Oleh Dahlan Iskan
KAMI janjian kumpul di masjid Nanjing. Yang di Jalan Ji Zhiao Zhiao Tang. Kemarin sore. Untuk berbuka puasa bersama. ‘Kami’ yang dimaksud adalah sebagian mahasiswa Indonesia yang ada di Nanjing.
Pukul 17.30 kami sudah tiba di depan masjid. Berbuka puasanya masih jam 18.42. Kami pun ngobrol di depan masjid. Sambil menunggu 15 orang mahasiswa tiba semua.
Bangunan ini bukan seperti masjid. Tiga lantai. Tidak ada kubah. Tidak ada tulisan Arab.
Ada alat pemeriksaan barang di lorong masuknya. Lalu ada beberapa orang tua duduk di kursi di lorong itu.
“Assalamu’alaikum,” salam saya pada orang tua bertopi putih itu.
“Waalaikum salam,” jawabnya
Lalu saya ngobrol dalam bahasa Mandarin. Saya perkenalkan rombongan saya itu para mahasiswa asal Indonesia.
Kami dipersilakan masuk. Tapi yang wanita harus mengambil tempat terpisah dari yang laki-laki.
Waktu masih lama. Kami putuskan duduk-duduk dulu di lorong itu.
Di antara mahasiswa itu ada tiga yang Kristen. Krisdahim dari Wamena, Krismond Wang dari Tangerang, dan Veny, mahasiswi Dayak Kenyah dari Malinao, Kalimantan Utara. Satu orang Hindu dari Bali, Sasa. Dua orang lagi Buddha. Lima orang Tionghoa, 10 orang pribumi.
Saya minta maaf pada mereka yang bukan Islam: kok bikin janji di masjid. Mereka justru berterima kasih. Punya pengalaman baru.
Kami pun beruntung. Tak lama kemudian datang seorang muda. Langkahnya bergegas. Sibuk. Ternyata ia dosen salah satu mahasiswa kami itu. Mereka bertegur sapa. Dosen tadi ternyata pengurus masjid.
Maka kami pun diajak keliling masjid. Pak Dosen menjelaskan sejarah masjid yang asalnya masjid tua. Sudah 300 tahun. Ketika masjid itu harus dibongkar, beberapa bagian masjid dibawa ke sini. Termasuk mihrab-nya.
Saya jelaskan bahwa sebagian kami bukan Islam. Apakah boleh ikut masuk. Agar bisa ikut menerima penjelasan. “Ikut semua. Gak masalah,” katanya.
Ruang besar lantai bawah ini penuh meja bundar. Dengan 10 kursi di setiap mejanya. Meja dilapisi plastik tipis pertanda akan ada makanan di atasnya.
Di meja-meja itulah jamaah akan berbuka puasa.
Di sebelah barat bangunan ada halaman terbuka kecil. Ada dua pohon besar. Ada dua meja yang juga dikelilingi kursi.
Kami pilih duduk di halaman itu. Akan berbuka di situ.
Lalu datanglah imam masjid ke halaman itu. Masih muda. Ia pakai semacam jas panjang warna hitam. Di bagian dadanya ada bendera Tiongkok. Mencolok. Rupanya itulah baju resmi imam masjid di Nanjing.
Di kepalanya diigalkan serban. Dengan ekor sepanjang punggung di bagian belakang kepala.
“Assalamu’alaikum,” katanya pada kami. Kami jawab salam itu dengan baik.
“Jadi satu saja,” katanya dalam bahasa Mandarin. “Kumpul satu meja,” tambahnya.
“Tapi kami tadi diminta terpisah antara yang laki dan perempuan,” ujar Ike Erike mahasiswi asal Cibinong, Bogor. Ike, berjilbab, menjabat ketua mahasiswa Indonesia di Nanjing. Ada 150 mahasiswa kita di kota itu.
“Tidak usah terpisah. Boleh jadi satu meja,” ujar sang Imam sambil minta para mahasiswi bergabung di meja mahasiswa.
Sepuluh menit sebelum waktu berbuka, kursi-kursi di seputar meja ruang bawah itu sudah penuh. Lalu Imam tersebut mengajar mereka untuk mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Arab. Agar ditirukan serentak dengan keras.
Misalnya kata Assalamu’alaikum. Diulangi sampai 10 kali. Lalu kata Waalaikum salam. Juga sepuluh kali. Ada lagi kata ashadualla ilaha illallah wa ashhadu. Kalimat itu diulang-ulang oleh para jamaah. Dengan suara keras. Banyak kali. Lalu lanjutan sahadat itu.
Ketika semua hafalan itu diajarkan, beberapa wanita berjilbab mengisi meja dengan kurma. Juga dengan buah stroberi menor-menor. Lalu minuman botol.
Itulah takjil yang bisa dimakan. Kami juga mulai makan di halaman belakang. Tanpa melihat agama kami.
Setelah itu semua naik ke lantai atas. Kecuali di antara kami yang bukan Islam. Saya lihat mulai banyak juga mahasiswa asing yang bergabung. Ada dari India. Bangladesh. Pakistan. Iraq.
Saya sudah terbiasa berjamaah dengan aliran mazhab Hanafi. Juga sudah biasa salat di masjid di berbagai kota di Tiongkok. Selalu ada yang azan di halaman masjid. Tanpa pengeras suara. Saat azan itu berkumandang imam sudah duduk di tempatnya. Demikian juga wakil imam. Sudah duduk baris di belakang imam.
Di Nanjing ini saya lihat ada tiga wakil imam. Dengan igal kepala yang sama. Tapi di antara tiga itu hanya satu yang bajunya persis baju imam. Seperti jas panjang dengan gambar bendera Tiongkok di dada. Di beberapa masjid lain, wakil imam itu sampai 6 orang.
Saya pun sudah biasa: ketika imam selesai membaca Al Fatihah tidak perlu mengucapkan ‘amin’ dengan suara keras dan panjang. Cukup ‘amin’ dengan lirih dan pendek. Saya selalu ingat zaman dulu. Di masjid Beijing. Begitu imam selesai membaca Al Fatihah saya sontak meneriakkan amin’ keras dan panjang. Ternyata saya sendirian melakukan itu.
Salat cara Hanafi simpel. Tangan tidak pernah diangkat. Baik sehabis ruku maupun sehabis tahiyat. Juga tidak pakai wirid bersama. Begitu salam, jamaah bubar. Hanya sebagian kecil yang salat sunnah ba’dal magrib.
Di lantai bawah meja makan sudah penuh makanan. Ada tujuh piring besar. Masing-masing penuh dengan makanan: sayur, daging, telur dadar, mie dan roti.
“Tarawih di sini?” tanya imam.
“Tidak,” jawab kami. “Kami ada urusan lain”.
Kami memang sudah janjian makan malam dengan para mahasiswa itu. Saya serahkan ke mahasiswi mau makan besar di mana. Mereka pilih di restoran Aladin. Sekitar 1,5 km dari masjid.
“Siapa yang pilih resto ini,” tanya saya.
“Sasa,” jawab Ika.
Sasa bijaksana. Ia Hindu. Ia pilihkan resto halal. Itulah resto Xinjiang. Dengan satenya yang besar-besar. Dengan tusuk satenya berupa ranting pohon dari Xinjiang.
Selesai makan barulah mereka minta bisa diskusi dengan saya. Seru juga. Ini kali kedua saya makan bersama mahasiswa kita di Nanjing. Setelah lima tahun tidak ke Nanjing.
Editor: Saibansah