Oleh Dahlan Iskan
SAYA mampir Batam: dalam perjalanan ke makam Opung TB Silalahi di Balige. Saya ingin tahu perkembangan di Batam: khususnya soal pelabuhan kontainer pertama di sana.
Kelihatannya menggelikan: baru sekarang Batam memiliki pelabuhan kontainer. Lantas ngapain saja Batam selama ini –termasuk para menteri negara selama 40 tahun terakhir. Juga menteri yang kelak –di tahun 2018 –rajin menulis di Disway sampai hari ini.
Tentu sudah pernah ada kontainer yang masuk Batam. Tapi dibawa oleh kapal kecil. Itu karena pelabuhannya hanya sedalam 6 meter. Ukuran kontainernya pun yang kecil: 20 feet. Tidak bisa yang 40 feet.
Dari dalam kapal kecil, kontainer kecil itu diangkat dengan crane kecil. Crane manual. Kuno. Masih harus ada orang yang naik ke kontainer untuk memasang tali di empat sudutnya.
Alangkah ketinggalannya Batam. Terutama kalau dibandingkan dengan pelabuhan di seberang sana: Singapura. Padahal dari pelabuhan peti kemas Batam ini Anda bisa melihat Singapura. Begitu dekat jaraknya. Begitu jauh bedanya.
Memang begitu lama keputusan mengembangkan pelabuhan peti kemas di Batam. Tepatnya di Batu Ampar. Di sebelah Harbour Bay. Di sisi pulau yang berhadapan dengan Singapura.
Baru di akhir pemerintahan Jokowi keputusan diambil: pelabuhan Batu Ampar dijadikan pelabuhan peti kemas. Inilah satu-satunya pelabuhan peti kemas di Batam.
Pelabuhan Batu Ampar sejak awal milik otorita Batam. Baru tanggal 1 November lalu diserahkan ke BUMN: PT Persero Batam. Batu Ampar pun bulan ini menjadi pelabuhan yang dikelola BUMN –di luar holding pelabuhan, PT Pelindo.
Rasanya saya kenal direktur utama PT Persero Batam yang sekarang ini: Arham Torik.
Pernah bertemu. Pernah foto bersama.
Bahkan, rasanya, saya pernah minta tolong padanya: menghidupkan perusahaan perkapalan BUMN yang lagi sekarat. Yakni PT Djakarta Lloyd.
Itu saya lakukan di tahun 2013 –atau setahun sebelumnya? Saya lupa tahunnya. Tapi saya tidak lupa sekaratnya: tidak bisa bayar gaji, tidak punya kantor, tidak punya aset.
Sebagian besar karyawannya sudah berhenti –tidak tahan menderita. Kantornya dilelang –tidak kuat bayar utang. Djakarta Lloyd menjadi perusahaan pelayaran yang tidak punya kapal. Satu pun.
Ups…masih punya. Beberapa. Kapal-kapal itu sedang sandar di pelabuhan luar negeri. Disandera di sana. Sampai DL bisa membayar utang. Padahal utangnya lebih besar daripada harga kapalnya.
Akhirnya kapal-kapal itu entah bagaimana.
Arham berhasil menghidupkan Djakarta Lloyd. Ia tetap pilih DL tidak perlu punya kapal sendiri. Yang penting DL bisa mengoperasikan kapal. Milik siapa saja. DL-pun hidup lagi. Ketika Arham meninggalkan DL, perusahaan itu sudah punya kas-setara kas Rp 400 miliar.
Hari berganti tahun. Bulan berganti windu.
Lama sekali saya tidak mendengar Arham. Tidak tahu pula apa kabar terbaru Djakarta Lloyd.
Ketika saya diundang PWI ke Batam, beberapa bulan lalu barulah saya tahu: Arham ada di Batam. Ia jadi dirut pelabuhan Batu Ampar –tanpa memiliki pelabuhan. Pelabuhan Batu Ampar masih milik otorita Batam.
Rupanya Arham berjuang keras agar pengelolaan pelabuhan itu diserahkan ke BUMN. Akan ia jadikan pelabuhan peti kemas pertama di Batam –pelabuhan peti kemas dalam pengertian yang sebenarnya.
Arham mengajak Mohamad Iqbal Mirza jadi direktur pengembangan. Menteri BUMN Erick Thohir pun setuju.
Iqbal memang ahli pelabuhan. Juga ahli turn around perusahaan. Waktu muda Iqbal menjadi penanggung jawab pembangunan pelabuhan Palaran, dekat Samarinda. Dari nol sampai selesai.
Iqbal juga pernah jadi direktur PT Pelindo III di Surabaya. Saat Iqbal menjabatlah laba Pelindo III –sangat bersejarah– mengalahkan laba Pelindo II. (Pelindo III membawahkan Tanjung Perak Surabaya dan beberapa pelabuhan sekitar. Pelindo II membawahkan Tanjung Priok dan sekitarnya. Tahun lalu Pelindo I, II, III, dan IV digabung menjadi satu: Pelindo).
Iqbal terus berkibar: jadi direktur pengembangan Garuda Indonesia. Lagi asyik-asyiknya melakukan turn around, Iqbal tertimpa sial. Ia ikut diberhentikan gara-gara peristiwa yang Anda masih ingat: sepeda Brompton. Seluruh direksi Garuda diganti –termasuk Iqbal yang tidak tahu apa-apa.
Waktu saya ke Batam kemarin terlihat sudah ada satu crane yang terpasang di dermaga. Itulah crane modern pertama di Batu Ampar. Baru satu. Tapi punya satu lebih baik dari tidak punya satu.
Crane itulah yang bisa jadi daya tarik kapal besar mau ke Batam. Minggu ini kapal besar pertama tiba di Batam –alangkah gembiranya. Tanda-tanda kehidupan mulai terlihat.
Iqbal sudah memesan crane baru lagi yang seperti itu. Sekaligus empat buah.
Pelabuhan Batu Ampar pun akan terlihat seperti pelabuhan peti kemas sesungguhnya.
Otorita Batam bukan tidak berbuat apa-apa. Otorita sudah menambah panjang dermaga lama. Sejak 10 tahun lalu. Sudah jadi.
Kedalaman di dermaga baru itu bisa 12 meter –kalau dikeruk. Pengerukan sudah dilakukan: Baru berhasil membuat kedalaman 10 meter. Lalu terhenti.
Dermaga baru itu seharusnya sudah bisa dimanfaatkan sejak 10 tahun lalu. Tapi dibiarkan menganggur. Kalau pun ada kapal tidak bisa berfungsi: tidak ada crane-nya.
Memang aneh. Bisa membangun dermaga yang mahal tidak bisa membeli crane modern. Harga satu crane memang bisa mencapai Rp 8 miliar. Tapi tanpa crane yang modern dermaga akan terus menganggur.
Arham akan meneruskan pengerukan itu. Sampai kedalamannya benar-benar menjadi 12 meter. Crane terus ditambah. Tahun 2028 nanti pelabuhan Batu Ampar sudah bisa memiliki kapasitas 1,6 juta TEUS –dari yang sekarang 550.000 TEUS.
Bahkan di tahun 2030 dermaga baru lagi selesai dibangun. Di sebelah kanan dermaga yang sekarang. Kedalamannya bisa 16 meter. Saat itulah nanti Arham-Iqbal merencanakan kapasitas Batu Ampar mencapai 8 juta TEUS. Lebih besar pun dari Tanjung Priok sekarang.
Saya tahu: dulu-dulu pemerintah terombang-ambing oleh banyaknya gagasan. Membangun pelabuhan besar di kawasan itu perlu. Tapi di mana. Seperti bingung.
Kalau mau membangun pelabuhan yang besar jangan di Batam. Tidak mungkin. Lahan pantainya sudah habis dibagi-bagi. Pelabuhan besar perlu dukungan lahan luas. Tidak ada lagi lahan seluas itu.
Lebih baik membangun di sekitar Dumai saja. Masih banyak lahan di sana. Toh posisinya juga di bibir Selat Melaka.
Batam saja.
Dumai saja.
Batam saja.
Dumai saja.
Keputusan akhirnya diambil: Batu Ampar. Kalau memang kelak bisa benar-benar mencapai 8 juta TEUS, berarti Arham tidak hanya bisa menghidupkan Djakarta Lloyd. Dan Iqbal bisa melupakan nasib sialnya di Garuda.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia