Oleh Dahlan Iskan
SRI MULYANI kelihatan pilih jalan tenang. Demikian juga seluruh jajaran Kementerian Keuangan. Mereka tidak berniat bantah-membantah data Rp 349 triliun.
Ada Jaga Dara. Mereka kelihatannya memilih untuk merawat Jaga Dara. Itulah nama tim yang dibentuk bersama antara Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, dan PPATK.
“Selama ini komunikasi kami di Jaga Dara sangat lancar. Saling telepon dan saling berkoordinasi,” ujar seorang pejabat tinggi di Kemenkeu.
Hubungan seperti itulah yang akan diteruskan biar pun petir baru saja hong long long.
“Kenapa tim itu diberi nama Jaga Dara?” tanya saya.
Ia tidak tahu. Nama itu justru diusulkan oleh anggota tim dari PPATK. ‘Jaga’, Anda sudah tahu, artinya ‘menjaga’. ‘Dara’, Anda juga sudah tahu: artinya perawan. Jaga Dara berarti menjaga perawan. Huh. Betapa sulitnya. Apalagi di tengah perusuh Disway.
Tapi ‘dara’ juga berarti merpati. Jaga Dara bisa berarti menjaga merpati. Juga tidak mudah. Apalagi kalau yang dijaga itu tergolong yang ‘jinak-jinak merpati’. Jinak, tapi bikin sakit hati.
Ternyata arti Jaga Dara yang sesungguhnya adalah ini: singkatan dari nama tiga nama jalan. Di tiga jalan itulah tiga instansi tersebut berkantor. PPATK di Jalan Juanda, Ditjen Pajak di Jalan Gatot Subroto, dan Ditjen Bea Cukai di Jalan Rawamangun. ‘D’ untuk ‘dara’ rupanya diambil dari unsur kata ‘di Jalan Rawamangun’.
Dari penamaan tim itu saja sebenarnya sudah terbaca semangat kebersamaan dan kerukunan di baliknya: menjaga kesucian perawan yang begitu mulia. Kalau tim itu tidak kompak bisa jadi daranya terluka.
Maka setelah hong long long Rp 349 triliun di Komisi III DPR pekan lalu, kalau pun tim itu tidak bisa juga kompak, mungkin perlu ganti nama. Dari Jaga Dara menjadi Jaga Janda.
Tentu dua instansi di kementerian keuangan tersebut bukan satu-satunya partner PPATK. Instansi penjaga benteng pencucian uang ini juga selalu mengirim hasil monitoringnya ke APH (aparatur penegak hukum). Yakni Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Juga ke KPK. Tapi hanya yang dengan Kemenkeu yang dibentuk tim Jaga Dara.
“Kami anggota tim selalu bertemu. Tempat rapatnya bergantian. Kadang di PPATK, kadang di Ditjen Pajak, kadang di Bea Cukai,” ujar salah seorang anggota tim itu.
Kalau benar komunikasi selama ini lancar kenapa ada petir di Komisi III?
“Saya tidak mau menjawab. Semangat kami tidak ingin menambah kegaduhan. Kami akan selesaikan lewat Jaga Dara,” ujarnya.
Tiga instansi di tim Jaga Dara juga pernah mengalami suka duka bersama. Misalnya ketika ada kecurigaan data transaksi keuangan dari PPATK. Itu tahun 2015. Soal ekspor impor emas. Tim Jaga Dara sepakat untuk menangani kasus itu.
Tim Jaga Dara sepakat cari cara penanganan temuan PPATK saat itu sampai tuntas. Sungguh-sungguh.
Saking seriusnya, tim sampai pada putusan akhir yang bulat: memidanakan pelakunya. PPATK, Pajak, dan Bea Cukai bergandeng tangan membawa pelakunya ke penjara.
Maka sang pelaku dijadikan tersangka. Sampai diajukan ke pengadilan. Sampai berkepanjangan. Hasilnya?
Di pengadilan si pelaku dinyatakan tidak bersalah. Lalu naik banding dan kasasi. Di Mahkamah Agung si pelaku dinyatakan bersalah. Harus masuk penjara. Tapi ia melakukan PK ke Mahkamah Agung. Di Mahkamah Agung, lembaga yang memvonis salah sebelumnya, si pelaku dinyatakan tidak bersalah: PK-nya diterima. Inkracht.
Putusan PK itu final. Berarti Jaga Dara ‘kalah’. PK (Peninjauan Kembali) adalah upaya hukum terakhir, setelah kasasi. Peluang PK ini dibuka untuk jaga-jaga siapa tahu ada putusan kasasi Mahkamah Agung yang benar-benar salah. Misalnya dalam kasus Sengkon dan Karta. Keduanya dijatuhi hukuman mati dalam perkara pembunuhan.
Setelah keduanya menjalani hukuman lebih 10 tahun, ternyata pembunuh sebenarnya ditemukan. Tanpa dibuka kesempatan PK Sengkon dan Karta tidak akan bisa bebas. Sengkon dan Karta menjadi pijakan lahirnya aturan PK.
Berdasar putusan PK, eksporter dan importer emas itu secara hukum tidak bersalah. Tapi catatan di PPATK terus hidup: ada transaksi keuangan mencurigakan (TKM) sebesar Rp 189 triliun.
Transaksi itu benar-benar ada. Segitu. Besar sekali. Dan benar, mencurigakan. Lalu ditangani Jaga Dara. Sampai di pengadilan. Kandas.
Tiga Dara belum menyerah. Dicarilah jalan upaya di luar hukum: periksa sisi pajaknya.
Ditemukanlah, dari transaksi tersebut, kekurangan bayar pajak Rp 20 miliar. Ditagih. Dapat Rp 20 miliar. Kok hanya Rp 20 miliar? Kan transaksinya sampai Rp 189 triliun?
Pajak pendapatan hanya bisa dipungut dari jumlah laba yang diperoleh. Bukan dari omzet. Apalagi dari nilai transaksi. Rp 189 triliun tersebut adalah nilai transaksi. Bukan omzet. Apalagi laba.
Perusuh yang kebetulan pedagang emas pasti tahu: persentase laba emas itu kecil sekali. Antara 0,5 sampai 0,7 persen. Tolong dihitung, berapa labanya seandainya pun Rp 189 triliun itu adalah omzet.
Lalu pajaknya hanya sekian persennya lagi dari laba itu. Jatuhnya sangat jauh dari angka transaksi. Tapi bisa mengejar Rp 20 miliar juga lumayan.
Memang seharusnya Jaga Dara mengejar pajak ekspor/impornya. Agar bisa diambil bagian negara 10 persen dari omzet. Ini baru besar. Dan itu sudah dilakukan Jaga Dara. Sampai masuk ke ranah hukum. Dan ‘kalah’ oleh hakim di tingkat PK.
Bisa saja hakim memang harus membebaskannya. Lihatlah persoalan intinya: mengapa ekspor/impor emas tersebut dibebaskan dari bea masuk atau bea keluar.
Eksporter/importernya merasa memang tidak harus dipungut apa pun. Justru karena ada aturan bebas bea itulah pengusaha tadi melakukan ekspor/impor. Itu sudah sesuai dengan aturan pemerintah: ekspor emas dalam bentuk perhiasan tidak dipungut bea.
Mengapa Jaga Dara ngotot membawa temuan ini ke ranah hukum? Itu karena Jaga Dara berpendapat yang diekspor itu emas batangan. Harus bayar bea. Sebaliknya, pedagang mengatakan emas yang diekspor itu emas perhiasan. Bebas bea.
Rupanya bentuk emas tersebut sudah bukan batangan tapi juga masih sulit untuk dikenal sebagai perhiasan. Maka definisi apa itu emas batangan dan apa itu emas perhiasan menjadi penting di pengadilan.
Emas tersebut memang sudah bukan emas batangan, tapi juga belum bisa disebut perhiasan. Bentuknya sudah gelang, tapi gelang wungkul. Satu gelang bisa seperempat kilogram.
Cara membuat gelang itu pun cukup mekanis: emas dicairkan, dituangkan ke cetakan, jadilah gelang. Dan pengadilan memutuskan itu perhiasan. Bebas bea.
Selesai.
Transaksinya memang mencurigakan. PPATK harus mencatatnya. Tapi pedagang emasnya sudah bebas, bisa melenggang dengan tenang. Tinggal seorang dara seperti Sri Mulyani yang kelimpungan tanpa ada yang menjaga.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia