Oleh Dahlan Iskan
KEMARIN ada debat akademis. Topiknya sensitif. Khususnya untuk kalangan Islam. Lebih khusus lagi untuk kalangan habib dan ahli sunah.
Acara debat berlangsung tiga jam. Dari jam 09.00 sampai waktu salat Duhur.
Debat itu bermula dari sebuah tantangan terbuka dari seorang anak muda kutu buku. Disebut terbuka karena tantangannya diluncurkan lewat YouTube.
Yang menantang bernama Ustad Fuad Abdullah Wafi. Umur 27 tahun. Asal Probolinggo. Ia datang ke tempat debat dengan membawa 20 kitab (buku) sebagai literatur. Semua dalam bahasa Arab.
Yang ditantang, Anda sudah tahu: KH Dr Imaduddin. Seorang ulama intelektual Banten. Penulis banyak buku literatur. Salah satu bukunya berjudul –dalam bahasa Arab– Al-Mawahib Al-Laduniyah.
Intinya: Kiai Imad berpendapat bahwa habib keturunan Alawy bukan keturunan Nabi Muhammad.
Kiai Imad pun jadi pusat sorotan di kalangan habib, ahli sunah, dan Islam tradisional. Perdebatan di seputar itu sangat keras dan panas. Berbulan-bulan.
Pun melebar ke mana-mana. Ada yang sekadar saling bantah. Ada pula yang sampai saling hujat. Yang menarik, ada juga perdebatan yang bersandar pada ilmu pengetahuan. Saling membuka kitab literatur.
Tidak ada media umum yang mencatat perdebatan itu. Mungkin dianggap lingkupnya terlalu sempit. Hanya menyangkut kalangan terbatas. Tapi, sebenarnya, di balik riuhnya media sosial, ada juga yang memprihatinkan: soal nasab (keturunan siapa) seolah terlihat seperti lebih penting daripada soal nasib.
Saya lihat, energi yang dikeluarkan untuk urusan nasab ini luar biasa. Termasuk energi untuk bertengkar.
Ada yang mencoba mencari jalan tengah: tes DNA saja. Tidak usah ribut. Toh, zaman sudah sangat modern. Sampai ada yang ingin melibatkan BRIN untuk tes DNA itu.
Mungkin masih dibayangkan tes DNA itu sulit sekali. Harus ke Amerika seperti yang saya lakukan 10 tahun lalu.
Tapi, ada yang menolak ajakan tes DNA dengan dalil agama: tes DNA itu haram. Entah dari mana datangnya dalil haram itu.
Sekarang tes DNA sudah biasa. Sudah bisa dilakukan pun di Jakarta. Bahkan di beberapa tempat. Saya melakukannya lagi di Jakarta bulan lalu. Lagi tunggu hasil. Apakah sudah lebih terperinci dibanding 10 tahun lalu.
Waktu itu hasilnya, Anda masih ingat: saya ini keturunan campuran. Ada darah Neanderthal (manusia purba sebelum Nabi Adam), sebanyak 2,5 persen. Arab: 2,5 persen. Tionghoa: 5 persen. Indian Amerika: 5 persen. Sisanya: keturunan Asia Tenggara. Tanpa ada perincian dari mana saja Asia Tenggara itu. Jangan-jangan dari Jawanya manusia Ngawi atau dari Sunda purba atau dari Campa.
Siapa keturunan siapa kelihatannya memang penting –secara pribadi. Entah untuk apa. Tapi, tesis Kiai Imad yang mengatakan habib di lingkungan Alawy bukanlah keturunan nabi benar-benar menimbulkan reaksi yang luar biasa.
Ustad Wafi agak ketinggalan mengetahui riuhnya perdebatan di medsos itu. Sekitar tiga bulan lalu ia kedatangan tamu di rumahnya. Mereka adalah pengurus Syuriah NU Probolinggo.
Ustad Wafi memang tinggal di Probolinggo, Jatim. Di sebuah desa selatan terminal bus kota: Triwung Kidul. Ia bersama ayahandanya mengajar agama di pondoknya.
Tamu itulah yang mengabarkan bahwa ada kiai dari Banten yang hebat. Ia mampu membatalkan klaim bahwa Bani Alawy adalah keturunan Nabi Muhammad.
Wafi terperanjat. Ia minta dikirimi buku yang ditulis Kiai Imad itu. Cukup dalam bentuk PDF. Juga, buku-buku lain yang jadi dasar pemikirannya. Semua dalam bahasa Arab.
Setelah mempelajari PDF itu, Ustad Wafi berpikir. Karya ilmiah harus diuji dalam sebuah perdebatan ilmiah. “Pendapat itu belum sah kalau belum lewat debat ilmiah,” katanya.
“Apakah Anda sudah kenal Kiai Imad?” tanya saya.
“Belum. Karena itu, tantangan debat saya lewatkan YouTube,” ujarnya.
Ustad Wafi sudah akrab dengan YouTube. Boleh dikata, ia seorang youtuber. Sudah sekitar 200 video yang ia unggah di YouTube. Ada yang dilihat sampai 300.000 orang.
Kini aktivitas YouTube-nya itu terhenti. Dihentikan oleh YouTube.
Mungkin karena isinya. Isi YouTube Wafi umumnya soal perdebatan antaragama. Khususnya dengan Kristen dan Yahudi. “Teman-teman Kristen yang awalnya mengajak debat di YouTube,” ucapnya.
Tantangan debat itu tidak direspons oleh Kiai Imad. Maka, Wafi kirim tantangan lewat surat. Dikirimkan lewat kurir.
“Tantangan saya itu ditolak. Alasannya, tantangan harus datang dari kalangan Alawy. Sedang saya kan orang Madura dari Probolinggo,” ungkapnya.
Keinginan debat Ustad Wafi sudah bulat. Maka, ia usahakan, dalam timnya, ada habib dari kalangan Alawy. Berhasil. Tapi, tetap tidak dilayani.
Akhirnya keluarga Kesultanan Banten turun tangan. Keluarga sultan yang jadi panitia. Tanggal pun ditetapkan. Tiga hari lalu. Ustad Wafi pun berangkat ke Banten. Membawa satu dus besar literatur. Buku-buku tebal. Ternyata tidak ada kepastian apakah Kiai Imad bersedia datang.
Ustad Wafi telanjur di Baten. Ia tidak mau pulang. Ia menunggu di Banten. Ia unggah kecaman lewat YouTube. Termasuk penilaiannya bahwa buku Kiai Imad itu plagiat.
Jagat medsos pun riuh sekali. Saya ikut tegang. Saya ingin perdebatan intelektual berlangsung.
Akhirnya keluarga Sultan Banten mencarikan jalan keluar. Pihak Kiai Imad bisa diwakili. Wafi setuju meski tidak puas. Maka, hari Minggu kemarin perdebatan berlangsung. Sekitar 100 kitab literatur dibuka di pendopo kesultanan lama. Semua berbahasa Arab.
Saya tidak berhasil mencari sumber dari pihak Kiai Imad. Menurut Ustad Wafi, wakil Kiai Imad awalnya lima orang. Tapi, menjelang acara dimulai, yang dua orang mengundurkan diri.
Sedangkan dari pihak Ustad Wafi adalah Habib Anis Al-Atthas, Buya Qurtubi, Gus Rumail Abbas, dan Habib Idrus Al-Mansyur.
Yang jadi moderator debat itu salah seorang tokoh keturunan sultan Banten sendiri.
Hasilnya?
“Mereka mengaku keliru,” ujar Ustad Wafi. “Tapi, itu kan wakil. Belum tentu Kiai Imad sendiri mengaku kalah,” ujar Wafi.
Tradisi debat kitab di NU sangat dalam. Kiai-kiai yang kelihatannya dari kampung itu penguasaan literaturnya luar biasa.
Ustad Wafi sendiri awalnya mondok (belajar di pondok pesantren) jauh dari kampungnya. Setamat SD di Probolinggo, ia dikirim ke Pondok Pesantren Darul Falah Amtsilati, Jepara.
“Menurut ayah, Pondok Amtsilati sangat mengkhususkan pendidikannya di bidang penguasaan kitab kuning,” ujar Ustad Wafi.
Di Jepara Ustad Wafi belajar selama dua tahun. Lalu, pindah ke pondok terkenal di Pasuruan: Pondok Sidogiri. Tujuh tahun Wafi di Sidogiri.
Tentu berakhirnya debat belum akan mengakhiri keriuhan di medsos. Bahkan, urusannya kian lebar. Bukan hanya keturunan nabi yang jadi perbincangan. Juga, soal keturunan Wali Sanga. Antara dua kelompok itu pun seperti saling klaim: siapa yang paling berjasa terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Apakah para habib (keturunan nabi) atau para kiai (keturunan Wali Sanga).
Biasanya, antara habib dan kiai seperti dua sisi koin yang sulit dipisah. Tapi, tiba-tiba saja seperti ada yang akan memisahkannya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia