Oleh Dahlan Iskandar
APA yang Anda harapkan dari Sam Altman untuk Indonesia?
Saya pun menghubungi Prof. Dr. Johanes Surya. Ia sudah tahu Sam Altman mendapat Golden Visa dari Indonesia. Orang pertama yang mendapatkan fasilitas itu. Agar bisa membantu Indonesia dalam memasuki era kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Pakar fisika dan matematika itu sekarang menjadi staf khusus Menko Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan.
“Sayangnya waktu Sam Altman ke kantor Pak Menko saya lagi di luar kota,” ujar Prof. Surya.
Menurut Prof. Surya ada beberapa hal yang Sam Altman bisa lakukan untuk memajukan AI di Indonesia.
Pertama, katanya, kolaborasi dengan universitas dan pusat riset: Sam Altman dapat bekerja sama dengan universitas dan lembaga riset di Indonesia untuk mendukung penelitian AI dan memfasilitasi pertukaran pengetahuan.
“Ini akan membantu sekali pengembangan bakat lokal dan secara otomatis akan memajukan AI di Indonesia,” katanya.
Sam Altman, Anda sudah tahu, ahli kecerdasan buatan dari Amerika Serikat yang antara lain menciptakan ChatGPT.
Kedua, kata Prof. Surya, untuk mendukung pelatihan dan pendidikan AI di Indonesia.
“Ini bisa melalui beasiswa, kursus online, atau mendirikan lembaga pendidikan AI di Indonesia,” katanya. “Yakni untuk meningkatkan keahlian lokal dalam mengembangkan dan menerapkan AI”.
Tentu Prof. Surya juga berharap Sam Altman berinvestasi dalam perusahaan start-up AI di Indonesia.
“Ini dapat memberikan dorongan finansial dan akses ke sumber daya yang diperlukan untuk perkembangan teknologi AI di Indonesia”. Begitu banyak anak muda yang merintis AI. Tentu mereka bisa memanfaatkan Sam Altman.
Bahkan, kata Prof. Surya, kalau perlu Sam Altman bisa ditanya soal kebijakan apa yang harus diambil pemerintah Indonesia di bidang AI.
“Termasuk dalam penyusunan regulasi yang memadai, kebijakan insentif fiskal, dan infrastruktur AI yang diperlukan,” katanya.
Tentu Indonesia punya kebutuhan khusus. Yang khas Indonesia. Misalnya pertanian, perikanan, peternakan, dan layanan kesehatan yang bisa terjangkau,” katanya. “Termasuk kaitannya dengan perubahan iklim”.
Tentu Prof. Surya juga mengharapkan Sam Altman untuk jadi narasumber bidang AI dalam kaitan dengan etika. Apalagi Indonesia ini sangat religius.
Bagi Prof. Surya Indonesia perlu menumbuhkan komunitas AI. Yang kuat. Perlu banyak konferensi, pertukaran ide dan kolaborasi. Sam Altman bisa diharap ikut berperan di dalamnya.
Juga soal pengembangan infrastruktur teknologi. Agar sesuai dengan pertumbuhan AI yang kita perlukan. Termasuk di komputasi awan dan pengadaan jaringan yang kuat.
Dengan peran-peran itu Sam Altman dapat membantu memajukan AI di Indonesia. Yakni membantu negara ini menjadi pemain kunci dalam perkembangan teknologi AI global. Terutama agar bisa memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang nyata bagi masyarakat Indonesia.
“Setahu saya Indonesia saat ini sedang berupaya untuk mengembangkan kecerdasan buatan di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, mobilitas, kota pintar, dan reformasi sektor publik,” katanya.
“Pada tahun 2020, Indonesia telah menerbitkan strategi nasional AI. Disebut Stranas KA (Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial). Itu akan menjadi panduan bagi Indonesia dalam mengembangkan AI antara tahun 2020 hingga 2045,” katanya.
Menurut Prof. Surya, Indonesia telah mendukung Prinsip AI G-20. Indonesia kini masih berada pada tahap awal pengembangan kebijakan AI.
“Pemerintah belum mengembangkan regulasinya,” ujarnya. “Pemerintah juga belum menciptakan lembaga AI yang diperlukan yang dapat dipercaya,” katanya.
Indonesia, menurutnya, juga masih menghadapi tantangan dalam hal infrastruktur digital, sumber daya manusia, kerangka hukum, dan etika.
Namun, katanya, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin di Asia Tenggara. Indonesia memiliki pasar digital yang besar, populasi muda yang kreatif, dan kekayaan data yang luas.
Indonesia, menurut Prof. Surya, juga telah menunjukkan kemajuan dalam penelitian AI, pengembangan perangkat lunak AI, dan banyaknya investasi dari Venture Capital di AI.
Prof. Surya mengutip sebuah studi yang dilakukan oleh International Data Corporation atau IDC Asia-Pacific Enterprise Cognitive. Menurut penelitian itu pada tahun 2018, Indonesia memiliki tingkat adopsi AI tertinggi di Asia Tenggara. Nilainya sebesar 24,6 persen. Diikuti oleh Thailand (17,1 persen), Singapura (9,9 persen), dan Malaysia (8,1 persen).
Studi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat pertama di Asia Tenggara untuk AI. Namun, peringkat ini mungkin berubah seiring dengan perkembangan AI di negara-negara lain.
Prof Surya ini unik. Sekolahnya selalu di negeri. “Waktu itu saya lihat sekolah negeri di dekat rumah bagus-bagus,” katanya. “Dan lagi, waktu itu, orang tua tidak sanggup membiayai sekolah yang mahal. Ayah pensiunan tentara tapi pangkatnya masih sangat rendah. Ibu buka warung kecil di depan rumah,” katanya.
Setelah lulus dari SD Pulogadung 2 Sore, ia masuk SMPN 90. Lalu ke SMAN 12. Kuliahnya pun di Universitas Indonesia (UI) jurusan fisika.
Di gelar master dan doktor yang ia peroleh dari perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat: Collage of William and Mary. Di Virginia. Waktu meraih gelar doktor fisika itu, nilai GPA-nya sempurna: 4.0.
Saya ingat anak Surabaya yang pernah saya temui di Singapura dan Shanghai. Maria Audrey Lukito atau Audrey Yu Jia Hui. Yang umur 16 tahun sudah meraih gelar doktor fisika dari perguruan tinggi yang sama. Dengan predikat summa cum laude. Sampai-sampai waktu ke Virginia saya sempatkan mampir ke kampus itu.
Anak Prof. Surya juga kuliah di Collage of William and Mary. Yakni anak ketiga. Putri. Marcia Ann. Anak itu di usia 19 tahun sudah lulus S-1. Jurusan fisika. Juga di William and Mary tempat sang ayah ambil PhD dulu.
Marcia Ann kini sedang siapkan diri ambil S2. Juga di fisika. Ditambah akan ambil jurusan pendidikan.
Logika Marcia Ann bagus. Dia suka belajar sendiri. Dia belajar main gitar dari internet. Dia mampu bicara banyak bahasa. Juga belajar sendiri.
Marcia Ann suka mengajar. Memorinya sangat kuat. Dia sanggup menghafal nilai pi = 3,1415…. sampai ratusan digit tanpa pakai teknik memori yang digunakan banyak orang.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia