Oleh Dahlan Iskan
SIAPA pembongkar awal urusan BTS Rp 8 triliun? “Ada seorang pelapor. Orang itu kirim laporan ke Kejaksaan Agung,” ujar Iskandar Sitorus. “Ini kemarahan sesama markus,” tambahnya.
Iskandar Sitorus adalah sekretaris pendiri LSM Indonesian Audit Watch (IAW). Inilah LSM yang mengkritisi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), BPKP (Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan), kantor akuntan publik dan lembaga yang mengumpulkan dana masyarakat. LSM ini juga membuat opini yang membanding-bandingkan hasil audit.
Dalam hal proyek BTS, IAW mencermati hasil audit BPK dan BPKP. Lalu membandingkannya. “Tahun 2021 sudah ada hasil pemeriksaan BPK. Terjadi pemborosan Rp 2 triliun,” ujar Sitorus. “Hasil pemeriksaan BPKP tahun 2023 menyebut terjadi kerugian uang negara Rp 8 triliun,” katanya. “Ini semi dagelan,” tambahnya.
Di mana dagelannya? “Hasil audit BPK harusnya menyatakan kerugian negara. Bukan pemborosan. BPKP yang seharusnya hanya pengawasan malah menyebut ada kerugian,” katanya.
Sitorus adalah Batak kelahiran Palembang. Ayahnya letnan kolonel TNI-AD yang dinas di Sumsel. Sekolah SD-nya di Palembang, SMP di Medan, dan SMA di Jakarta. Lalu masuk Universitas Kristen Indonesia (UKI) jurusan hukum. Skripsinya tentang hukum jaminan kesehatan.
Iskandar tampil di podcast-nya Akbar Faisal tiga hari lalu. Bersama Irma Hutabarat. Wanita aktivis ini adalah juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Keduanya sangat kritis dalam menyorot kasus BTS di podcast itu.
Podcast Akbar termasuk yang populer di bidang politik: Uncensored. Apa yang diucapkan narasumber tidak ada yang diedit. Beberapa podcast Akbar sampai ditonton 3,5 juta orang. Ini prestasi besar untuk sebuah podcast dengan tema yang serius.
Rasanya Akbar lebih bebas berkiprah di podcast daripada waktu jadi anggota DPR. Kini ia bisa bersikap bebas karena tidak tersandera masa lalu.
Waktu jadi anggota DPR Akbar terkenal vokal. Ia yang jadi pelopor pembentukan pansus (panitia khusus) Bank Century. Yakni soal bailout Rp 6,7 triliun kepada bank itu. Terkait dengan krisis moneter tahun 2008 di zaman pemerintahan Pak SBY.
Waktu itu Akbar menjadi anggota DPR dari Partai Hanura. Dapilnya Sulawesi Selatan: Parepare dan sekitarnya. Namanya menjadi sangat populer. Dipastikan ia akan dengan mudah terpilih kembali.
Maka Nasdem mengincarnya. Jadilah Akbar anggota DPR dari Partai Nasdem.
Sebagai mantan wartawan (ia selalu menyebut hasil didikan seseorang yang tidak perlu saya tulis di sini), Akbar tidak bisa mengkhianati nurani. Ia tahu fungsi seorang wakil rakyat.
Lihatlah podcast dengan Sitorus dan Irma itu: dimulai oleh Akbar dengan membacakan petisinya. Yakni lima cuitan kritis yang ia unggah di Twitter. Yang pertama berisi gugatannya pada para anggota DPR. “Mengapa tidak satu pun dari 575 anggota DPR yang bersuara soal kasus BTS? Anda ini sebenarnya mewakili siapa? Bagaimana bisa Anda berkeinginan untuk dipilih lagi?” katanya.
Akbar lantas seperti geram: wahai anggota DPR, marahlah kalian, seperti kalian marah ketika ada hal-hal yang receh terjadi. Ini soal Rp 8 triliun, kenapa hanya satu partai yang bersuara? Yakni partai kecil PSI yang sering kalian hina?
Akbar hanya satu periode bersama Nasdem. Di Pemilu berikutnya ia merasa seperti menjadi orang yang tidak dikehendaki oleh partai. Ia memang masih dipasang di daftar calon anggota DPR. Dapilnya masih sama. Pun nomor urutnya masih nomor satu. “Tapi saya dipepet oleh dua istri bupati di dapil saya,” katanya. “Itulah cara elegan untuk menyingkirkan saya dari DPR,” tambahnya.
Tidak lagi jadi anggota DPR nama Akbar tetap populer. Rasanya justru kian populer. Ia akan bisa kembali ke DPR. Kapan saja. Kalau ada partai yang mau. Atau, kalau ia juga mau.
Akbar memilih tidak mau jadi calon di Pemilu depan ini. Kini Akbar lagi membimbing lebih 100 politisi muda dari salah satu partai. Ia belum mau menyebut dari partai apa. Ia menjadi guru semacam sekolah politik. Pakai kurikulum. Mungkin seperti yang dilakukan Ahok –mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Bedanya sekolah politik milik Ahok menerima calon dari partai apa saja.
Yang dididik Akbar ini umumnya anak muda yang akan jadi calon anggota DPR/DPRD. Ada juga yang hanya ingin jadi aktivis di partai politik. Begitu Pemilu selesai sekolah ini berakhir.
Dari podcast-nya tentang BTS di Kemenkominfo itu terlihat bagaimana Akbar gemes pada kasus BTS. Sitorus mengimbangi dengan keterangannya yang membuat penasaran: soal hilangnya nama-nama orang yang terkait. Bahkan ada nama yang hilang bersama orangnya sekaligus.
Sitorus sempat melakukan riset serius soal jaminan kesehatan pada masyarakat. Selama dua tahun. Ia lakukan itu di Melbourne, Australia. Waktu itu, di Indonesia, jaminan kesehatan belum ada. Sifatnya masih belas kasihan. Ia terus berjuang. Agar belas kasihan itu jadi kewajiban.
“Setelah BPJS terbentuk barulah saya meninggalkan LSM bidang kesehatan. Lalu beralih ke LSM Audit Watch ini,” ujarnya.
Tanpa disangka, Sitorus, secara pribadi, menikmati hasil perjuangannya di jaminan kesehatan itu. “Belakangan istri saya terkena kanker. Istri saya bisa terus melakukan kemo yang biayanya ditanggung BPJS,” ujarnya. “Kanker kandungan,” jawabnya.
Sang istri pegawai negeri. Sakit kanker pula. Bidang pekerjaan sang suami pun bukan yang bisa membuatnya orang berpunya. “Yang penting saya masih bisa makan,” katanya.
Sitorus melihat angka-angka triliunan berseliweran di pekerjaannya.
Itu bukan dengan harapan untuk dapat kecipratan.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia