JUMAT buka puasa di kereta cepat menuju Shanghai.
Sabtu buka puasa dengan ikan unik di Yangzhong.
Minggu buka puasa di masjid Nanjing, dengan para mahasiswa dari Indonesia.
Beberapa hari sebelumnya buka puasa di Wuhan.
Sudah dekat Lebaran masih di Tiongkok. Maka duta besar Indonesia di Beijing pun mengundang saya: untuk berlebaran bersama masyarakat Indonesia di kedutaan.
Tentu saya masih berusaha pulang. Agar tidak berpotensi jadi Bang Toyib. “Kalau begitu bisakah Selasa besok berbuka puasa di Kedubes,” ujar Pak Dubes Djauhari Oratmangun.
Saya minta maaf. Selasa kemarin itu saya sudah ada janji: berbuka puasa dengan para mahasiswa di Tsinghua University. Di Beijing. Saya bangga banyak anak Indonesia bisa kuliah di universitas terbaik Tiongkok ini. Banyak orang menyejajarkan Tsinghua dengan MIT-nya Amerika.
“Selasa tidak bisa. Kalau hari ini saya bisa,” jawab saya.
“Hari ini saya masih di Shanghai,” ujar Pak Dubes.
Saya tahu pak Djauhari ini aktif sekali. Kinerjanya dipuji banyak orang. Ia juga bangga bahwa pengusaha Indonesia kini sudah memproduksi tempe di Shanghai.
“Kalau begitu, biar didampingi Pak wakil duta besar,” ujar Pak Djauhari.
Kebetulan Senin siang itu saya lagi dalam perjalanan dari Nanjing ke Beijing. Saya perkirakan pukul 13.30 sudah bisa tiba di Beijing. Dengan kereta cepat, jarak Nanjing-Beijing yang 1.200 km bisa ditempuh dalam 3,5 jam. Untuk jarak sejauh itu keretanya hanya berhenti satu kali: di Jinan, ibu kota provinsi Shandong. Kecepatannya 350 km/jam.
Maka saya anggukkan untuk ke Kedubes di jam berbuka puasa.
Beijing sudah kembali macet. Pekan lalu aturan pakai masker masih berlaku di kereta bawah tanahnya. Padahal di Shanghai, seperti ketika saya naik dari Hongjiao ke hotel saya di Xin Tian Di, sudah banyak yang lepas masker.
Senin kemarin Beijing juga berubah. Ketika saya kembali dari Nanjing itu, aturan wajib masker sudah dicabut. Hanya saja, saya lihat, baru 20 persen yang ‘berani’ lepas masker. Padahal tidak ditegur lagi oleh petugas.
Saya pun tidak pakai masker. Lalu saya duduk di satu kursi kosong. Kanan kiri saya masih pakai masker.
Begitu saya duduk, yang sebelah kanan saya berdiri. Pilih berdiri daripada di sebelah saya. Saya tahu diri. Maka saya ambil masker. Dan saya pakai. Saya ingin menjaga perasaan penumpang sebelah saya. Maka yang mendadak berdiri itu duduk kembali di sebelah saya.
Khusus untuk buka puasa di Kedubes ini saya pakai mobil. Muncul perasaan takut kena macet saat melewati kawasan CCTV. Selalu macet di situ. Hari apa saja. Jam berapa saja. Maka saya berangkat satu jam sebelum jadwal.
Ternyata saya harus minta maaf karena tiba setengah jam lebih awal dari janji. Maksud saya agar penjaga pintu di depan diberi info sehingga mobil bisa masuk.
Ternyata pak Wakil Dubes Dino R. Kusnadi sudah di teras. Bersama Raden Fitri Saptaji, atase imigrasi. Juga beberapa staf Kedubes. Saya lihat ada gamelan Jawa di lobi ini. Juga seperangkat angklung Sunda. Di ruang berikutnya khusus untuk display produk-produk unggulan Indonesia: ada berbagai macam kopi, sarang burung, kerajinan, dan tentu batik.
Ruang-ruang di Kedubes ini terlihat lebih bersih dan tertata. Kelihatannya baru selesai direnovasi.
Kami pun punya waktu lebih setengah jam untuk ngobrol. Saya tertarik pada sarang burung. Pemerintahan Jokowi saya anggap berhasil menerobos barikade larangan impor sarang burung dari Indonesia. Kini sudah ada 36 eksporter yang bisa kirim langsung ke Tiongkok.
Anda sudah tahu: sarang burung Indonesia kena blacklist. Lama sekali. Salah kita sendiri. Pedagang kita rakus. Untuk membuat sarang burung berwarna putih-bening digunakan kimia yang dilarang.
Begitu tidak bisa masuk Tiongkok, harga pun nyungsep. Pedagang yang baik ikut jadi korban kerakusan itu. Mereka terpaksa ekspor lewat Malaysia. Diakui sebagai produk Malaysia.
Perjuangan memasukkan sarang burung kembali ke Tiongkok memakan waktu lebih dari 10 tahun. Sebenarnya tahun 2013 Presiden SBY sudah berhasil menyepakati protokol baru dengan Perdana Menteri Wen Jiaobao. Tapi pelaksanaannya perlu banyak terobosan.
Akhirnya berhasil juga. Awalnya hanya 12 pedagang yang dapat izin. Lalu bikin kecemburuan. Ratusan produsen sarang burung merasa dianaktirikan. Lalu membentuk asosiasi tandingan.
Memang tidak mudah mengembalikan nama yang telanjur rusak. Tapi proses penambahan kuota terus dilakukan. Jadi 16. Naik lagi jadi 24. Saya pun kaget-kaget-senang ketika kini sudah jadi 36.
Tentu masih banyak lagi yang antre untuk bersedia diteliti: apakah proses produksinya sudah sesuai dengan aturan bahan mentah makanan. Saya pernah membahas di podcast yang ada di bawah ini.
“Sebenarnya kalau yang kita ekspor itu sarang burung yang sudah jadi makanan tidak perlu banyak prosedur,” ujar Wadubes Dino.
Penjelasan Dino ini penting. Siapa tahu bisa menginspirasi para produsen sarang burung kita untuk mulai melangkah ke produksi makanan/minuman. Lalu kita bisa ekspor bahan jadi.
Dino sudah tiga tahun di Beijing. Berarti ia belum pernah tahu bagaimana Beijing dalam keadaan normal. Saat ia mulai bertugas Beijing sudah dalam keadaan darurat Covid-19. Sebelum itu Dino adalah direktur Eropa 1 di Kemenlu. Sebelumnya lagi bertugas di London dan Paris.
Dino lahir di Bandung tapi SMA-nya di Belanda. Lalu mencoba kuliah di Jerman –sesuai harapan orang tua. Sudah dua tahun di Achem. Tapi ia lihat banyak temannya yang belum lulus pun setelah 8 tahun kuliah. Bukan tidak pintar tapi karena di sana, waktu itu, paket ujiannya beda: tidak lulus satu mata kuliah dianggap tidak lulus semua. Harus mengulangi semua.
Maka ia pilih banting stir: ke Universitas Parahyangan, Bandung. Ambil hubungan internasional. Toh bahasa Inggris, Belanda dan Jermannya sudah lebih dari lulus.
Tiba waktu buka puasa kami pindah gedung. Menyeberangi tempat parkir. Di bangunan itulah musala Kedubes. Di lantai dua. Kami berbuka di situ.
Salat maghribnya diimami anak muda, kurus, bercelana jean, berkaus pendek dan berambut panjang. Saya lupa menanyakan siapa ia. Saya keburu ditarik untuk ke tempat makan.
Bu Djauhari sudah ada di meja makan itu. Juga pak Dino. Makanannya enak. Ada mie sayur, sup jagung-sosis, kerupuk udang, sambal, dan daging sate kambing ala Xinjiang.
“Semua acara ini diurus oleh mahasiswa Indonesia yang ada di Beijing. Termasuk makanan ini. Kami hanya menyediakan tempat,” ujar Dino.
Makanya saya lihat banyak mahasiswa di acara ini. Ada empat orang dari Tsinghua University. Ada lima orang dari Beihang –universitas terkemuka untuk ilmu penerbangan. Dan saya diminta mengisi acara dialog di situ.
Acara buka bersama berlangsung tiap hari di Kedubes kita di Beijing. Para mahasiswa itu juga sudah menyiapkan acara untuk Lebaran nanti.
Saya pernah berlebaran di Kedubes ini. Dulu. Pesta ketupat. Tentu kali ini akan meriah. Sudah tiga tahun tidak Lebaran akibat Covid.
Sambil berbuka saya perhatikan Bu Dubes. Saya heran. Kok pembawaan Bu Djauhari ini halus sekali dan sangat rendah hati. Bukankah dia orang Indonesia yang sudah lama jadi orang internasional?
Ternyata Bu Djauhari orang Kebumen. Di pegunungannya pula. Suaminyi-lah yang kelahiran kepulauan Tanimbar, nun jauh di Maluku sangat selatan. Di kota Saumlaki. Sudah lebih dekat ke Darwin daripada ke Ambon sekali pun. Tentu saya tahu seperti apa Saumlaki. Pernah ke sana. Urusan listrik yang dulu gawat di sana.
Saat Pak Djauhari kuliah di UGM, Bu Djauhari kuliah di IKIP Yogyakarta. Maka gadis di gunung dan perjaka di laut bertemu di Yogyakarta.
Sudah lima tahun Djauhari Oratmangun menjadi dubes di Beijing. Hubungan yang begitu baik Indonesia-Tiongkok sekarang ini tentu salah satu hasil kerjanya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia