta. Kerja apa saja.
Di Jakarta, Husein gabung temannya di Gondangdia. Ia ikut tinggal di bawah rel layang stasiun kereta Gondangdia.
Di situ ada gardu listrik. Konstruksi gardu listrik itu beton. Bagian atasnya rata. Di atas gardu listrik itulah ia tinggal. Bisa untuk 6 orang.
Husein ikut orang Sunda jualan telur gulung. Dua minggu kemudian ia sudah bisa membuat telur gulung sendiri. Lalu ia jualan sendiri. Keliling. Pakai sepeda.
Pernah juga Husein ikut jualan bakso di Gambir. Akhirnya jadi TKI resmi di Arab Saudi.
Kini Husein jadi pemandu jamaah haji dan umrah. Tahun depan ia ingin membiayai ibunya datang ke Jeddah. Untuk naik haji ke Makkah.
Saridi dan Husein punya jalan sendiri mengubah nasib mereka. Pun Saridi dan Husein lainnya dari Madura.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia