Oleh Dahlan Iskan
“KARMA”, katanya.
Maka lanjutan serial Safari Ramadan pun kalah dengan artikel ini.
Ia tidak akan lupa Donald Trump. Peristiwanya sendiri sudah berlalu hampir 35 tahun. Waktu itu Trump sudah jadi konglomerat real estate di New York. Ia sudah punya Trump Tower, gedung 58 lantai di Fifth Avenue yang iconic itu.
Dari lantai atas gedung ini Trump bisa melihat keindahan taman luas di bawahnya: Central Park nan hijau. Anda sudah tahu: itulah taman hutan terluas di Manhattan.
Di tengah taman itu terjadi pemerkosaan. Korbannya gadis 28 tahun. Kulit putih. Namanya Trisha Meili.
Kulit putih perlu disebut karena Meili terasosiasi dengan gadis cantik Tionghoa. Kulit putih juga perlu disebut karena opini sudah terbentuk: kalau korbannya kulit putih asosiasi langsung menuju ke kulit hitam sebagai pelakunya.
Sejumlah remaja kulit hitam pun ditangkap. Mereka dari kampung dekat taman.
Sepuluh hari kemudian Donald Trump pasang iklan satu halaman penuh. Di empat koran New York. Isinya: Hukum mati! Kembalikan kekuasaan polisi!
Trump mengeluarkan uang lebih Rp 25 miliar untuk biaya iklan itu (USD 186.000).
Trump begitu simpati kepada Meili. Gadis itu tidak hanya diperkosa. Dia juga dipukuli sampai kepalanya retak. Dia juga diseret ratusan meter. Sampai punggungnya penuh luka kena rerumputan dan bebatuan. Dan dia juga dirampok.
Sempurna sekali kejahatan terhadap Meili.
Dia ditemukan dalam keadaan koma: sudah pukul 01.00 dini hari. Dan Meili tetap koma sampai iklan itu terbit. Begitu berat penganiayaan terhadap gadis Meili.
Ditemukanlah rambut kemaluan laki-laki, sidik jari dan sisa sperma di dalam vagina Meili. Itulah bukti kuat untuk membawa perkara ini ke pengadilan.
Malam itu, pukul 20.30, Meili jogging di Central Park. Di taman ini memang banyak orang berolah raga. Jalan kaki, jogging, bersepeda.
Akhir April adalah bulan yang sangat nyaman di New York. Udara sejuk. Sudah tidak dingin tapi belum panas. Pukul 20.00 juga belum terasa terlalu gelap. Daun-daun di Central Park sudah hijau sempurna. Bunga-bunga berkembang lagi endel-endel-nya. Musim semi sudah membuahkan hasil kesempurnaannya.
Meili jogging di dalamnya.
Malam itu segerombolan remaja juga berlarian di Central Park. Sekitar 20 remaja. Semuanya kulit hitam “kecuali satu keturunan Spanyol. Mereka dari kampung tidak jauh dari Central Park.
Seorang pesepeda dipukul. Terjengkang. Makanannya diambil. Minumannya dirampas: bir. Mereka tertawa-tawa. Usia mereka 14 dan 15 tahun. Pesepeda inilah yang lari dan kemudian melapor ke polisi.
Ketika polisi tiba. Gerombolan remaja itu sudah tidak ada di Central Park. Polisi terus menyisir taman yang begitu luas: 3,5 km2. Di dalam Central Park polisi justru menemukan Meili yang tergeletak. Terkulai. Pingsan. Sampai tiga hari kemudian belum tahu kalau yang pingsan itu bernama Meili.
Peristiwa ini sangat menarik perhatian: Central Park, gadis 28 tahun diperkosa, segerombolan remaja kulit hitam, pingsan belum siuman pun setelah 10 hari, luka-luka di sekujur badan, kepala retak.
Media mem-blow up habis-habisan. Karena melibatkan anak di bawah umur dan pemerkosaan, media membuat istilah sendiri untuk peristiwa itu: Kegilaan Central Park Lima.
Polisi lantas melakukan serangkaian penangkapan. Sekitar 20 remaja diciduk. Akhirnya ditetapkan: lima anak sebagai pelaku Kegilaan Central Park Lima.
Satu di antara lima itu mengaku berumur 16 tahun. Namanya Yusef Salaam. Dengan pengakuan itu Salaam dianggap sudah dewasa. Iapun ditahan di rumah tahanan umum. Sedang lainnya ditahan di tempat pendidikan anak.
Salaam ternyata berumur 15 tahun juga. Mungkin awalnya ia kurang peduli dengan umur. Tapi itu sangat merugikan dirinya. ‘Salaam pernah berbohong’. Ini menjadi salah satu kelemahannya dalam proses sidang berikutnya.
Peristiwa ini tidak hanya dramatis, tapi juga sensitif. Teknologi juga belum begitu maju. Terutama teknologi DNA. Masalah ras, masalah agama, masalah keamanan dan kesenjangan campur jadi satu.
Seorang pendeta gereja ortodok Abisinia membuat pernyataan: setiap kali ada gadis kulit putih yang diperkosa pikiran orang langsung pada pelakunya pasti anak muda kulit hitam. Itulah Amerika.
Pengadilan membuat langkah yang ke arah objektif. Dewan juri untuk perkara ini pun disusun berdasar keseimbangan ras: 4 kulit putih, 4 kulit hitam, 2 keturunan Spanyol, dan 1 orang keturunan Asia.
Penentuan hakimnya juga tidak biasa. Di New York penentuan hakim dibuat sangat adil. Tidak ada istilah ‘perkara A diadili oleh hakim A’. Di sana ‘hakim siapa yang menangani perkara apa’ ditentukan lewat undian.
Bisa jadi hasil undian itu tidak memuaskan publik: misalnya jatuh ke hakim kulit hitam. Atau hakim kulit putih. Maka khusus untuk perkara Central Park Lima ini hakim langsung ditunjuk yang reputasinya sudah diakui oleh publik.
Jaksa membacakan dakwaan. Saksi dihadirkan. Bukti disajikan. Termasuk hasil tes DNA.
Dewan yuri memutuskan lima remaja itu bersalah. Tapi ada yang dinyatakan tidak ikut memerkosa. Hukuman pada mereka antara 5 sampai 7 tahun. Satu orang sampai 12 tahun.
Juri tahu para remaja itu belum pernah perlakukan tindak kriminal apa pun. Mereka juga dari kalangan yang secara ekonomi tidak miskin. Mereka mampu membayar uang jaminan sampai USD 25.000.
Tapi juri percaya pada hasil pemeriksaan DNA. Termasuk soal rambut tadi.
Memang di pemeriksaan polisi yang pertama mereka juga mengaku melakukan perbuatan itu. Pengakuan tersebut lantas diformalkan dalam rekaman. Rekaman itulah yang diperdengarkan ke juri.
Ketika pemeriksaan itu, Salaam, karena sudah 16 tahun, tidak didampingi orang tua. Saat pemeriksaan Salaam didampingi pengacara.
Kepada pengacara inilah Salaam mengaku tidak bersalah. Teman-temannya pun yakin ia tidak bersalah. Mereka hanya merasa mengganggu Meili tapi tidak sejauh yang dituduhkan. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Meili malam itu.
Akhirnya, satu minggu setelah ditangani pengacara, mereka menarik pengakuan. Mereka merasa terintimidasi polisi.
Di pengadilan mereka konsisten mengaku tidak bersalah. Sampai pun ketika hukuman dijatuhkan.
Saat hukuman itu dijatuhkan Salaam membacakan pernyataan dengan gaya membaca puisi. Lantang. Penuh keyakinan. Semua media memuatnya, termasuk sebagai sumber tulisan ini:
“Saya anggap hukuman ini sebagai tes.
Dari Allah, Tuhan kami.
Semua yang saya dan teman-teman katakan adalah kebenaran.
Saya tidak pernah merusak ajaran agama saya dengan berbohong”.
Terhukum lainnya juga membuat pernyataan senada: kelak kebenaran akhirnya akan muncul.
Lalai mereka menjalani hukuman.
Salah seorang dari mereka bertemu narapidana lain yang tidak ada hubungannya dengan Central Park Lima. Namanya: Matias Reyes.
Reyes iba dan terketuk hatinya. Ia memang mengaku bersalah. Telah memerkosa beberapa gadis dan merampoknya. Ia pantas dihukum. Tapi remaja yang ini tidak. Apalagi mereka sampai sudah menjalani hukuman lima tahun. Belum juga menemukan kebenaran.
Mereka sudah berusaha naik banding. Tapi selalu kalah.
Akhirnya Reyes mendatangi petugas. Ia mengaku sebagai yang memerkosa gadis yang lagi jogging di Central Park itu.
Polisi tidak percaya begitu saja. Pemeriksaan ulang dilakukan. Penelitian terhadap rambut dan sperma diulangi. Dengan teknologi baru. Selama enam tahun terakhir kemajuan di bidang teknologi DNA sudah sangat jauh. Zaman itu Amerika belum punya bank DNA. Tapi enam tahun setelah Meili diperkosa, riset DNA sudah sangat maju.
Hasil pemeriksaan terbaru menyatakan positif. Benar. Sperma dan rambut itu milik Reyes. Bukan milik salah satu dari lima sekawan.
Salaam pun dibebaskan. Empat remaja lainnya dibebaskan. Yakni setelah berada di penjara lebih 5 tahun.
Lima orang itu pun, sudah bukan lagi remaja, menggugat Pemda New York. Di Amerika polisi berada di bawah Pemda. Mereka minta ganti rugi, total USD 50 juta.
Di masa wali kota Bloomberg, soal ganti rugi ini seret. Tapi calon wali kota berikutnya, Bill de Blasio menjadikannya bahan kampanye. De Blasio terpilih. Wali kota baru ini memenuhi permintaan Salaam dkk. Nilainya USD 41,3 juta. Masing-masing menerima lebih USD 7 juta. Sekitar Rp 100 miliar.
Mereka kini berumur sekitar 48 tahun. Tiga orang dari mereka kini bergabung dalam satu kantor pengacara. Satu lagi jadi operator alat berat.
Sedang Salaam jadi motivator, pengacara dan pegiat masyarakat. Belakangan Salaam dapat penghargaan tinggi dari Presiden Barack Obama.
Itu karena Salaam membawa pembaharuan dalam pemeriksaan polisi. Salaam bergabung dalam satu gerakan yang memperjuangkan ini: agar pemeriksaan di polisi harus direkam. Sejak awal sampai akhir.
Perjuangan itu berhasil. Sekarang pemeriksaan polisi harus direkam. Bahkan pakai video.
Salaam juga memperjuangkan satu mata anggaran untuk polisi: pelatihan untuk menghindari kesalahan dalam melakukan identifikasi barang bukti.
Gadis jogging itu sendiri, Trisha Meili, siuman setelah 12 hari. Tapi belum bisa berkata dan bergerak. Dia harus menjalani rehabilitasi selama 6 bulan.
Sebelum peristiwa itu Meili bekerja di investment banking. Kini dia bekerja di bagian rehabilitasi pasien trauma di Mount Sinai Hospital.
Meili masih punya sedikit masalah dengan pengembalian ingatan. Tapi buku yang dia tulis laris sekali: Sayalah Si Gadis Jogging Itu.
Meili memang sudah kembali jogging. Kini ditambah yoga.
Sedang Reyes sendiri akhirnya dihukum 33 tahun penjara. Berarti kini sudah bebas. Atau menjelang bebas.
Begitu abadi kisah Central Park Lima ini. Saya juga sangat terpengaruh olehnya. Saya hampir selalu jalan-jalan ke Central Park setiap ke New York setelah itu. Sering pula jadi tour guide amatiran untuk teman-teman manajer saya. Saat itu.
Orang juga masih ingat iklan atraktif yang dipasang Donald Trump. Apalagi orang seperti Salaam. Yang diminta Trump harus dihukum mati. Para ahli media sepakat pengaruh iklan itu begitu kuat di opini masyarakat New York saat itu.
Bakat Trump sebagai provokator ternyata sudah terlihat sejak saat itu.
“Karma,” ujar Salaam.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia